Minggu, 10 Februari 2013

Sang Penyampai Berita



Terang cahaya menghampiriku secara tiba-tiba, ketika angin malam masih bertiup dingin dimuka malam yang telah menggelap. Cahaya itu berputar-putar cukup lama dikepalaku. Tempurung kepalaku yang sekarang hanya sedikit ditumbuhi oleh rambut, terasa hangat olehnya. Ada desir ketenangan ditengah kehangatan yang cahaya itu tawarkan. Ada pencerahan kurasa, dibalik terang cahaya yang membuat gang tempat ku berjalan. Yang tadinya remang, jadi terang benderang. Makin lama cahaya itu berputar, makin tenang aku dibuatnya. Cahaya itu, seakan menghipnotisku. Membuatku sejenak tak sadarkan diri karenanya.
            Aku berniat mengunjungi saudara sepupuku malam ini. Dengan tujuan, menyampaikan satu pesan yang tadi sore baru saja kudapat dari salah satu saudara sepupuku yang lainnya. Kabar itu, tentang pamanku yang makin hari hidupnya makin tak baik. Menurut sepupuku itu, adik kandung terakhir dari ayahku ini. Diumurnya yang sudah tak muda, masih saja sering mabuk-mabukan. Masih saja sering pulang malam, entah dari mana ia?
Dalam keluargaku, aku semacam penyampai pesan, dari satu mulut ke mulut yang lainnya. Dari satu telinga saudara, menyambung ketelinga saudara yang berbeda. Begitulah rutinitasku beberapa tahun ini, semenjak aku pensiun dari pekerjaanku sebagai seorang pegawai negeri sipil.
            Tapi karena cahaya yang berputar-putar diatas kepalaku sekarang ini, karena cahaya yang memberikan kehangatan ini. Langkahku terhenti tuk sementara, atau bisa dibilang fokusku telah berganti. Dari yang tadinya ingin menyampaikan pesan, sekarang terkesima karena cahaya yang terang benderang.
            Cahaya itu, setelah berputar-putar cukup lama tepat diatas kepalaku, akhirnya berhenti juga. Berhentinya tak jauh, masih tepat diatas kepalaku. Bisa kulihat cahaya itu makin turun, membuatnya makin dekat saja dengan tempurung kepalaku. Tiba-tiba, setelah cukup dekat. Kecepatannya turun sulit tuk diikuti mataku. Cahaya itu masuk kedalam kepalaku. Kehangatan yang tadi cahaya itu tawarkan, berganti jadi rasa gerah yang tak bisa kutahan. Ingin ku berteriak, tapi seakan tak bisa mulutku mengeluarkan kata-kata.
            Pikiranku, bercabang. Tak jelas, sekarang apa sedang bersliweran dalam benakku. Karena semenjak cahaya tadi masuk kedalam batok kepalaku. Mataku yang ku tau sekarang sedang tertutup, hanya melihat lesat-lesat cahaya yang bergerak begitu cepat. Seperti saat kita sedang memacu mobil di jalan bebas hambatan. Dengan kecepatan lebih dari 220km/jam. Membuat pemandangan disekitar kita, hanya sekilas tampak.
            Kurasakan tubuhku masih terdiam, mataku masih tertutup, mulutku masih terkatup. Tapi aku bisa bergerak, bisa melihat, dan bisa bicara disini. Apa ini mimpi?
            “Apa benar itu Sul?” suara Raka, kakak tertuaku. Dan aku sekarang berada dirumahnya. Kulihat kesekitar, dan benar ini adalah rumahnya Raka.
            “Mengapa aku ada disini?” batinku bertanya, tak tau pada siapa. Lalu cahaya tadi, yang berputar-putar diatas kepalaku, yang masuk kedalam kepalaku. Yang membuat mataku tak terbuka, juga mulutku tak bisa bicara. Sekarang muncul didepanku. Seakan membaca rasa heran, dari mukaku. Cahaya itu seperti mengajaku tuk mengikutinya. Ketika cahaya itu masuk kedalam ruang tamu, tempat dimana baru saja kudengar percakapan Raka entah dengan siapa. Aku terkejut dibuatnya. Disana ada diriku, tengah duduk tepat didepan Raka. Tengah merokok, duduk bersila diatas sofa.
            “Iya benar. Kak Ridwan itu semakin kurang ajar saja. Ia telah membuat keluarga kita terhina karena kelakuan sialannya. Pulang malam, beres mabuk-mabukan.” Mendengar kalimat yang barusan, aku melihat sosok diriku yang sebentar ini berbicara. Kejadian ini baru kuingat berlangsung minggu kemarin, karena aku mendapati Ridwan sedang berjalan seperti orang mabuk ditengah malam. Aku tak benar-benar tau apakah ia mabuk, atau tidak. Karena aku tak mendekatinya ketika melihat jalannya yang sempoyongan. Tapi aku memang sering mendengar dari warga sekitar, kalau Ridwan memang sering jalan sempoyongan ketika larut malam. Maka kupikir harus secepat mungkin aku sampaikan berita ini pada Raka, pertama karena Raka adalah kakak tertua kami, dan kedua karena aku memang seorang penyampai pesan untuk seluruh keluarga.
            Tiba-tiba rumah Raka bergoncang hebat. Aku tak tau apa yang terjadi. Cahaya terang tadi masih disebelahku, tapi aku tak bisa bertanya padanya. Karena dia hanya cahaya, tak bisa bicara. Lagipula mulutku terkunci, jadi apa yang bisa kuperbuat?
“Apa kamu yakin Sul? Aku tak percaya kalau Lasmi seperti itu?” Ridwan berteriak ketika sebuah kabar tak mengenakan tentang istrinya aku sampaikan ketelinganya.
            “Aku dengar kabar ini dari temanku yang kerja satu kantor dengan istrimu.” Sekali lagi aku lihat sosokku tengah berbicara. Padahal sedari tadi aku sadar benar, kalau aku masih disini. Lalu siapa itu? Siapa yang berani-beraninya menyamar menjadi aku?
            “Kau yakin itu Sul? Apa kau yakin istriku telah berselingkuh?” sosok itu, sosok yang menyerupaiku mengangukan kepalanya. Seulas senyum khas kepunyaanku ia keluarkan. Membuatku kembali teringat, kalau aku benar-benar telah menyampaikan berita tentang Lasmi yang telah berselingkuh dengan teman sekantornya kepada Ridwan. Beberapa bulan lalu.
            Satu peristiwa keperistiwa yang lainnya, hanya dipisahkan oleh sebuah goncangan. Semua peristiwa itu, peristiwa yang pernah kualami. Semuanya adalah peristiwa tentang berita yang kuterima dari siapa saja. Asal berita itu berkaitan dengan sanak keluargaku, aku akan menyampaikannya kepada mereka. Karena memang itulah pekerjaanku, setelah pensiun. Menyampaikan semua berita yang kudengar, kepada keluarga lainnya. Aku rasa hanya ini yang bisa kulakukan, setelah tak punya pekerjaan.
            Lebih baik aku yang menyampaikan berita ini, daripada sanak keluargaku mendengar berita-berita itu dari orang lain. Akan bertambah banyaklah semua bumbu yang dimasukan dalam sebuah berita, bila orang lain ikut mulut dalam menyampaikannya.
            Entah sudah berapa tempat, dan kejadian yang ku datangi. Berapa banyak masa yang kuulang kembali, untuk sekedar mendengar, melihat kembali semua berita yang pernah aku sampaikan. Rasa penasaran, makin menumpuk dalam batinku. Ingin rasanya kubertanya, tapi mulutku masih tak bisa bergerak mengeluarkan kata-kata. Dan kalaupun bisa aku berkata, mengeluarkan suara. Aku hanya bisa bertanya pada sebuah cahaya yang sedari tadi, ngetem di sebelahku. Dan pastinya ia juga tak mungkin bisa menjawabnya, ia hanya sebuah cahaya. Hanya terang yang bisa ia keluarkan, bukan suara, apalagi bicara.

***

            Dua orang duduk disebuah sofa, didalam sebuah rumah yang kukenal baik. Ini kediaman Raka. Disana duduklah dua orang. Dan setelah cukup banyak aku mengulang kembali setiap kejadian dalam menyampaikan berita. Ini pertama kalinya, sebuah sosok yang mirip denganku tak hadir didalam sebuah pembicaraan. “Paman mau sampai kapan begini? Apa nggak malu paman sama umur? Mau kapan paman tobat?” kulihat Raka berbicara dengan halus, pelan, dan tertata baik. Nampak ia tak ingin menyinggung hati paman yang sudah tua.
            “Kamu bicara apa Nak?” muka paman, mendadak bingung. Kulihat duduknya diatas sofa empuk itu tak lagi nyaman, sedari tadi pantatnya bergeser-geser tak jelas.
            “Paman jangan bohong lagi. Sebuah berita sampai pada saya, dan berita itu mengatakan kalau paman sering pulang malam dengan keadaan mabuk? Apa paman nggak mau berhenti mabuk-mabukan seperti itu?”
            Mata pamanku melotot kearah Raka, “Siapa yang menyebarkan fitnah itu? Paman sudah lama tidak pernah menyentuh lagi barang haram itu?” sentak paman darah tingginya kambuh.
            Aku tak ingat kejadian ini. Tapi apa maksudnya aku harus datang kedalam kejadian ini, sementara aku tak pernah berada, atau mengalaminya? Ditengah rasa penasaranku, untuk yang kesekian kalinya, goncangan hadir didalam keseriusanku mendengar pembicaraan antara Raka dan paman. Setelah cukup banyak mengalami goncangan seperti ini, aku sekarang tak terlalu terkejut ketika goncangan itu datang.
Goncangan itu semacam gerbang antara satu kejadian dengan kejadian lainnya. Dan setelah goncangan ini berakhir, aku yakin akan muncul di dalam sebuah kejadian, dilokasi dan waktu yang lainnya.
            “Dasar kamu wanita jalang.” Teriak Ridwan terlihat emosi, istrinya yang baru pulang bekerja, dan masih nampak letih. Disungkurkannya kelantai. Lasmi istrinya, yang tak kuat menahan dorongan dari suaminya, terduduk tak berdaya. Dengan wajah kesakitan, karena punggungnya baru saja terbenntur tembok. “Tega kamu berselingkuh dariku.”
            “Apa yang mas bicarakan?”
            “Agghh jangan pura-pura bodoh kamu? Pastinya kamu ngerti sama maksud omonganku. Kamu sudah berselingkuh kan? Dengan teman kantormu kan?”
            “Demi Allah mas, saya nggak pernah melakukan itu. Siapa yang sudah mengirimkan berita fitnah itu pada mas?” sesunggukan Lasmi mulai terdengar, haru, sendu.
            Aku diajak melihat satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Semua begitu muram, tak sedikit hasil kabar yang sudah kusampaikan pada saudara-saudaraku, pada sanak keluargaku. Berakhir pada tangisan, kemarahan, juga pertengkaran. Dalam batinku, aku menangis. Tapi mataku tak bisa mengeluarkan tetes air mata dari dalamnya. Mataku tak bisa terbuka sedari tadi, kusadar ia tertutup cukup lama. Semua yang kulihat, seakan hanya dalam pikiran. Benar-benar seperti mimpi, tapi begitu nyata.
            “Sudah terbukakah batinmu Samsul?” kulirik cahaya yang sekarang masih ada disebelahku. Meyakinkan diri, apa benar suara barusan berasal darinya. “Tak sadarkah kau? Telah banyak berita tak jelas yang kau sampaikan, tapi dengan semua dampak yang jelas bisa dirasakan?” rasanya ingin aku mengomentari semua kejadian. Tapi bibirku tetap bungkam, masih tak mau menurut dengan perintah pemiliknya. Ingin rasanya kumenyesal dengan semua kelakuanku yang telah lalu. Dengan semua hal yang kuanggap baik, tapi tak kulakukan dengan benar. Bukankah jelas yang benar itu tetap benar, sedangkan yang baik belumlah tentu benar.
“Semoga waktu yang terus melaju, membuat kau sadar akan bahaya dari sebuah berita. Semoga.” Mendadak semua yang ada disekitarku berubah terang, setiap yang kulihat mengantarkan cahaya. Dan seperti sebuah perjalanan yang tadi sempat kualami, sekarang terulang lagi. Tubuhku yang diam, seakan sedang bergerak dengan kecepatan sangat dahsyat. Semua yang ada disebelahku, tak terlihat jelas. Belum lagi cahaya yang terus melesat-lesat, membuat aku seperti melaju dalam jalan cahaya.
            “Pak Samsul.” Suara Damar, satpam komplek mengagetkanku.
            “Eh kamu Mar, lagi jaga?” aku berbasa-basi, aku tak tau sudah berapa lama ia ada disekitarku.
            Damar menggangukan kepalanya, “Iya pak. Pak Samsul mau kemana?”
            “Ah nggak mau kemana-mana, iseng aja cari angin. Bandung sekarang agak gerah ya Mar.”



Bandung, 17 Agustus 2012















Tidak ada komentar:

Posting Komentar