Senin, 18 Februari 2013

Anak Manis Mau Minum Susu



Tak bisa ku jelaskan perasaan yang ada di dalam hatiku ini. Perasaan yang selalu menyergapku sepulang kerja. Perasaan yang muncul, sewaktu ku mendapati sosok mungil tengah tertidur pulas di kamarku. Perasaan kepada seorang anak, yang telah sangat lama aku dan Istriku nanti-nanti kehadirannya. Tujuh tahun sudah kami menikah, dan selama itu pula kami belum kunjung dianugerahi seorang anak.
Sampai tiga tahun yang lalu, semua itu akhirnya berubah. Doa kami berdua, doaku, serta doa Istriku, akhirnya dikabulkan Sang Maha Pencipta. Seorang anak yang montok, sehat, dan lucu. Hadir di tengah-tengah sepinya keluarga kecil kami. Ia seperti pelita yang menerangi, jalan gelap hidup yang kami hadapi. Di hidup yang memang jauh dari kata layak, dekat dengan hidup melarat.
Aku sadar, pekerjaanku sebagai seorang Tukang Becak. Tidak lah akan cukup untuk melimpahkan kebahagian berupa materi yang diharapkan Anak dan Istriku. Penghasilanku hanya cukup untuk makan kami sehari-hari, itu pun masih sering terasa kekurangan. Belum lagi, harga susu sapi saat ini sangat mahal. Maka makin terasa lah semua derita yang tengah mengimpit kami karenanya.
            Setelah harga Bahan Bakar Minyak Indonesia di beritakan akan naik. Sempat ku berfikir untuk menghentikan kebiasaan Anakku meminum susu sapi, dengan cara menganti susu sapinya itu menjadi teh, atau jadi susu kedelai yang harganya relatif lebih murah. Dengan kenaikan harga BBM, tak mustahil harga susu sapi juga akan ikut-ikutan naik.
Kemarin, telah ku coba untuk melaksanakan rencana itu. Tapi yang ada, anakku malah merengek-rengek pada Ibunya, membuat Istriku meminta agar minuman kesukaan anak ku itu bisa dibelikan esok.
“Lingga kayaknya nggak suka sama susu kedelai deh Yah, waktu tadi siang Ibu kasih minum susu kedelai. Lingga malah nangis-nangis minta dibeliin susu yang biasa. Gimana ya Yah?”
“Ya udah. Ibu doain aja supaya besok Ayah dapet rejeki ya Bu!” Ucapku letih.
***
            Hari ini langit keliatan murung. Nampaknya langit belum juga puas tuk mengencingi Kota Bandung hari ini. Dari tadi pagi, hujan sudah mulai turun. Tapi disinilah justru ku merasa bersyukur. Disaat hujan seperti ini, tanah akan menjadi becek. Belum lagi menggunakan payung bisa membuat tangan jadi pegal, karena payung harus terus digenggam sepanjang perjalanan. Ini membuat orang-orang merasa malas untuk menempuh perjalanan pulangnya dengan berjalan kaki. Membuat kami para tukang becak, jadi sedikit kebanjiran rejeki. Pendapatanku cukup lumayan hari ini, dan keinginan Anakku. Lingga. Untuk bisa minum susu sapi, bisa terwujudkan.
            Susu terbeli, Lingga nampak bahagia karenanya. Senyum dari bibir kecilnya, yang bagian atasnya masih ada bekas susu. Menciptakan rasa bahagia, yang tak ternilai harganya untukku.
“Makasih Yah. Ayah emang juala.” Ucap anakku sedikit cadel. Membuat letihku hilang tak berbekas, berganti senyum bahagia mendengarnya.
***
            Malam harinya, di tengah keasikan tidurku ke alam mimpi. Istriku membangunkan ku dengan suara parau, suara yang tak jelas, karena ia keliatan sangat panik.
“Yah… Yah… bangun Yah.”
“Ada apa Bu?” Jawabku setengah mengantuk, sambil mengucek-ngucek mataku yang masih semi terlelap.
“Lingga Yah… Lingga.” Sontak, kesadaranku yang tadi timbul-tenggelam, sekarang mendadak berkumpul. Aku mendekati anakku yang sedang tertidur itu. Kudapati ia sedang kesakitan, suara merintih keluar terus dari mulut kecilnya. Alangkah kagetnya aku, sewaktu lengankuku menyentuh kening buah hatiku yang tercinta. Demamnya kurasa sangat tinggi. Kebingungan. Aku berinisiatif untuk membawanya ke Puskesmas 24 jam dekat Kantor Desa.
“Anak saya kenapa Dok?” Tanyaku pada dokter jaga di Puskesmas, yang memeriksa anakku.
“Kayaknya keracunan makanan Pak. Ini nggak bisa kalo di rawat di Puskesmas. Harus di rujuk ke Rumah Sakit.” Ucapnya terlihat tegang, tapi terus berusaha tuk menenangkanku.
“Apa gara-gara susu yang tadi aku belikan?” Bisikku pelan.
            Aceng, salah seorang tetangga dekatku. Menawarkan jasanya untuk mengantarkanku ke Rumah Sakit. Tak makan banyak tempo, Lingga ku peluk, dan Aceng langsung mengemudikan motornya. Sebelum pergi, aku berpesan pada Istriku.
“Nanti kalo ada kabar, Ayah kasih tau Ibu ya! Sekarang Ibu tunggu aja di rumah.” Istriku yang masih kebingungan mau melakukan apa, dan belum bisa tenang. Menuruti saja semua yang ku katakan, ia kembali bersama para tetangga ke rumah.
***
“Masa nggak bisa dapet perawatan Pak?” Sentaku kepada petugas jaga yang ada di Rumah Sakit, dengan nada suara meninggi.
“Iya Pak nggak bisa. Prosedurnya memang harus begitu Pak.” Jelasnya lagi, setelah menolak untuk merawat anakku. Ia menolak untuk segera merawat anakku, karena aku tak bisa memberi uang pangkal untuk perawatan di Rumah Sakit itu.
“Tapi saya punya kartu Jamkesmas, masa masih nggak bisa? Tolong Pak, anak saya kasihan. Ini keadaannya udah gawat.” Aku coba memelas, terus berusaha agar dibolehkan anakku mendapatkan perawatan Rumah Sakit dengan segera.
“Harus ada kartu keterangan miskin dari RT, RW, sama Kecamatan dulu Pak. Baru kami bisa membantu.” Jawab petugas itu, masih dengan wajah dingin, wajah tak perdulinya.
“Ada apa ini Pak Kardi?” Seorang dokter datang dari arah dalam rumah sakit. Beliau bertanya kepada petugas rumah sakit yang barusan berbicara denganku. Setelah sebelumnya, ia sempat melihat anakku yang sedang ku gendong, tengah meringis kesakitan. Petugas rumah sakit tadi, berbisik pada Beliau. Seperti sedang memberitahukan sebuah informasi yang kerahasiannya sangat tinggi. Dokter itu nampak berfikir setelah berbisik dengan penjaga rumah sakit itu.
“Ya sudah di bawa masuk saja Pak Kardi.” Ucap dokter itu cepat. Petugas, yang beberapa saat lalu tidak mengijinkan anakku, agar bisa mendapat perawatan dari Rumah Sakit. Memanggil beberapa orang temannya, mereka membawa anakku yang sudah lemas, menuju kedalam sebuah ruangan yang aku tak tau ruangan apa itu. Hanya ku lihat, ada tulisan di atas pintu ruangan itu. UGD.
***
            Cahaya matahari ku lihat, mulai menyinari ruang tempatku menunggu. Sepertinya sudah jam 7 pagi, pikirku. Berarti sudah ada 3 jam berlalu, dari waktu masuknya anakku keruang perawatan itu. Dan sampai saat ini, belum jua ada tanda-tanda kegiatan menungguku kan berakhir.
            Sedari tadi aku menunggu, beberapa dokter dan perawat terus berhilir mudik dari dalam ruangan itu. Mereka terus keluar masuk ke dalam ruangan yang diatas pintunya terpampang tulisan UGD. Tempat dimana anakku mendapatkan perawatan. 
“Gimana anak saya Dok?” Tanyaku, sewaktu melihat dokter yang tadi merawat anakku, muncul dari ruangan itu. Ia keliatan begitu murung, seperti orang sedang menanggung beban yang sangat berat.
“Gimana anak saya Dok? Apa dia nggak apa-apa?” Merasa tak ada jawaban, aku kembali bertanya pada dokter itu. Dokter itu menarik nafas dalam-dalam, sebelum menyampaikan kata-katanya padaku. Ia terlihat mulai siap menyampaikan beban yang sedang ditanggungnya itu.
“Maaf Pak, kami sudah berusaha.”
“Maksud dokter gimana?”
“Anak Bapak sudah duluan Pak.” Seperti di sambar halilintar rasanya tubuhku saat ini. Tak bisa kupercaya, anak kesayanganku, anakku satu-satunya, anakku yang telah lama ku tunggu kehadirannya, tubuh mungil yang selalu membuat perasaan ku bahagia, sewaktu ku melihatnya sedang tertidur sepulang kerja. Sekarang harus pergi meninggalkanku. Dari balik tubuh sang dokter, ku lihat anakku tergulai lemas, kaku, tak bergerak, dadanya tak naik turun, ia sedang terlelap disana. Terlelap tuk selama-lamanya.


Bandung, 7 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar