Senin, 18 Februari 2013

Abang dan Lebaran



Jika sekarang sudah datang malam takbiran, esok hari pastilah lebaran. Tapi esok hari tak mungkin bisa kulihat sosok kakak yang telah pergi dari kampung ini tiga tahun lalu. Kemarin lusa, telah kutanyakan kabar beritanya, kutanyakan tentang kepastian apakah dia akan pulang? Atau tidak lebaran tahun ini? Tapi rupanya jawaban yang tak ingin kudengar malah sampai masuk ketelinga.
            “Maafkan abang dik, belum ada rupanya uang buat abangmu ini pulang.” Begitulah suara kakak ketika kutanyakan tentang kepastian kepulangannya kembali kekampung ini, kembali kerumahnya ini.
            “Sabar nak, begitulah lelaki suku kita kalau sudah besar. Merantau, dan susah pula rupanya untuk pulang. Pastilah banyak keperluan lainnya, daripada dipakainya untuk mudik uang perolehannya diperantauan.” Sambung ibu, ketika telepon dari kakak sudah putus. Air matalah yang sekarang memenuhi wajahku. Menghiasi bagian bawah kerudungku sampai basah jadinya.
            “Kenapa harus pula abang merantau ibunda?”
            “Untuk mencari kerja yang lebih baik di negeri orang sayang.” Balas ibuku dengan suaranya yang menenangkan, lembut, dan syahdu benar aku dengarkan.
            “Apa tak bisa abang mencari kerja disini?”
            Sejenak tak ada suara jawaban dari mulut ibuku, entah apakah beliau kebingungan dengan jawaban yang akan dikeluarkan, atau mungkin memang ibu tak tau jawaban apa yang harus dikeluarkannya guna menghiburku.
            Suara takbir menyelimuti langit malam ini, setiap surau menyuarakan gema indah itu. Beberapa kali kudengar suara takbir diselingi suara tawa, juga sedikit suara berbisik. Pastinya yang barusan bertakbir adalah anak laki-laki, mereka seperti pada umumnya anak-anak kecil. Mengumandangkan takbir sambil bergurau dengan temannya, pikirku.
Suara takbir seperti yang baru kudengar, membuatku teringat masa kecilku bersama kakakku satu-satunya. Bersama saudara kandungku satu-satunya. Ayah dan ibuku, ku yakin benar adalah warga Indonesia yang taat. Sehingga anjuran pemerintah untuk melaksanakan Keluarga Berencana, mereka taati dengan sebenar-benarnya. Dua anak cukup. Itu kakakku, dan juga aku.
Saat itu di malam yang sama, malam takbiran. Tanggal 1 Syawal tepat. Selayaknya anak-anak kecil yang lainnya. Yang sangat merasa bergembira ketika lebaran tiba, tak berbeda rupanya aku dan kakakku. Dan malam takbiran adalah awal dari kegembiraan kami berdua.
Selepas solat Maghrib, kemudian berbuka puasa. Kami berdua melaksanakan solat berjamaah Isya di surau. Selepas itu, kami siap menggemakan suara takbir bersama kawan-kawan lain. Biasanya aku akan menggemakan takbir sampai bisa tertidur disurau.
Abangku lah yang selalu menggendongku, mengantarkan aku sampai kerumah saat aku tertidur di surau. Lepas mengantarkanku, ia secepat kilat berlari kembali kesurau. Sampai sekarang aku tak tau alasan mengapa abangku selalu lari cepat-cepat untuk kembali kesurau. Sewaktu ia sudah mengantarkanku pulang. Pernah kupikir, bisa saja dia takut kalau perjalanan kesurau digunakanannya dengan berjalan kaki. Jadi larilah yang ia pilih untuk menjadi usahanya kembali ke surau. Maklum saja, kampung kami ini belum sepenuhnya teraliri listrik. Banyak daerah yang malah gelap, bahkan sinar bulan dipasksa terhalang rimbunya daun-daun pepohonan di sepanjang jalan.
“Aku ini anak pemberani dik. Jangan kau samakan diriku dan dirimu. Alasanku satu-satunya kenapa aku berlari untuk kembali ke surau, karena aku ingin segera mungkin kembali mengumandangkan takbir. Taukah kau?” jawab abangku, sewaktu kali aku iseng bertanya padanya.
“Benarkah itu abang?” selidiku memandang kearah matanya. Karena dari mata bisa diketahui, apakah yang dibicarakannya dusta atau apa yang sebenarnya.
“Tentulah iya, apakah kau pikir abangmu ini pandai berdusta?” balasnya diselingi lirikan mata yang tak fokus. Tanpa memperpanjang pertanyaanku, aku sudah tau jawabannya. Tentu aku tau, bagaimana abangku. Selain karena kami lahir dari rahim yang sama, cukup lama juga kami melalui waktu disatu atap, di satu rumah yang indah.
“Lisa…” suara ibu menggema dari luar kamarku. Segera aku menghampirinya, tak ingin mendengarnya memanggil namaku lagi untuk yang kedua kalinya. Jarang ibuku berteriak, apabila bukan hal penting yang akan disampaikannya.
“Iya ibunda.” Seruku melangkah tergopoh-gopoh menghampiri ibu dan ayahku yang sudah nampak rapih.
“Apa ananda tak ikut ayah dan ibu ke surau untuk Isya berjamaah?” ayah menggigatkanku, setelah beliau melihat kalau aku masih mengenakan pakaian rumahku, tanpa berkerudung. Jelas benar tak rapih.
Cepat aku berlari masuk kembali kedalam kamar, pikiranku yang rindu kepada abangku membuatku tak memperhatikan kalau barusan adzan Isya baru saja memanggil dari surau kampung. “Dari tadi abak lihat sepertinya hari ini Lisa sering melamun, ada apa lagi bu? Apa ada masalah dengan dia?” terdengar sebuah tanya terlontar dari mulut ayahku. Walaupun samar terdengar dari kamar, sedikit suara ayah masih bisa ku dengar. Tapi jawaban dari mulut ibu, telah hilang terhitung jarak dari ruang tamu menuju kamar. Apalagi pintu kamarku kututup rapat, kupikir suara ibu tak mampu merambat. Suara ibu halus, tenang, dan syahdu. Kalau tidak sengaja berteriak, pasti suara ibu hilang ditelan angin selama perjalanannya menuju kamarku. Maka tak kuhiraukan apa jawaban ibu. Paling jawabannya.
“Biasalah yah, anakmu itu kecewa benar karena abangnya tahun ini kembali tak bisa pulang.” Dengan dibumbui senyum khasnya.
Atau bisa jadi jawabannya, “Abangnya tak pulang lagi tahun ini. Sepertinya berat benar ia menerima berita semacam itu kembali tiga tahun berturut-turut.” Lalu ditutup dengan senyum khasnya kembali.
Terserahlah apa jawaban ibu. Yang pasti, ibu tau kalau aku benar-benar rindu pada abangku. Rindu pada abangku yang kadang suka bergurau, kadang suka serius, sering sekali iseng, tapi yang jelas abangku orang yang menyenangkan. Agar sudi hendaknya beliau membujuk anak lelaki satu-satunya itu pulang kerumahnya. Pulang kembali kekampungnya.
Mungkin kiranya, tak bisalah pulang lebaran tahun ini, lebaran tahun depanpun kalau masih ada umur jadilah kirannya pulang. Atau tak perlu menunggu lebaran? Bulan depan? Dua bulan yang akan datang? Atau bulan-bulan lain selain lebaran tahun depan. Apakah harus menunggu lebaran untuk seorang perantauan, datang kembali kekampung halaman?
***
  Adzan subuh masih berkumandang saat mataku terbuka dari lelap tidur, suara adzan yang indah dari suara nan tulus, membuatku teringat seseorang yang kusayang. Perlahan kesadaran yang sempat hilang dari benaku, bangun kembali seperti semula. Segera ku jauhkan selimut yang semalaman penuh, telah berbaik hati melindungi tubuhku dari dingin malam. Kakiku satu persatu turun dari tempat tidur. Aku berjalan menuju kamar mandi, untuk mengambil air wudhu.
Keluar dari kamar, kulihat ayah dan ibu sudah mulai bersiap-siap untuk solat Idul Fitri. Ayah sedang membersihkan kopiah kesayangannya, yang hanya dipakainya ketika hari raya tiba. Sedangkan kulihat ibu sedang mengemas suatu cairan yang tak asing lagi untuku. Itu adalah cairan parfum ramuan andalan ibu, sangat luar biasa, dan terlebih lagi sangat ekslusif. Tak setiap saat aku bisa menjumpainya. Selain hari raya agama islam, serta hari-hari penting semacam pembagian raport anak-anaknya. Rasanya sulit melihat ibu meramu parfum itu.
Parfum ramuan ibu, terbuat dari sari daun pandan, bertangkai-tangkai bunga mawar, serta beberapa tanaman-tanaman wangi lainnya. Parfum ibu 100% tanpa alkohol. Sehingga wanginya tak membuat bulu hidung meriang saat menciumnya. Belum lagi wanginya yang akan terus menempel di baju, sampai baju itu dicuci sebanyak tiga kali. Itu adalah beberapa kelebihan dari parfum ramuan ibuku.
“Cepat solat subuh sayang! Ananda solat id kan?” ibu bersuara ketika melihatku berjalan menghampirinya.
“Iya ibunda.” Jawabku cepat.
***
Seluruh warga kampung tumpah ruah menuju surau kampung. Berbaurlah semua keluarga yang ada dikampung ini. Kulihat beberapa teman-teman kakak yang berkuliah, atau juga bekerja di lain tempat, sekarang pulang kampung. Sepertinya hanya kakak yang tidak pulang, dan itu sudah ia lakukan tiga tahun berturut-turut. Tak pernah pulang sejak kepergiannya.
Duduk di shaf terdepan wanita, suatu pemandangan membuatku tertegun cukup lama. Pandanganku menangkap wajah seseorang yang sangat kukenal, tapi tak percaya aku melihatnya. Jaraknya cukup jauh, karena ia duduk di shaf terdepan lelaki. Barusan aku melihatnya hanya sekilas, itupun karena dia sebentar berdiri lalu duduk lagi.
Selepas solat Idul Fitri, perjalanan menuju rumah langkahku tergesa-gesa, rasanya ingin aku segera sampai tanpa harus berjalan menyentuh tanah untuk menuju rumah. Itupun kalau aku bisa melakukannya. Alasan langkahku tergesa-gesa, karena bayangan orang tadi yang hanya sebentar, dan kulihat dari jarak cukup jauh  itu. Membuatku ingin membuktikan bahwa mataku memang tak salah lihat.
Dan alangkah… bingung aku dibuatnya. Entah perasaan apa yang ada dalam pikiranku saat ini, saat aku melihat seseorang yang tengah berdiri tegak mematung didepan teras rumah. Langkahku yang tadinya tergesa-gesa, melambat secara tiba-tiba. Aku melihat kearah ibuku, beliau tersenyum, senyum salah tingkah. Aku melihat ayah, wajahnya tak berubah. Hanya tangannya terus memegang kopiah kesayangannya.
“Mak…” orang itu menyalami tangan ibu, tubuhnya yang tegap memeluk ibu penuh keharuan. Setelah itu, ia mendekati ayah. Tidak terlalu berharu biru, tapi justru inilah yang sering membuatku kebingungan. Apakah dua lelaki, walaupun ayah dan anak. Harus saling berusaha menyembunyikan kerinduannya, agar jangan sampai terungkap. “Lisa.” Kini suaranya membaurkan pikiranku. Mataku dan matanya bertemu, aku menyalami tangannya. Rasa rinduku sedikit tertahan, karena keharuan. Tak lupa kehebohanku disepanjang perjalanan pulang, terus aku sembunyikan, sembari berusaha sebisa mungkin agar air mata yang hendak keluar, dapat kutahan. “Apakah tak ada pelukan kerinduan untuk abangmu yang sudah jauh pulang kekampung ini?” lanjutnya sedikit menggodaku.
Dan setelah ia bicara, aku memeluknya erat. Tubuh tinggi yang lebar itu, aku peluk erat. Betapa kurindu sosoknya, sosok orang yang sering iseng, sering becanda, tapi penyayang ini. “Abang jahat.” Bisikku. Sekarang bercampur air mata yang meluap-luap. “Abang berbohong padaku.”
“Ini namanya surprise adinda sayang.” Sahutnya bernada bangga. Seharusnya kulihat saat ia menjawab pertanyaanku tentang kepastiannya akan pulang. Apakah ia melirik ke kanan kiri? Atau tidak sama sekali? Agar tak berhasil aku di kelabuinya.


Bandung, 1 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar