Minggu, 10 Februari 2013

Mawar Sebenarnya



Mendengar, atau menonton acara berita jelas bukan suatu hal yang menarik untukku. Bukan aku tak mau menerima, atau mengetahui informasi terkini yang sedang hangat dibicarakan masyarakat dalam atau luar negeri. Tapi aku tak terlalu tertarik mendengar, atau menonton berita karena sepertinya hanya hal-hal buruk saja yang dijadikan bahan berita.
            Anak membunuh ayahnya, ayah menikam anaknya, murid menusuk gurunya, guru memukul muridnya. Wakil rakyat bergotong royong korupsi, wakil rakyat cari kambing hitam dalam dugaan korupsi. Wakil rakyat adu jotos dalam rapat, wakil rakyat sepakat menggusur para pedagang kaki lima. Untuk kemudian membangun mall diatas tanahnya. Wali Negara mengunjungi negeri orang, derita kelaparan rakyat negeri ini. Bentrok antar kampung, pelecahan agama, ras, atau suku. Apakah tak ada berita bahagia yang terjadi di negeri ini, sehingga bisa diangkat menjadi berita?
            Tapi dibeberapa menit yang lalu. Sebuah berita berhasil menghipnotisku. Membuatku terpaku, untuk sementara waktu menghentikan gerakanku meraih remote televisi. Seperti biasanya, korban pelecahan seksual, korban kejahatan lainnya. Akan diwawancarai tak memakai nama sebenarnya. Dan entah salah cetak, atau memang sengaja dicetak. Di sudut bawah televisa, tempat dimana biasanya diletakan nama samaran sang korban. Nama korban itu ditulis Mawar (Nama Samaran), tapi sekarang yang aku lihat Mawar. Tanpa ada kata diapit tanda kurung. Apa maksudnya? Aku juga tak tau. Yang jelas mataku masih setia menatap layar televisa, yang sekarang dominan warna gelap itu.
            Pikiranku jauh melayang, pada sosok seorang gadis yang bertubuh tak terlalu tinggi, ramping, dengan senyum cerianya selalu tercermin diwajahnya. Ia gadis yang jadi cinta pertamaku. Teman masa kecilku, sampai kami terpisah oleh waktu yang melaju tanpa pernah mau repot menunggu. Waktu yang membuatku harus berkuliah di Bandung, sementara ia tetap tinggal di kampungnya, didaerah asalnya.
            Biar aku katakan, ia adalah cinta pertamaku kawan. Tapi semua yang kau bayangkan tentang cinta pertama yang romantis, mesra, penuh kehangatan gelora masa muda. Rupanya jauh benar dari yang pernah kualami. Tak ada hubungan, selain hubungan perteman antara seorang lelaki dan seorang perempuan. Itu masih aku jaga sampai sekarang, sampai tak pernah lagi kudengar semua kabar tentangnya.
Ketika aku kembali kedaerah asalku. Aku sempat mencarinya, sempat menanyakan kabarnya kepada teman-teman yang sama bersekolah denganku dulu. Dari merekalah kutau kalau ia telah pergi meninggalkan kampungnya kurang lebih dua tahun sejak aku pergi ke Bandung. Sebenarnya tak ada penghalang lagi untukku mengatakan perasaanku padanya. Tak ada larangan baik dari darah, nama belakang, atau pesukuan. Sehingga tadinya aku hendak melamarnya, saat aku pulang kampung. Dan rencana itu terpaksa musnah sekarang, sebab ia pergi meninggalkan kampung bersama suaminya.
Hanya satu benteng penghalang untuk aku meminangnya. Benteng itu adalah pernikahannya dengan seorang perjaka dari daerah yang berbeda. Kekasihku itu dibawa kekota lain. Merantau dengan suaminya. Dan wajar kupikir bila istri mengikuti suami, hal yang sangat wajar setelah pernikahan, setelah hubungan antara dua orang berbeda kelamin menjadi sah dimata Tuhan, juga Negara.
Merasa tak menemukan kekasih hatiku di tempat asal, dengan berat hati kembali aku meninggalkan kampung halaman. Lama sudah, sekitar lima tahun berlalu. Dari terakhir kali aku pulang kampung itu.
Beberapa teman sekantorku sering mengkhawatirkan keadaanku. Statusku yang masih lajang itu adalah alasan mereka untuk akhirnya bisa mengenalkanku dengan seorang wanita pilihan mereka. Tapi tak jua wajah cinta pertamaku itu menghilang, membuat segala usaha teman-teman sekantorku jadi nihil akan hasil.
“Apa kamu mau jadi bujang lapuk Nar?” suara temanku sewaktu aku menolak seorang gadis yang baru saja dikenalkannya padaku.
“Lagian apasih yang kamu cari lagi? Rumah punya, mobil ada, mapan iya?” tambah temanku yang lain, asik menyalip pembicaraan.
“Bener. Tinggal cari isinya aja tuh Nar, buat rumah kamu itu.”
Memang ingin rasanya, aku mengakhiri masa lajangku ini. Sering kuterima telepon dari orang tuaku, dan mereka mengungkapkan keinginan hati mereka yang mengebu-gebu. “Ingin nimang cucu.” Singkat saja, alasan kedua orang tuaku memaksaku menikah. Tapi apa daya? Wajah cinta pertamaku tak lekang oleh waktu. Selalu membayang disela lamunan petangku. Apalagi belakangan wajah itu sering menjumpaiku dialam bawah sadar.
***
Stasiun televisi yang tengah menayangkan acara berita itu masih mewawancarai nara sumbernya. Nama sang narasumber jelas bukan samaran, walaupun suaranya sudah diedit sedemikian rupa oleh para kru acara berita tersebut. Karena suara sang narasumber terdengar seperti suara anak kecil, dengan suara tinggi yang melengking bila dipaksakan berteriak.
Dari wawancara yang kudengar diacara berita itu. Aku tau kalau sang narasumber adalah salah seorang korban trackfiking, kejahatan penjualan manusia. Dan seperti biasanya, itu adalah berita biasa di negeri ini. Parahnya yang menjualnya adalah orang dari bangsanya sendiri. Apa negeri ini sudah sampai dilaknat sedemikian rupa, hingga bangsa sendiri tega menjual orang sebangsanya kepada bangsa lain? Apa benar musuh terbesar bangsa ini, adalah bangsanya sendiri? Entahlah?
Wajah kekasih pertamaku langsung membayang dalam pikiran sepi ku. Tak kuasa aku menolaknya. Apa mimpiku yang sering melihatnya menangis, itu adalah sebuah pertanda? Kecemasanku makin menjadi-jadi. Dengan cepat aku mencari handphoneku. Mencoba mengontak sebuah nomer, yang lumayan lama tak pernah kuhubungi.
“Halo Assalamualaikum.” Ucapku ketika hubungan telah tersambung.
“Walaikumsalam Nar. Sehat ananda?” suara ibuku bagaikan teduh rindangnya pohon beringin, ketika mentari siang tengah terik menarik segala cairan dari setiap lekuk tubuh. Sejuk. Meneduhkan.
Tak ingin rasanya aku menyakiti hatinya, atau sampai membuatnya menunggu untuk bisa menimang cucunya yang pertama. Tak ingin rasanya aku mengecewakan seorang wanita yang satu ini. Yang dikakinya ada surga untuk anak-anaknya. Yang rela bertaruh hidup, sewaktu melahirkan aku kealam dunia. Tapi apalah daya diriku ini, setelah mendengar berita di televisi tadi. Hatiku tak tenang jadinya. Cinta memang penyakit, dan bila ditahan tambah sakitlah badan kita jadinya. Maka dari itu, dengan berat hati aku bertanya pada wanita terbaik di dunia ini. walaupun kutau, itu akan melukainya. “Ibunda, ado kaba dari Mawar ndak?” ibuku tak langsung menjawab. Desah nafasnya saja yang mengalun, menawarkan hening dingin yang membuat sel-sel otakku makin hangat jadinya.
“Ndak ado ananda.”


Bandung, 1 September 2012
        






Tidak ada komentar:

Posting Komentar