Minggu, 10 Februari 2013

Bertelanjang Paha


Raka siap tuk bergerak meninggalkan rumahnya. Setelah merasa semua kunci pintu, juga jendela rumah ditutupnya dengan rapat. Sehingga tak akan ada orang yang bisa masuk kedalam rumahnya. Ia mulai melangkah kedepan rumah, menunggu taksi yang sebelumnya telah ia pesan. Statusnya yang masih lajang, membuat rumahnya tak berpenghuni kala ia sedang bekerja. Menuntutnya harus berhati-hati saat akan pergi keluar dari sana.
Menunggu taksi di depan rumah. Ia mulai merogoh saku bajunya, sekedar mengambil bungkus rokok. Untuk kemudian mengeluarkan satu batang dari dalam sana lalu menghisapnya. Tapi baru saja ia ingin mehirup hisapan kedua dari batang rokok yang ia selipakan di bibir. Pemandangan tak biasa tiba-tiba menyergapnya. Pemandangan yang kurang mengenakan bagi pandangan mata di pagi hari, kala mentari belum cukup sampai di poros tengah hari.
Dilihatnya beberapa ibu yang sedang berbelanja sayuran di sebuah warung dekat dengan rumahnya, menggunakan baju, tanpa mengenakan celana. Atau penutup bagian bawah paha sampai ke kakinya. Mereka disana tampak santai, dan tak berdosa, seperti sudah biasa melakukannya. Terus asik bercengkrama satu dengan yang lainnya, entah sedang membicarakan apa?
Tak mau ambil pusing dengan pemandangan yang baru saja dilihatnya. Raka menaiki taksi berlambang burung biru, yang menjemputnya. Tubuhnya ia sandarkan di jok mobil yang empuk. Matanya ia coba pejamkan sejenak, sambil menghirup nafas dalam-dalam. Sepertinya pemandangan yang baru saja ia lihat, membuatnya jadi shock berat.
Cukup lama menutup mata, sudahlah ia merasa lebih tenang jadinya. Mulai lagi ia larikan pandangannnya kearah luar jendela. Satu bangunan, dan bangunan lainnya. Ia lalui, biasa saja. Di sebuah bangunan, yang tengah berdiri di area tanah sangat luas. Di bangunan salah satu kantor milik pemerintah. Batinnya terhentak kembali. Merasa ada keganjilan, ia segera mengucek matanya, cepat, sampai matanya terasa pedih karenannya.
Sekali lagi, tak bisa lagi ia sembunyikan rasa herannya. Pemandangan di warung sayur dekat rumah, dengan ibu-ibu yang tak mengenakan bawahan, baik celana, ataupun rok. Sekali lagi ia lihat dengan mata telanjang. Disana, para pegawai yang hendak masuk kerja ke kantor. Berjalan, juga ada yang berlari. Ada yang jalan sendirian, ada yang datang ke kantor bersama dengan temannya. Mereka semua bekerja tanpa menggenakan celana. Atau apapun bawahan pakaian mereka. Sehingga bisa ia lihat bokong, dari beberapa pegawai pemerintah. Hanya beberapa diantara mereka yang mengenakan bawahan, guna menutupi aurat mereka. Mereka berpakaian seragam lengkap. Sedangkan yang lainnya, dengan jumlah lebih banyak. Bekerja tanpa mengenakan bawahan, bertelanjang paha saja.
Raka kembali menarik nafas panjang. Merasa masih belum bisa percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Sadar dengan kegelisahan yang sedang dialami Raka, supir taksi yang dinaiki Raka. Melihat pelanggannya, dengan menggunakan spion dalam mobil. “Ada apa pak? Kok keliatannya gelisah sekali.”
Cepat Raka melarikan pandangannya menuju kearah supir taksi itu. “Bapak emang nggak lihat, pegawai-pegawai pemerintah itu kerja. Pake baju, tapi nggak pake celana?” jawab Raka spontan.
Sang supir diam, tak langsung mengeluarkan suara dari mulutnya. Matanya masih serius melihat jalan yang sedang dilalauinya. “Lah emangnnya begitu ya biasanya?”
“Maksud bapak?” heran Raka mendengar jawaban supir taksi barusan.
“Pegawai pemerintahkan banyak yang nggak tau malu. Maunya digaji, tapi kerjanya kacau. Itu udah rahasia umum pak, tapi toh masih aja banyak yang nggak malu. Berarti sama aja kan pake baju tapi nggak pake celana? Nggak tau malu pak.”
Sejenak, biar tak terlalu terlihat jelas. Tapi Raka menggangukan kepalanya, ia cukup sependapat dengan argument dari supir taksi itu. Pandangannya kembali dilemparnya kearah luar, sambil diliputi satu perasaan was-was. Takut-takut, ia kembali melihat pemandangan yang merusak paginya lagi. Dan benar saja. Ketika taksi yang sedang dinaikinya, berjalan melintasi sebuah gedung milik salah satu media cetak di Indonesia. Ia tercengang, untuk yang kesekian kali. Matanya kini membelalak, cukup lama matanya seakan lupa cara buat berkedip.
Di depan kantor media cetak itu, di muka kantor yang katanya selalu menghadirkan kejujuran dalam pemberitaan. Banyak dilihatnya, orang-orang. Entah pegawai kantor media cetak itu, atau bukan. Tapi yang jelas, banyak diantara mereka. Mondar-mandir, bergerak seakan dikejar waktu. Berlari menuju satu orang ke orang lainnya. Tanpa menggunakan celana, atau rok untuk menutupi bawahan mereka. Mereka juga bertelanjang paha.
Kalau di depan kantor pemerintahan tadi. Bisa ia sependapat dengan supir taksi, yang menyetir taksi yang sekarang dinaikinya. Tapi mengapa di kantor sebuah media cetak, yang konon mengabarkan kejujuran dalam setiap pemberitaan. Bisa juga para pegawainya, bekerja tanpa menggunakan celana?
Lantas mengapa di warung sayur depan rumah. Ibu-ibu bercengkrama, saling berbicara, menjalin komunikasi. Membeli sayur, atau bumbu masakan. Juga tanpa menggunakan celana, atau bawahan penutup pakaian. Kenapa mereka semua harus bertelanjang paha?  
“Ada apa lagi pak?” supir taksi didepannya, bertanya ramah.
“Enggak ada apa-apa pak?” jawab Raka singkat. Ia tak ingin, kembali mendengar satu argumen. Yang bisa membuatnya sependapat dengan pikiran seorang supir taksi.
***
Semakin lama taksi yang ia naiki, semakin dekat pulalah ia ketujuannya. Tak lagi dihiraukannya mengenai orang-orang yang dari tadi bertelanjang paha sewaktu mereka berada dikantor tempat mereka bekerja.
Tak terhitung lagi oleh Raka, berapa banyak kantor yang pegawainya bekerja tanpa menggunakan celana. Yang sudah dilaluinya selama perjalanan ke tempat kerja. Hampir sampai ditujuan. Raka coba melihat argo taksi yang ia naiki. Sampai sebuah pemandangan yang dari tadi sudah banyak dilihatnya, kembali menghampiri. Supir taksi, yang tadi berkomentar tentang bagaimana pegawai pemerintahan. Bekerja dengan mengenakan baju, tanpa mengenakan celana. Dan yang sekarang ini dilihatnya. Adalah sang supir taksi yang bekerja, mengenakan baju, tanpa mengenakan celana.
“Kenapa Pak?” suara supir taksi itu, mengagetkan Raka.
Mata Raka, sangat cepat mengalihkan pandangannya. “Ah nggak apa-apa Pak.” Jawab Raka, sedikit gelagapan. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya mengapa semua ini bisa terjadi. Mengapa banyak orang pakai baju, tapi tak pakai celana? Apa mereka semua tak malu bertelanjang paha seperti itu? Dilihat banyak orang, mereka berpakaian tak lengkap? Lalu bagaimana dengan mereka yang memiliki badan indah, tubuh yang halus, dan wajah yang cantik? Apa mereka tidak sayang mengobral keberhargaan mereka di depan banyak orang. Dengan cara mengenakan baju, tanpa mengenakan celana?
Silih berganti pertanyaan berseliweran dalam benaknya. Nalurinya, telah secara alamiah membuatnya berpikiran kritis untuk setiap kejadian. Berfikir logis, tentang setiap kemungkinan. Mencari jawaban dari setiap persoalan. Mengomentari setiap kebijakan yang ganjil negeri ini. Tanpa itu semua, ia tak mungkin mendapatkan kerja. Tak mungkin ia diundang ke berbagai stasiun televisi untuk dimintai pendapat, mendebatkan suatu masalah yang sedang terjadi di negeri ini. Ia adalah harapan negeri ini, saat tak ada lagi yang bisa dipercaya untuk mengontrol para penyelenggara negara. Dengan komentar-komentarnya, baik di media elektronik, ataupun cetak. Pemerintah akan disorot lebih dalam lagi, sehingga ia merasa mustahil kebenaran bisa disembunyikan.
            “Pak sudah sampai.” Ucap supir taksi, mengagetkan lamunan singkat Raka.
Matanya melihat supir taksi itu, “Berapa Pak?”
“Dua puluh lima ribu Pak.” Sahut supir taksi itu halus. Gerak tangan Raka, spontan mengarah kearah bawah. Ingin ia mengabil dompet di saku celanannya. Tapi setelah ia arahkan tangannya ketempat biasa ia menyimpan dompet di saku celananya, bukannya saku celana yang dipegangnya. Melainkan yang lain. Matanya cepat melihat kearah bawah, dan betapa terkejutnya ia ketika sadar tentang celananya. Yang sedari tadi rupanya tak ia kenakan.
                                                       

Bandung, 1 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar