Senin, 18 Februari 2013

Jejak Langkah Rani



Rani mengemudi mobilnya menuju kantor. Perjalanan yang dekat, serasa berlalu dengan lambat. Mobil yang dikemudikannya terjebak macet di pagi hari, kemacetan yang rutin terjadi di setiap hari. Matanya yang masih tajam melihat, meskipun telah memasuki kepala empat. Membuatnya terus melempar pandang, dan tak mau diam. Selalu memandang kesana kemari, memandang di tengah kemacetan yang terjadi.
Karena hanya dengan melakukan itu, ia dapat menghilangkan rasa bosan, karena masih berada di kemacetan. Pandangannya tiba-tiba terhenti, saat melihat sosok seorang wanita tua yang ada disebelah jalan. Sosok seorang wanita tua yang terlihat kesusahan, sewaktu memunguti sampah.
Dari wajah, dan tubuhnya, Rani memperkirakan wanita itu pastilah sudah berumur 50 atau 60 tahunan. Jalannya yang bungkuk, merupakan indikator bahwa seharusnya ia sudah tak lagi bekerja. Entah alasan apa yang membuat ia masih saja bekerja, di usianya yang mulai renta.
            Tak menunggu lama, Rani mengarahkan mobilnya ke sisi jalan yang sedang di laluinya. Rasa penasaran pada sosok wanita tua yang barusan dilihatnya, membuatnya melakukan itu. Setelah mencari tempat tuk memarkirkan mobil Mercy mewahnya itu. Dan memastikan mobil itu terparkir dengan benar. Ia beranjak dari kemudi mobil, dengan gerakan yang cepat. Tujuannya hanya satu, ingin sesegera mungkin menghampiri wanita tua yang dilihatnya tadi.
“Ibu.” Ucap Rani sopan, saat sosok wanita tua tadi sudah sedemikian dekat dengannya. Wanita tua itu sedikit termenung melihat Rani yang menghampirinya secara tiba-tiba. Entah kaget, atau malah tak percaya dengan apa yang sedang terjadi padanya. Dalam kehidupannya sebagai pemulung, tidak pernah ia sengaja dihampiri oleh orang yang stelannya semewah Rani saat ini.
“Ada apa Nyonya?” Ucap wanita itu sopan. Sekarang Rani yang nampak kebingungan.
“Mau apa tadi aku menghampiri Ibu tua ini?” Ucapnya dalam hati, kebingungan setelah sadar responnya, ternyata sudah mendahului pemikirannya.
“Nyonya?”
“Ehm iya Bu. Ibu tau Jalan Kopo itu kearah mana nggak Bu?” Ucap Rani tak hilang akal. Sedikit banyak, pengalamannya bertemu dengan orang yang berbeda-beda dalam pekerjaannya. Telah membantunya menghadapi kondisi yang di luar dugaan, seperti apa yang sedang di alaminya sekarang.
“Jalan Kopo ya Nyonya?”
“Tak usah panggil Nyonya Bu! Panggil saja saya Rani.” Sela Rani halus.
“Lurus aja Nak Rani, terus ada belokan ke kiri. Itu udah masuk Jalan Kopo.” Wanita itu mengangguk, lalu menjelaskan sambil mengarahkan telunjuknya. Rani sebenarnya nyaris tak memperhatikan apa yang dikatakan oleh wanita tua itu, ia sudah tau kemana, dan dimana jalan Kopo itu berada. Bahkan ia sudah tau seluruh jalan yang ada di Bandung. Perhatiannya tertuju pada sosok wanita yang sekarang berada tepat dihadapannya. Mendadak ia jadi teringat sosok seseorang, sewaktu memperhatikan wanita tua yang ada dihadapannya.
***
            Rima masih terus menderita. Semenjak tiga belas tahun yang lalu, ia ditinggalkan oleh suaminya, suaminya yang pergi ke kota dengan niat tuk mencari kerja, tapi tak pernah kembali ke hadapannya. Sejak saat itu, dia lah yang mengambil alih urusan menjadi kepala keluarga, dan berurusan dengan masalah mencari nafkah untuk ia, dan anak semata wayangnya. Rani.
            Di pagi hari, ia akan begumul dengan lumpur yang ada di sawah. Menanam padi, menyemainya, kemudian memanen apabila sudah cukup waktunya. Di sore hingga menjelang Maghrib, waktu kerja wanita ini belum juga akan berhenti. Ia masih akan mencari batangan kayu bakar, yang terdapat di antara semak belukar di dalam hutan. Tujuannya untuk dijual kepada warga kampung yang sedang membutuhkan kayu bakar. Kalau tak ada warga kampung yang mau membelinya, kayu bakar itu akan ia pakai sendiri, untuk keperluan memasak di rumah.
            Sesekali. Ketika ada warga kampung, para tetangganya yang lebih beruntung. Memintanya tuk membantu mereka membereskan rumah, Rima akan dengan senang hati membantunya. Pekerjaan seperti memasak, mencuci piring, atau menyetrika pakaian akan dengan senang hati ia lakukan. Karena itu dapat menambah pemasukannya.
            Sering para petani lain, menyarankan agar ia mengajak Rani untuk mau ikut serta membantu bekerja di sawah. Mengingat kondisinya yang sudah tak muda lagi, teman-teman petaninya prihatin dengan kondisi Rima, yang makin memburuk seiring bertambahnya waktu. Tapi semua saran dari teman-teman sepekerjaannya, hanya dibalas senyum di bibirnya, tanpa ada kata-kata yang keluar.
Dalam pikirannya, ia hanya ingin Rani bersekolah. Tak usah ia harus letih berfikir tentang segala macam rupa pekerjaan Ibunya. Ia tak ingin Rani harus berhenti bersekolah, hanya karena sibuk membantunya di sawah atau pun mencari kayu bakar di hutan.
            Rima sangat percaya, wanita yang bersekolah akan lebih berharga di dalam hidupnya. Walaupun mereka memang harus ke dapur, saat mereka berkeluarga nanti. Memang mereka harus mengurus anak, dan segala kecakapan rumah tangga, serta rumah mereka. Tapi pendidikan akan membedakan mereka dari segi pikiran, serta wawasan yang ada di kepala mereka.
            Ia percaya itu. Karena Kartini sudah lebih dulu membuktikannya. Beliau, sudah lebih dulu ada. Sudah lebih dulu tiada, di bandingkan ia. Tapi beliau telah membuktikannya, membuktikan bahwa wanita yang bersekolah jelas akan berbeda. Walaupun itu memang tak nampak jelas di luar, tapi isi aneh didalam kepala mereka benar-benar membuktikannya. Alasan kuat yang akan ia perjuangkan, sebisanya, semampunya. Bukankah manusia memang diwajibkan untuk berusaha, dan kemudian baru menyerahkan hasilnya pada Yang Maha Kuasa?.
***
“Rani besok nggak mau datang ke sekolah Bu.” Ucap Rani singkat, pada Rima sewaktu membantu Ibunya menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Wajah pias Rima, jelas tak bisa ditutupinya, ia nampak pucat mendengar hal yang paling dihindarinya, yang malah keluar dari mulut anaknya. Dari mulut buah hati, yang terus mengisi hari-harinya, dari mulut pelita di jalan gelap hidupnya. Dengan cepat Rima memeluk anak kesayangannya itu, di dekapnya Rani anaknya, sambil terus berusaha menahan keluar air mata.
“Kenapa kamu ngomong kayak gitu Nak?” Tanya Rima, dengan hati yang kecewa.
“Ani mau bantu Ibu aja di sawah, Ani nggak mau sekolah lagi.” Pertahanan Rima bobol sudah. Air mata yang selama ini terus berusaha tuk ditahannya, agar tak pernah keluar. Kali ini tumpah, bak air bah. Menenggelamkannya dalam kesedihan, yang ia pun sudah lupa kapan terakhir kali merasakannya. “Ibu kenapa nangis? Ani nggak pernah liat Ibu nangis? Ibu marah ya sama Ani?” Tanya Rani pada Ibunya, yang tengah medekapnya erat.
“Mulai dari sekarang, jangan pernah keluarkan kata-kata seperti itu lagi kepada Ibu ya Nak!”
“Kenapa Bu? Apa nggak boleh Rani membantu Ibu?”
“Kamu mau membantu Ibumu ini Nak?” Tanya Rima, dengan suaranya yang masih terdengar tak jelas, karena diselingi dengan isak tangis.
“Iya Bu, Rina mau ngebantu Ibu.”
“Mau ngelakuin yang Ibu minta? Untuk ngebantu Ibu?” Rina menganguk seyakin-yakinnya. “Kalau begitu sekolah lah yang baik! Lulus lah SMA! Dan berkuliah lah!” Jawaban Rima, mengagetkan anak satu-satunya itu. Rina yang gadis desa, tak pernah berfikir tuk kuliah. Bahkan pendidikan SMA yang sekarang tengah dienyamnya, sudah termasuk tinggi untuk ukuran gadis-gadis di desanya tempat tinggalnya. Yang rata-rata mereka hanya bersekolah sampai tingkat SD. Tak pernah terlintas dipikirannya, Ibunya yang wanita dusun, tak pernah sekolah, tak bisa baca, dan tak bisa menulis. Tapi beliau bisa memiliki cita-cita setinggi itu. “Sekolah itu salah satu jalan untuk kita bisa masuk surga Nak. Jalan terbaik untuk berbahagia di dunia, dan berbahagia di akhirat. Jangan pernah lupa itu Rani.” Perbincangan, dan pelukan hangat Ibu dan anak ini, berakhir sudah. Dengan tanda tanya besar, yang berada dibenak Rani.
***
“Bu aku pulang.” Sorak Rani sesampainya ia dirumah, setelah lima tahun tinggal di kota. Lima tahun ia tak pernah pulang, karena memang dilarang oleh Ibunya. Rima Ibunya, selalu mengatakan hal yang sama saat Rani berfikir tuk mengunjunginya di desa.
“Lebih baik, uang yang akan kamu pakai buat pulang itu. Kami simpan untuk keperluan kuliah! dari pada digunakan untuk keperluan foya-foya seperti pulang kampung. Pulanglah kamu bila telah kau selesaikan kuliah mu itu anakku.”
            Selama berkuliah, Rani memang tak pernah mengharapkan uang kiriman dari Ibunya. Tapi Ibunya tetap saja mengiriminya uang walaupun sudah dilarangnya. Keaktif Rani menulis cerpen, puisi, atau meresensi buku yang baru selesai dibacanya, sangat membantu keuangan Rani. Karena dari honor tulisan-tulisan itulah dia bisa setidaknya aman dalam segi keuangan. Apalagi sedari kecil, Rima sudah menerapkan pola hidup hemat kepada anaknya ini. Membuatnya tidak terlalu sulit dalam mengelola keuangannya.
            Sebenarnya, sudah beberapa bulan ke belakang. Rasa Rani tuk pulang makin besar. Kiriman uang dari Ibunya, yang biasanya datang di setiap bulan. Beberapa bulan kebelakang tak kunjung datang, hal itu seakan jadi pertanda buruk untuknya. Tapi semua niat untuk pulang, terbendung saat ia mengingat kata-kata Ibunya. Saat Ibunya juga tak membalas surat undangan tuk datang pada hari Wisudanya. Rasa ingin pulang itu akhirnya sudah tak terkendali. Membuatnya risau dengan keadaan Ibunya.
 “Ibu… Ibu… Ibu…” Ucap rani sesampainya ia di dalam rumah itu.
“Ibu… Ibu…” Kembali ia memanggil, tapi masih tak ada jawaban dari dalam rumah. Ia mengarahkan pandang ke sekeliling rumah yang tak begitu luas. Setelah merasa Ibunya sedang tak berada di rumah. Kakinya berlari menuju ke rumah Mbak Sari, tetangga terdekat yang sering membantu Ibunya.
“Mbak Sari…”
“Eh Rani, kapan kamu pulang?”
“Barusan Mbak. Oh iya mbak, mbak tau Ibu dimana nggak?” Mendengar pertanyaan Rani, wajah Mbak Sari terlihat sedikit gugup karenanya. Rani membaca perihal keganjilan ini, ia mencoba bertanya, tapi tak berani untuk berhadapan dengan kenyataan yang akan ia dengar.
“Ibumu udah pergi duluan Rani.” Tak ada air mata, atau kristal-kristal kecil penghias bola mata Rani. Hanya ada sepi, senyap, mereka berdua terdiam. Tidak terlintas satu katapun dari mulut Rani, atau Mbak Sari. Kesedihannya yang terlalu dalam, membuat Rani bahkan tak tau harus berbuat apa sekarang.
***
“Nak Rani.” Satu suara mengagetkan Rani.
“Eh iya Ibu ada apa?”
“Kenapa ngelamun?”
“Nggak Ibu, nggak kenapa-napa.”
“Ya udah, Ibu ngelanjutin kerja lagi ya Nak.” Ucap wanita tua itu halus. Tubuhnya melewati Rani, sedangkan Rani hanya terdiam.
“Tunggu sebentar Bu.” Seru Rani spontan, sambil membalikan badannya. Guna memanggil wanita yang barusan telah berlalu darinya. Wanita itu terperanjat, terdiam, tapi padangan matanya sangat menyejukan. “Ibu, saya lagi butuh orang yang mau bantu-bantu di rumah. Ibu mau nggak bantu-bantu saya di rumah?” Sebelum wanita itu sempat menjawab, Rani langsung mengajaknya naik ke dalam mobil. Sampah-sampah yang ada dikarung, yang dari tadi sudah dikumpulkan wanita tua itu. Ditaruh Rani kedalam bagasi mobil Marcinya. Ia seakan tak perduli, mobil mewahnya itu bisa jadi bau macam-macam, karena sampah-sampah itu. Yang ia perduli adalah sosok wanita itu mengingatkannya pada sosok orang yang paling dicintainya. Sosok Ibunya.
“Ibu kenapa masih mau kerja aja Bu. Apa nggak cape Bu? Kan sampah-sampah itu pasti berat?”
“Hati saya lebih berat lagi kalau anak-anak saya pada nggak bisa sekolah Nak Ran…” Wanita itu tak berani melanjutkan pembicaraanya, karena sadar sosok yang ada di sebelahnya sekarang. Merupakan sosok majikannya di esok hari.
“Panggil aja Nak Rani Bu, enak kok saya dengernya. Emang anak Ibu masih sekolah ya Bu?” Wanita itu menganggukan kepalanya. “Kelas berapa aja Bu?” Tanya Rani lagi
“Ada yang udah kuliah satu orang, dua orang masih SMA.”
“Ibu semangat banget ya nyekolahin anak-anaknya.” Balas Rani kagum.
“Menurut Ibu, sekolah itu salah satu jalan untuk kita bisa masuk surga Nak. Jalan terbaik untuk berbahagia di dunia, dan berbahagia di akhirat nanti, Nak Rani.” Hati Rani tersengat, pikirannya teringat sebuah kata yang pernah ia dengar sebelumnya. Tanpa ia sadar, air mata deras mengalir di sela-sela pipinya. “Kenapa Nak Rani? Ibu salah ngomong ya?”
“Nggak Bu. Ibu nggak salah ngomong. Ibu benar sekali.” Ucap Rani, masih terisak.


Bandung, 10 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar