Minggu, 10 Februari 2013

Bapak Recehan


Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap bulan ramadhan menjelang, aku akan membantu ayah dikiosnya. Menjual baju anak. Setidaknya sampai hari lebaran datang inilah yang kunamakan kesibukan. Dan dipagi ini, kira-kira seminggu menjelang lebaran. Aku datang lebih awal, lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Pengunjung yang datang ke pasar seminggu menjelang lebaran, memang jauh lebih banyak dari hari-hari kemarin. Lewat asumsi inilah, aku berfikir akan banyak pembeli yang mencari baju bedug buat anaknya. Membuatku memutuskan buka toko lebih awal jadinya.
Sampai dimuka toko, aku lakukan rutinitas biasa. Membuka roling door toko, untuk kemudian memajang semua barang dagangan, berharap para pengunjung bisa melihatnya. Sehingga mau singgah, atau malah berniat membeli baju anak yang ada di toko ayah.
Selesai dengan segala urusan, membuka roling door, memajang pakaian, menyusun barang, serta beberapa kewajiban membersihkan toko. Seorang pembeli menghampiri datang ke toko ayah, ia seorang bapak tua yang berpakaian lusuh. Kumisnya tumbuh tak rata, karena dipangkas bukan dengan alat cukur. Rambutnya kering, sedikit pirang karena kepanasan.
Melihat penampilannya, pikiranku tak bisa kukendalikan agar tak meremehkan pengunjung pertama toko yang sekarang ada dihadapanku ini. Sekilas aku berfikir tak ada gunanya, melayani pembeli yang maunya cuman merepotkanku dengan segala pertanyaannya berkaitan harga satu pakaian, dengan pakaian lainnya. Membandingkan barang dagangan yang ada ditoko ayah, dengan toko lainnya. Atau malah meremehkan barang yang dijual toko ayah, karena menurutnya harga pakaian ditoko ayah terlalu mahal buat barang yang kurang bagus.
Tapi itu semua lenyap saat ayah memberi isyarat buat melayani bapak itu. Maka dengan berat hati, masih ogah-ogahan. Aku paksakan tuk bertanya, “Boleh pak baju anaknya.” Ucapku cukup terbiasa. “Baju anak buat umur berapa pak?” lanjutku menawarkan. Tak ada jawaban dari bapak yang ada didepanku ini, matanya masih melihat barang yang dipajang di toko ayah. Aku berfikir dia sedang memilih-milih pakaian yang kira-kira akan ia berikan pada anaknya. “Anaknya cewek-cowok pak?” tanyaku kembali, merasa tak ingin lebih lama lagi waktuku terbuang.
“Yang itu berapa ya bang?” suaranya keluar, sambil menunjuk kearah etalase pakaian yang ada dibelangku. Disana tersusun deretan baju yang dikenakan pada patung-patung plastik, berukuran setengah badan anak-anak.
“Yang mana pak?” aku membalikan badan juga kepala, memfokuskan pada arah telunjuknya.
“Yang merah itu.” Jawabnya tetap menunjuk kearah deretan pakaian anak yang dipajang dibelakangku.
“Yang ini?” tanyaku, ikut mengarahkan telunjuk pada salah satu pakaian anak berwarna merah, dihiasi motif tanda hati diseluruh bagiannya.
Bapak itu mangut-mangut cepat, “Iya yang itu harganya berapa?”
Tanpa menunggu pertanyaan selanjutnya, aku meraih baju yang dipilih bapak itu. mengambil baju yang dikenakan patung plastik, lalu menaruhnya keatas meja. “Yang ini seratus dua puluh ribu.” Kuberitahu harganya cepat.
“Bisa kurang.” Bapak itu menawar. Aku mengganguk. “Kalo yang itu berapa?” belum menawar. Ia kembali menunjuk kearah salah satu pakaian yang dikenakan patung plastic yang dietalase.
Aku kembali membalikan badan, “Yang itu sembilan puluh ribu.” Langsung kuberitahukan harga barang yang ia inginkan. Kemudian hal yang sama, aku lakukan. Kuraih patung plastik yang sedang mengenakan pakaian yang bapak itu inginkan. Aku lepas pakaian itu dari patungnya. Lalu menyodorkan barang itu padanya.
Ia melihat, serta meraba pakaian yang baru saja ku sodorkan. Lalu mencoba melepaskan pakaian yang dikenakan patung, yang sebelumnya telah aku turunkan. Lewat gerakan yang terbiasa. Aku meraih patung itu, lalu melepaskan pakaian yang dikenakannya. “Biar saya aja pak.” Selaku seramah mungkin.
Baju yang didominasi tanda hati itu masih dipegannya. Dan baju kedua, sekarang mulai ia raba-raba juga. Setelah cukup lama meraba kedua pakaian itu. Ia letakan keduanya kembali kemeja. “Dua ini seratus ribu ya bang.” Tawarnya singkat, tapi dengan daya kejut yang tak bisa kusembunyikan diraut wajahku. Ternyata penilaian awalku tentang orang ini, benar adanya. Ia tak hendak membeli, hanya ingin membuat aku kerepotan dengan hal remeh yang sedang ia rencanakan. Atau malah ia ingin membeli, barang yang mahal dengan harga murah? Itu sama saja dengan menghina barang daganganku. Dan aku malas untuk terus melayaninya.
“Wah belum bisa pak.” Aku mulai ketus.
Bapak itu, kembali melihat serta meraba dua pakaian yang barusan ia pilih. Tapi setelah itu, tangannya seakan memberi pertanda kalau ia memang sangat menginginkan dua baju pilihannya ini. Gerak-gerikanya membuatku jadi curiga, jangan-jangan ia adalah maling yang berpura-pura ingin membeli. Bukan sekali dua kali, aku mendengar hal itu terjadi.
Ini adalah pasar, dan segala bisa terjadi disini. Orang niat baik, niat jahat. Bisa ada disini. Orang dengan banyak uang, atau malah bermasalah dengan keuangan menyatu tak bisa dipisahkan. Pasar bukan hanya, tempat bertemunya penjual juga pembeli. Lebih dari itu, pasar adalah arena orang melakukan hal-hal yang tak bisa diduga. Menawar, membeli, mencuri, atau cuman cari angin bisa orang lakukan disini. “Berapa dong bang pasnya?”
“Paling kalau bapak mau beli dua, saya kasih dua ratus ribu.”
Tak ada sahutan dari bibir bapak itu, tangannya terus mengelus-ngelus pakaian yang ada didekatnya. Terus memperhatikan dua pakaian itu secara seksama. Seperti takut, ada cacat yang terdapat dikedua pakaian tersebut. “Seratus lima puluh ribu aja ya bang?”
“Dua ratus ribu udah murah pak? Ini barang import, kalau barang lokal mungkin bisa segitu.” Sahutku, menjelaskan. Karena sejak pasar bebas mulai diberlakukan. Bisa dibilang segala hal, termasuk pakaian yang masuk kenegeri ini datang dari luar negeri. Tak terkecuali pakaian anak didalamnya.
“Seratus enam puluh ribu ya bang?”
Aku melihat kembali kearah bapak itu. Pengunjung yang belum terlalu ramai datang ke toko. Membuat aku bisa lebih fokus melayani, calon pembeli didepanku saat ini. “Kalau bapak benar mau, saya kasih dua ini seratus sembilan puluh ribu. Gimana?” Ucapku bernada menekan, sambil meraih dua pakaian yang tadi masih ada dalam gengaman, serta diperhatikannya.
“Seratus delapan puluh aja ya bang?” nada memelas, sekaligus strategi tawar menawar mulai ia keluarkan.
Sigap aku melihat kearah ayah yang sedang melayani pembeli yang lainnya. Harga pas tuk kedua barang baru ini, belum benar-benar aku ketahui. “Yah… ini dua seratus delapan puluh ribu?” sorakku pada ayah.
Yang dijawab dengan sorakan balik. “Lima ribu lagi bang.”
“Seratus delapan puluh ribu lah pak.” Bapak tadi masih berusaha menawar.
“Gimana yah?” tanyaku lagi. Setelah ada anggukan kepala, dipembicaraan kami. Barulah aku mulai membungkus dua pakaian barusan. Satu persatu aku masukan, kedalam plastic bening. Baru kemudian kumasukan kekantung plastic hitam, dengan nama, serta alamat toko tercetak dikedua bagiannya. “Pak, mau dibungkus juga yang ini?” Ucapku halus, setelah pakaian pertama selesai aku bungkus, dan sedikit tersendat tuk membungkus pakaian kedua karena masih saja dipegang olehnya.
“Oh iya, maaf bang.” Balasnya halus, memberikan pakaian anak yang dipegangnya kearahku.
“Buat anaknya ya pak? Emang berapa anaknya?” isengku bertanya padanya, sambil membungkus dua pakaian yang sudah terbeli itu.
“Iya, buat anak didesa. Besok saya mau mudik.”
“Oh… kerja dimana pak?”
“Disini. Jadi tukang parkir.” Jawabnya, mengeluarkan sebuah bungkusan dengan suara bergemericik dari dalamnya. Mulai ia keluarkan beberapa lembar uang pecahan seribuan, dan lima ribuan dari dalamnya. Ia rapihkan satu persatu, lalu menghitungnya. Yang tak pernah kuduga adalah beberapa uang recehan seakan tak ingin kalah tuk ia keluarkan. “Maaf receh ya bang.” Aku menggankuk pelan. Entah ada satu perasaan hangat, dari pembeli pertamaku ini. “Maaf bang, kurang lima ratus perak.” Suaranya setelah semua isi bungkusan itu ia keruk seluruhnya.
“Nggak apa-apa pak.” Jawabku cepat. Dua pakaian yang sudah kubungkus, kusodorkan kearahnya. “Ini pak.”
“Makasih bang.” Senyum yang sebenarnya biasa, tapi tak bisa kutolak untuk merasa bahagia karenannya. Muncul ketika ia beranjak pergi sambil terus melihat-lihat isi katung plastic berisi pakaian yang barusan dibelinya. 



  
Bandung, 19 Agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar