Minggu, 10 Februari 2013

Satu Kunang-Kunang, Sebuah Kenangan



Malam ini cuaca lebih dingin dari biasanya. Angin sepoi-sepoi dengan hawa yang dibawanya. Seakan ingin membuat kita cepat tidur diatas kasur, dengan cara menyembunyikan tubuh diantara kehangatan lembaran selimut. Dari pada harus melawan dingin diluar rumah, di tengah malam seperti ini. Tapi malah melawan dingin diluar rumah itulah yang kulakukan sekarang. Melawan dingin malam yang berangin, dengan cara duduk didepan teras rumah. Ditemani oleh segelas kopi, juga sebungkus rokok kretek kegemaranku.
Semua anggota keluargaku sudah lebih dulu tidur. Ayah, ibu, juga adik-adikku. Semuanya telah lebih dulu berselimutkan hangat, diatas kasur empuknya masing-masing. Mungkin letih karena kegiatan, juga pekerjaan seharian. Atau coba bersembunyi dari angin dingin yang melingkupi malam. Entahlah?
Saat asik dengan menghisap rokok kretek, kemudian menyeruput segelas kopi hitam yang masih hangat. Sebuah cahaya mendekat kearahku. Cahaya itu berbentuk titik kecil yang berkerdap kerdip. “Kunang-kunang.” Lirihku melihat cahaya itu makin mendekat. Ini satu peristiwa ganjil yang kualami. Karena aku sudah lupa kapan terakhir kali melihat kunang-kunang disekitarku. Aku hampir berfikir spesies mereka sudah punah, karena tak pernah lagi mereka kutemui. Dirumah, dikampus, dirumah teman, dihutan saat iseng naik gunung, atau ditempat-tempat yang pernah kusinggahi.
Dan malam ini, ketika malam makin beringsut dalam dingin. Ketika senyap lebih menguasi situasi, dan kondisi jauh dari kata riuh. Bisa kulihat lagi kunang-kunang didepanku, tepat dihadapanku.
Perlahan-lahan, kunang itu mendekat. Makin lama ia makin dekat. Dan ketika sudah dekat, tepat didepan hidungku. Ia bermanufer menuju kekakiku yang tengah duduk bersila. Secara khusus, pikiranku telah jauh pergi dari dingin malam, secangkir kopi hangat, juga rokok kretek yang tadi masih kuhisap. Menjadi kearah kunang-kunang yang sekarang nemplok di kakiku.
Kuperhatikan ia lekat, seperti seorang lelaki yang sedang memperhatikan seorang gadis manis pujaan hatinya. Makin lama melihat kunang-kunang itu, aku makin kagum saja jadinya. Cahayanya yang kecil, dan berkerdap-kerdip teratur. Semacam pencerah di gelap langit malam.
Anehnya, kekagumanku melihat kunang-kunang yang masih nemplok dikakiku itu tak bisa kukeluarkan lewat kata. Mulutku tak bisa bergerak, apalagi sampai bersuara. Ia bungkam, melawan pemiliknya. Selama mulutku bungkam, hanya mataku saja yang masih bisa terus menyerap kekagumanku pada kunang-kunang itu. Sampai tak terasa cahaya kecil itu, seakan membawaku kedalam satu perjalanan yang tak bisa kulawan. Pikiranku tak bisa kukendalikan. Ia mengawan semaunya, sementara aku sendiri hanya bisa terdiam, dan masih tetap bungkam. Tanpa suara tanpa kata.

***
Cahaya yang berasal dari tubuh kunang-kunang yang masih nemplok dikakiku itu, membawaku kesuatu tempat yang tak pernah kudatangi. Tempat itu begitu gelap, pengap, dan jelas berbau apek. Kupikir itu adalah sebuah gudang yang sudah berpuluh tahun tak terpakai. Disana, ditempat itu. Ada dua orang sedang berbicara, seorang lelaki, dan seorang wanita. Tapi dari wajah juga suara, tak pernah kukenal mereka sebelumnya.
Sebenarnya aku ingin bertanya, atau sekedar bersuara. Tapi setelah kucoba, aku tersadar aku tak mampu berkata. Mulut, serta tubuhku tak bisa kugerakan semaunya. Hanya mataku saja yang masih bisa melihat. Seakan meminta aku untuk memperhatikan saja, tanpa harus bertanya, berkata, atau lainnya.
Dua orang yang berada didalam gudang itu berbicara dengan berbisik, seperti orang yang sedang mendesah, suara yang mereka keluarkan. Anehnya, disela suara yang mirip dengan desahan itu. Aku juga dengar suara tangisan, suara tangisan wanita. Mungkin saja mereka adalah dua orang muda-mudi, yang sedang berkencan ditempat gelap. Dan ketika sang lelaki mengungkapkan keinginannya untuk bersenggama dengan sang wanita. Sang wanita itu menolak, lalu hanya menangis yang bisa ia lakukan. Atau mungkin bisa juga mereka berdua adalah pembunuh yang sedang mencari tempat membuang korban kejahatan mereka. Dan sang wanita menangis, karena korban kejahatan mereka adalah suaminya sendiri. Ini mereka lalukan agar bisa berhubungan, tanpa adanya penghalang lagi.
Banyak pikiran, dugaan, berseliweran dibenakku. Tapi tak satupun aku tau pasti mana yang benar. Bagaimana bisa aku tau? Sedangkan untuk bertanya saja aku tak bisa. Setelah cukup lama hanya terpaku, dan memperhatikan dari kejauhan. Tubuhku, yang tak mampu aku gerakan semauku. Kini makin mendekat kearah dua orang itu. Serasa aku melayang, karena kakiku tak menginjak tanah. Aku seperti seorang pahlawan super dalam cerita komik, bisa melayang, terbang. Tanpa harus terpengaruh gravitasi, antigravitasi kah yang kualami ini?
Ketika sudah dekat, bahkan sangat dekat dengan dua orang itu. Pikiranku berubah, dari tadinya serasa pahlawan super di cerita komik. Sekarang aku merasa seperti hantu gentayangan, dalam film horor. Karena setelah sedekat ini, keberadaanku dengan dua orang tadi. Tapi mereka seakan tak bisa melihat keberadaanku yang sekarang tak jauh dari mereka berdua.
Tempatku berada sekarang. Hanya sekitar satu meter, atau bisa saja kurang, dari tempat mereka berdua yang sedang berbicara itu. Mustahil mereka tak bisa melihatku, dalam jarak sedekat ini? Walaupun tempat ini gelap, tapi cahaya dari lampu tempel yang dibawa mereka berdua. Bisa menerangi, atau sekedar membuat jarak pandang mereka bisa lebih luas didalam ruangan ini. Biarpun begitu, inilah yang terjadi. Aku tak terlihat oleh mereka, sedangkan sekarang aku bisa melihat mereka berdua dengan sangat jelas. Juga mendengar semua kata-kata yang dikeluarkan oleh mulut mereka berdua.
“Sudah sayang, jangan nangis terus. Semua ini yang harus kita lakukan, atau satu kesalahan yang pernah kita lakukan.” Suara sang lelaki, sambil membelai pundak sang wanita yang sekarang sedang jongkok dengan posisi membelakangiku.
“Tapi harusnya kita nggak ngelakuin ini. Harusnya kita berdua tanggung jawab sama apa yang udah kita lakuin.” Ucap sang wanita, dengan isak tangis menghiasi bicaranya.
Tangan sang lelaki masih terus mengusap-usap punggung sang wanita yang masih terisak itu. Kepalanya manggut-manggut mengiyakan, “Seharusnya memang seperti itu. Tapi apa kamu mau diusir dari rumah? Ayahmu seorang yang penting, tentunya ia tak ingin aib ini menamatkan pekerjaan, juga mencoreng mukanya.” Sang lelaki menghentikan kata-katanya, menghirup nafas seakan berat dadanya melanjutkan bicaranya. “Aku juga berat untuk melakukan ini sayang, tapi…”
“Tapi kau tak mau istrimu tau masalah ini, karena kau akan jatuh miskin karenannya?” sela sang wanita membentak. Matanya melihat tajam sang lelaki disebelahnya. Sang lelaki sendiri, memperlihatkan wajah kaget ketika mendengar selaan dari mulut wanita itu. Wajahnya jadi seperti hantu penasaran, karena hanya sebagian wajahnya saja yang terkena cahaya. Sementara yang lainnya gelap tak terlihat.
“Apa maksudmu?”
“Tentunya tak perlu ku jelaskan maksud dari kata-kataku? Bahasa Indonesiamu pastinya sangat baik kalau sekedar untuk mengerti suatu maksud pembicaraan bukan?” tak ada suara lagi dari mulut sang lelaki. Ia yang tadi jongkok mulai berdiri, tangannya yang barusan mengusap-usap pundak wanita disebelahnya. Sekarang sudah tak ia lakukan.
“Kita tak bisa begini terus? Masih sukur ada dokter kenalanku yang mau melakukan aborsi pada janinmu? Kalau tidak, kita berdua akan hancur. Dan hidup dalam masalah yang berkelanjutan.” Bisik sang lelaki, dengan suara parau, yang terdengar berat.
Sang wanita yang mendengar ucapan lelaki itu, yang sudah lebih dulu berdiri. Kembali menolehkan kepalanya, lalu menengadahkan mukanya kearah sang lelaki yang telah lebih dulu berdiri. Gerakan yang cepat tuk berdiri, kemudian ia lakukan. Dan alangkah terkejutnya aku ketika melihat sebuah benda, atau apa bisa kukatakan tentang yang kulihat itu ketika sang wanita berdiri.
Sosok kecil, seperti bayi tapi bentuknya agak ganjil, dengan ukuran lebih kecil, tergeletak dibawah sana. Beralas tanah, dan jelas tak punya nyawa. Tubuhnya berwarna hitam, entahlah apa warna sebenarnya dari sosok kecil itu. Tapi yang kulihat sekarang adalah berwarna hitam. Aku tak tau apakah karena ruangan yang minim cahaya ini, sehingga membuatnya berwarna begitu.
Sosok itu pernah kulihat, ketika salah seorang tanteku mengalami keguguran. Bentuknya tak jauh berbeda, hanya saja bentuk sosok kecil itu makin membingungankan untuku karena aku tak bisa melihatnya dengan seksama, lebih jelas lagi. Karena gelap, menghalangi pandanganku.
“Tapi kau berjanji untuk menceraikan istrimu, lalu menikahiku?”
“Manusia bisa berubah sayang. Tergantung situasi dan kondisi yang sedang dihadapinya bukan?”
Kepala wanita itu, tertunduk lesu mendengar ucapan sang lelaki. “Kau hina, kau biadab, dasar lelaki hina?”
Sesungging senyum, berbayang dalam remang, “Kau pikir kau tak berbeda denganku? Apa kau fikir segala perbuatanmu itu tak biadab? Tak hina? Apakau tak merasa menjadi pendosa bersama denganku?”
Isak tangis mulai menggema, kembali mengalihkan perhatianku untuk yang kesekian kalinya. Mengalihkan perhatianku dari melihat sosok mirip bayi kecil yang masih tergeletak diatas tanah, jadi memperhatikan pertengkaran dua orang ini. “Plaaakkk…” tamparan terdengar renyah, baru saja mendarat tepat dipipi sang lelaki.
Mata sang lelaki berubah jadi begitu tajam, begitu sangar. Lalu sebuah gerakan tangan tepat dileher sang wanita, membuat sang wanita jadi meronta karenannya. Ia tercekik. “Terserah apa maumu sekarang? aku tak peduli? Kau kuburlah janinmu sendiri. Dan bila kau nekat melaporkan kejadian ini pada orang lain? apalagi pada pihak penegak hukum? Sebelumnya kau harus sadar apa yang akan terjadi denganmu? Dengan keluargamu? Apa kau mengerti?” sudah melepas cekikannya dileher sang wanita, sang lelaki pergi dari tempat gelap itu. Sementara sang wanita kembali terduduk diatas tanah. Sambil memandangi sosok ganjil yang tergeletak didepannya.
“Maafin ibu ya Nak.” Tangisnya tak bisa dibendung, teriakannya gambaran penyesalan.
“Bang… ngapain masih diluar? Besok mau kuliah pagi kan? Nanti susah dibanguninnya lho?” tiba-tiba semprotan khas, kepunyaan ibuku tercinta, mengagetkan perjalan singkatku karena cahaya kunang-kunang barusan. Mataku melihat kearah kakiku, dan kunang-kunang tadi telah pergi. Aku melihat kesekitar, tapi tak jua kutemukan cahaya yang melayang dan berkedap-kerdip itu lagi.  
                                      


Bandung, 16 Agustus 2012


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar