Senin, 18 Februari 2013

Nyasarnya Kejujuran



Negeri indah ini bernama Indonesia, sebuah negeri yang letaknya di tengah-tengah garis khatulistiwa. Khatulistiwa adalah sebuah garis imajiner yang memotong bagian timur dan bagian barat bumi. Salah satu kegunaanya untuk memperkirakan iklim yang mempengaruhi setiap tempat yang ada di bumi. Karena tepat berada di tengah garis khatulistiwa, membuat negeri ini beriklim tropis. Sehingga suhu di negeri ini tidak terlampau dingin atau tidak terlampau panas, siapapun akan betah berada disini. Matahari pun sudi menyinari negeri elok ini hampir di sepanjang tahun. Hujan dan panas datang silih berganti secara teratur, serba pas tak berlebihan. Tanah mereka subur, yang bahkan potongan kayu konon bisa jadi tanaman bila kita tancapkan ia di tanahnya. Negeri ini benar-benar indah bukan buatan, tanpa dihiasi dengan aksesories yang tujuannya untuk memperindah pun, negeri ini sudah indah duluan.
Selain keindahan alam, dan kekayaan melimpah yang ada di dasar laut dan di atas daratnya. Masyarakat Indonesia juga terkenal sangat ramah. Kata orang-orang di luar negeri sana, bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat elok perangainya.
Keluargaku dari dahulu kala sudah ada di Indonesia. Keluargaku senang tinggal di Indonesia, karena orang-orang Indonesia berteman akrab dan mau menerima kehadiran kami di negerinya tanpa pikir panjang, dan tanpa syarat apapun.
Suatu hari Kakek pernah bercerita padaku. Sebuah kenangan kelam yang memilukan untuk Bangsa Indonesia.
“Ada bangsa lain yang pernah menjajah Indonesia, mereka menjajah bangsa Indonesia sampai tiga ratus lima puluh tahun lamanya, ada juga yang cuman menjajah selama tiga setengah tahun. Sebelum itu juga ada bangsa- bangsa lain yang telah lebih dulu menjajah Indonesia. Tapi mereka tetap tak berubah sedikitpun, bangsa mereka tetap menjadi bangsa yang bijak, ramah, harmonis, dan menghargai satu sama lain. Suatu ciri dari sebuah bangsa yang besar.”
Tapi, sepertinya saat ini semua itu telah berubah, semua telah berbeda. Apa yang digaung-gaungkan dan sampai ke telingaku, lenyap semua tak bersisa. Seakan itu semua tak pernah ada di negeri ini. Cuman legenda, atau hanya mitos yang menyebar diantara bualan omong kosong bangsanya sendiri.
Pikirku, kakek pasti telah kena tipu. Ketika aku berada di negeri ini, ku lihat bangsa ini begitu kacau, anak muda mereka telah jadi apatis, tak perduli, tutup kuping, tutup telinga, tak mau tau sama sekali dengan keadaan bangsanya. Sementara orang tua mereka juga tak kalah parah kerusakannya. Orang tua seakan tak mengerti, tak tau bagaimana mereka harus bersikap. Nyaris tak nampak apa yang pernah kakekku ceritakan padaku tentang Bangsa dan Negeri Indonesia.
Menurutku. Tak akan lama lagi, bila benar mereka tidak mau berubah. Bangsa ini, hanya akan tinggal namanya saja, karena telah lebih dulu hancur di dalam lubang galian mereka sendiri. Sadar berada di sebuah lubang galian, lubang galian yang mereka gali sendiri. Bukannya berhenti untuk mengali lubang, bangsa ini malah makin asik, dan rajin serta bersemangat meneruskan mengali lubang itu. Yang cepat atau lambat hanya akan membuat mereka terkubur didalamnya, dalam keadaan hidup-hidup, setengah hidup, hidup-hidupan, atau raga hidup tapi hatinya telah mati.
***
Aku menyesal datang ke Indonesia, aku menyesal karena telah dengan mudah termakan omongan kakek. Aku menyesal, karena datang ke Indonesia aku harus berpisah dengan kekasihku. Aku tak bisa diterima di negeri ini, sementara kekasihku sudah sedari lama menjadi musuh buat banyak pemimpin di negeri ini.
            Letih mencari tempat tinggal yang layak dinegeri ini. Sejauh perjalan yang ku tempuh, hampir tak ada tempat yang bisa menerimaku. Terus mengapa mereka dulu bisa menerima seluruh keluargaku?. Mengapa bangsa ini, sekarang seperti ini?. Kemana perginya bangsa mereka yang dulu?.
“Mengapa sekarang mereka tidak bisa menerimaku?” Gerutuku di sela-sela pencarian tempat yang layak. Yang membuatku teringat kata-kata terakhir dari kekasihku sebelum aku pergi meninggalkannya.
“Datanglah ke Indonesia, dan mustahil kau akan dengan mudah mendapatkan tempat yang layak untukmu.” Ucapan itu masih terngiang di telingaku. Sejenak aku berfikir, mungkin benar dengan apa yang dikatakannya. Tapi aku masih belum ingin menyerah sampai disini. Aku yakin di Indonesia, masih ada tempat untukku. Aku akan terus mencari tempat layak untukku, tempat yang layak untukku di Indonesia.  Dan perjumpaanku dengan guru-guru sejarah di Indonesia, membuat keyakinanku masih bisa menyala.
Dari mulut guru-guru itu aku tau, dahulu kala bangsa Indonesia tak begini rupa, dan akhirnya aku tau kalau apa yang aku dengar dari kakekku memang benar-benar pernah ada disini. Mereka dulu adalah sekumpulan orang di dalam bangsa yang besar, bangsa yang memerdekakan dirinya sendiri dari tangan para penjajah yang terus datang ke negerinya. Para penjajah itu datang, ingin menguasai seluruh kekayaan yang dimiliki bangsa ini.
Bahkan ada bangsa penjajah yang menjajah mereka sampai tiga ratus lima puluh tahun, bayangkan! tiga ratus lima puluh tahun. Bangsa yang menjajah mereka sampai karatan itu ada di negeri mereka, tapi mereka tetap berjuang. Ada yang cuman tiga setengah tahun saja, tapi kejamnya minta ampun. Dan mereka masih tetap berjuang. Tujuan mereka cuman satu, mereka hanya ingin merdeka. Merdeka, kuat berdiri di kaki sendiri, dan bebas berusaha untuk memajukan bangsanya kearah lebih baik. Karena penjajah itu hanya bisa merusak bangsa ini, memperbudak semua rakyatnya. Awalnya kemerdekaan itu manis rasanya, sampai lupa diri akhirnya menghinggapi hati mereka setelah merdeka, mereka lupa bahwa bukan hanya penjajah-penjajah itu saja yang menjadi musuhnya.
Mereka lupa, musuh mereka yang nyata dan yang sebenar-benarnya ada di bangsa ini, di bangsa besar Indonesia. Tidak lain dan tidak bukan, adalah diri mereka sendiri. Dan sekarang lihatlah! Lihatlah kehancuran bangsa ini malah lebih parah dari apa yang pernah dibuat oleh penjajah manapun. Bangsa mereka telah menjajah bangsanya sendiri. Mungkin raga yang melayang tak sebanyak apa yang disebabkan oleh bangsa lain yang menjajah. Tapi lihatlah hati yang mati itu, aku yakin pasti lebih banyak dari pada hati yang mati karena penjajah.
Hati yang mati karena dijajah oleh bangsa lain, bukan jadi halangan buat bangsa besar ini. Tubuh mereka boleh saja dijajah bangsa lain, tapi hati mereka tetap besar, dan merdeka. Tapi lihat hati bangsa ini sekarang!, hati yang hancur, karena sadar penjajah saat ini adalah bangsanya sendiri. Raga mereka merdeka, tapi hati mereka mati. Aku yakin pasti hati yang mati, lebih banyak dari pada apa yang disebabkan oleh penjajah-penjajah itu. Mereka telah lupa bahwa setan itu bukan hanya merasuki hati para penjajah-penjajah kejam itu. Setan juga bisa merasuk ke dalam hati mereka, kedalam hati bangsa ini.
Kembali kulayangkan pertanyaan pada kakek, kali ini untuk berdiskusi tentang hipotesisku barusan. “Kek kenapa negeri ini sekarang jadi begini, apa benar ketamakan, munafik, telah benar-benar menguasai mereka? Apakah masih ada bangsa Indonesia yang sesungguhnya saat ini?” Setelah apa yang aku katakan kepada kakek. Kakek masih saja berfikir bangsa ini adalah bangsa yang besar. 
“Kau hanya melihat seratus atau seribu orang yang ada di Indonesia. Coba kau lihat ratusan ribu, atau jutaan orang lainnya yang ada di Indonesia. Kau akan sangat betah berada di sini. Menghargai bagaimana bangsa ini masih bisa terus berdiri, di tengah-tengah keadaan yang kadang tak pernah menghiraukan hati nurani.”
Setelah mendengar ucapan kakek, aku berpetualang kesana kemari, kepelosok negeri ini. Ternyata memang ada tempat-tempat yang bisa menerimaku. Walaupun jumlahnya memang tak begitu banyak. Tetap ku bersyukur karena masih ada tempat untukku, tempat yang bisa menerimaku. Tempat-tempat semacam rumah ibadah, kampus, daerah-daerah pedesaan, dikolong-kolong jembatan, di rumah-rumah keluarga miskin, yang selama ini di anak tirikan para pemimpin. Ternyata masih bisa menerima kehadiranku, tapi hanya sedikit, sangat-sangat sedikit jumlah orang yang mau menerimaku.
Ini semua pasti akibat banyaknya tempat di negeri ini, telah lebih dulu dikuasai oleh kerakusan dan kebohongan. Kesenangan para pemimpin-pemimpin mereka yang berteman akrab dengan kebohongan, munafik, korupsi, kebijakan tak pro rakyat, membuat tempat-tempat yang merupakan kantor pemerintahan selalu menolak keras kehadiranku.
Coba saja kerakusan dan kebohongan belum hadir disana. Bangsa Indonesia yang ada di kantor-kantor pemerintahan pasti akan menerima kejujuran-kejujuran semacam aku ini sebagai teman mereka. Sehingga bisa rakyat mereka hidup di atas negeri mereka dengan damai dan tenang hati.
***
“Kek sekarang aku benar-benar menyerah untuk berada di negeri ini.” Ucapku kepada Kakekku. Kakek tersenyum, dan berkata setengah berbisik.
“Kau, harus tetap berada disini. Kejujuran-kejujuran seperti kita ini harus terus berusaha untuk ada di Negeri Indonesia. Kalau kejujuran-kejujuran seperti kita pergi dari Negeri Indonesia. Terus, apa kata dunia?”
“Tapi banyak diantara mereka, hatinya telah mati.” Aku mengeluh sedikit menahan emosi, dan rasa kesal dengan keadaan bangsa Indonesia.
“Ingat, orang yang kau temui itu hanya sebagian. Masih banyak tempat ibadah, kampus-kampus, sekolah-sekolah, desa-desa kecil, desa-desa tertinggal, desa-desa ditinggal, yang sangat membutuhkan kehadiran kita disana. Menurut kakek, kau tidak perlu meninggalkan negeri ini. Biar kau tidak terlalu sakit hati, kau tidak perlu datang-datang lagi ke gedung-gedung pemerintahan. Disana banyak orang-orang yang lebih senang untuk berteman dengan kemunafikan, iri, dengki, kebusukan, keserakahan, dan jelas kebohongan. Kejujuran-kejujuran seperti kita hanya jadi musuh untuk orang-orang yang ada disana.” Masih bingung aku tuk mengerti apa yang disampaikan kakek, kakek kembali menasehatiku. “Dan jangan pernah membawa kekasihmu ke Indonesia ya cucuku!. Kekasihmu yang keadilan, tak lebih seperti kotoran di negeri ini. Kau pastinya tidak ingin, kekasih yang sangat kau cintai. Yang keadilan itu, diperlakukan seperti kotoran di negeri ini kan?”


Bandung, 1 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar