Minggu, 10 Februari 2013

Pengutuk Waktu


Ketika senja tiba aku seakan terbawa kedalam masa yang tak nyata, berbeda tempat, dan waktu dengan yang seharusnya kuberada. Saat seperti itulah, yang membuatku berfikir tentang waktu. Berfikir tentang bagaimana ia melaju, tanpa mau repot tuk menunggu. Berfikir tentang waktu yang hanya mau berkawan dalam perjalanan segelintir orang, dan jadi musuh yang menawarkan kabut penutup jalan tuk banyak orang lainnya. Kepada orang-orang sepertiku.
            Senja, pembatas antara siang yang penuh kegaduhan, dan malam dengan suasana penuh ketenangan. Jadi wahana tanda tanya, serta penyesalan sekaligus untuku. Tanda tanya mengapa aku bisa seperti sekarang, dan penyesalan yang terburat dalam kenangan. Akar dari semua masalah itu adalah waktu yang tak mau menunggu. Ia berjalan, melaju, dengan pongahnya. Meninggalkan kesan dalam kesedihanku yang terus menerus menganga.
            Kadang, jengah juga aku dibuatnya. Jengah terhadap waktu yang terus melaju, jengah pada waktu yang hanya mau berteman dengan segelintir orang. Dan aku bukanlah termasuk kedalam segelintir orang itu. Aku mulai bermusuhan dengan waktu, karena satu ketika datang padaku satu peristiwa yang tak bisa kulupa.
Langkah kakiku tenang, aku yakin dengan ketenangan aku bisa berfikir lebih lurus, lebih jelas. Sehingga tak mungkin pula rasanya aku melakukan kesalahan dalam setiap putusan, ataupun tindakan. Aku yakin dengan itu, karena dengan ketenanganku lah. Aku bisa menyelesaikan masalah ekonomi keluargaku dikampung halaman. Karena ketenangan pikiranku pula lah aku bisa pergi ke kota, kemudian merantau mencari kerja disana. Dan pulang kampung setiap idul fitri tiba.
            Tapi kepulanganku kali ini, lebih dari sekedar silahturahhim dengan sanak keluarga yang ada di kampungku. Lebih dari itu, karena kepulanganku kali ini. Dibumbui keinginan tuk mempersunting seorang wanita yang elok rupanya, elok perangainya, santun dalam pikiran, perkataan, juga perbuatan. Seorang wanita yang kukenal sejak aku masih berseragam putih abu-abu, hingga sekarang sudah masuk keumur yang ke 22.
            Setahun lalu, kami berdua telah saling mengikat janji. Atau lebih tepatnya, aku yang berjanji padanya. Bahwa aku akan menikahinya, apabila tahun depan aku pulang kampung. Aku berfikir begitu, karena apabila benar hitung-hitunganku tentang saldo tabungan yang ada dibank. Barulah tahun depan aku bisa mencukupi modal tuk menikahinya.
            Walau tradisi suku kami, sebuah pernikahan akan dilaksanakan, termasuk ditanggung biayanya oleh pihak wanita. Tapi kutau, tak sebegitu pula keluarga wanita yang kucinta ini. Keluarganya tak jauh berbeda dengan keluargaku yang serba tak berpunya. Maka mau tak mau, aku juga harus memikirkan biaya tuk melangsungkan pernikahan dengannya. Harus mau saling membahu dalam membiayai pernikahan kami.
            Seperti aku yang berjanji akan menikahinya ketika aku pulang kembali ke kampung. Ia pun berjanji padaku bahwa ia mau menungguku waktu itu. Sekarang aku menepati semua janji padanya, dengan kedatanganku kembali di tahun ini. Sekali lagi, lewat ketenaganku. Aku bisa menyelesaikan masalah yang cukup sulit buat kebanyakan orang. Masalah percintaan, dan masalah biaya pernikahan.
            Langkahku masih tenang, kususuri jalan berukuran besar yang belum diaspal. Untuk menuju rumahnya, menuju rumah gadis pujaanku. Untuk tujuan membicarakan rencanaku padanya. Membicarakan, bahwa aku sudah siap untuk menikahinya. Dan kapan ia siap aku lamar. Ketika ia siap tuk kulamar, akan aku bawa seluruh anggota keluargaku. Aku akan datang bersama keluarga, juga mamak-mamak, serta beberapa tetua desa tuk datang melamarnya.
            Senja masih saja gamang, ketika awan mulai kegelapan menutupi cahaya mentari sore yang telihat kemerahan. Aku masih terduduk disini, mengutuki waktu yang terus melaju, tanpa mau repot-repot menunggu. Mengutuki waktu yang hanya mau berteman dalam perjalan beberapa orang, dan menawarkan kabut dalam laju kehidupan banyak orang, termasuk aku.
            Jantungku berdetak tak menentu, melanggar aturan detak jantung tingkat normal. Terlintas dalam pikiranku, beberapa prasangka jauh dari baik. Tapi berkat ketenanganku, aku masih sanggup berfikir, dan meneruskan langkahku, tuk lebih dekat melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi di kediaman Sakinah. Ketika tak jauh lagi langkahku, mendekati rumah Sakinah. Rumah wanita pujaanku. Yang elok rupanya, elok perangainya, santun dalam pikiran, perkataan, juga perbuatannya.
            Hilir mudik orang, baik yang pergi ataupun yang baru datang kekediaman Sakinah. Membuat batinku makin bertanya-tanya jadinya. Ingin rasanya aku bertanya pada salah satu diantara mereka yang datang, ataupun yang baru pergi meninggalkan kediaman Sakinah. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Tapi diantara mereka tak ada yang kukenal. Dan anehnya, ketenanganku yang selama ini aku banggakan. Yang biasanya membuatku, dapat berfikir logis karenannya. Seakan hilang tak bersisa, tak berani aku bertanya pada salah seorang diantara mereka yang berjalan menjauh, atau mendekati rumah Sakinah. Yang terus berlalu melangkah dariku.
            Ketenanganku benar-benar tergoncang, pikiranku kelu, tak normal. Detak jantungku yang jauh dari normal sedari tadi, sekarang makin mengetuk-ngetuk tak menentu. Pikiran-pikiran yang tak baik, seakan berubah nyata. Ketika tiang dimuka rumah Sakinah, tergantung lambang hati, yang terbuat dari karton. Dengan bertulisan Ando dan Sakinah.
            Langkahku gontai, tak tegap badanku berjalan. Ingin rasanya aku pulang kembali ke rumah. Lalu mengemasi barang-barang, dan segera pulang kembali ke Bandung. Meninggalkan kampung halaman, yang sekarang hanya menawarkan kesedihan. Tak perduli, akan apa yang terjadi diperjalananku pulang kembali ke Bandung nanti. Yang penting aku harus jauh-jauh dari tempatku berdiri sekarang. Dari tempat aku memandang rumah Sakinah, yang dulu jadi tempat paling sering aku dan kawan-kawan bekerja kelompok sewaktu SMA. Tempat awal aku menyatakan perasaanku pada Sakinah. Tempat dimana kurasakan cintanya yang tulus, dan halus sewaktu masih bersama. Juga tempat dimana ia setuju akan menungguku kembali, sudi menungguku menikahinya. Walau itu sekarang hanya kebohongan.
            Kukumpulkan ketenanganku kembali. Kuhirup nafas panjang, di tempatku berdiri sekarang ini. Setelah kuhirup nafas panjang, jantungku perlahan tapi pasti kembali ketingkat normal denyutannya. Pikiran-pikiran buruk yang tadi melintas dalam benakku, tak aku perdulikan. Toh pikiran-pikiran itu, sekarang sudah jadi kenyataan?
            Perlahan, dengan tenang. Aku melangkah menyusuri jalan besar yang tak beraspal, menuju kekediaman Sakinah. Yang sekarang ini sedang mengadakan pesta pernikahan. Pesta pernikahan Sakinah, dan juga suaminya yang aku tak kenal. Aku lewati kerumunan tamu yang sekarang sedang duduk-duduk di kursi, sambil menikmati hidangan pesta pernikahan. Kemudian semakin dekat kepada dua mempelai, aku kembali melewati lagi antrian tamu yang sedang menunggu giliran mencicipi hidangan.
            Dari pelaminan, Sakinah yang melihatku datang mulai salah tingkah. Aku terus menatap matanya, sementara ia terus menghindar tuk melihatku. Memilih melayangkan pandangannya kearah lain, asal jangan kearahku. Kedua orang tuanya, yang pastinya tau kalau putrinya sudah cukup lama menjalin hubungan yang lebih dari teman bersamaku. Seakan tak percaya dengan penglihatannya. Sehingga terus melotot, tanpa bisa berkedip.
            Sampai di pelaminan. Aku menyalami kedua orang tua Sakinah, mereka menebarkan senyum tak biasa. Entah apa yang sedang mereka pikirkan tentang keberadaanku ditengah pesta putri mereka? yang pasti aku tak perduli dengan pikiran mereka. Ketika menyalami mempelai pria, aku tersenyum ramah. Dan ia melemparkan senyum yang sedari tadi terus ia sebarkan keseluruh tamu yang datang. Tiba giliranku menyalami Sakinah, ia terdiam. Mulut Sakinah tak lagi tersenyum, seperti saat ia menyalami tamu lain yang menyalaminya sebelum aku. “Semoga keluargamu sakinah, mawaddah, warohmah ya dik.”
            “Makasih bang.” Pelan suaranya seperti berbisik, masih tak berani melawan tatapan mata yang kutawarkan.
Dan disinilah aku sekarang. Di hari senja. Di saat jelas pembatas antara keriangan siang, dan kesunyian malam. Masih mengutuki waktu yang terus melaju, tanpa mau menunggu. Berteman dalam perjalan beberapa orang, dan jadi musuh dengan menawarkan kabut di kehidupan banyak orang lainnya. Termasuk dalam kehidupanku. Andai aku pulang kampung, bukan saat lebaran? Andai aku tak usah berjanji setahun lagi aku akan melamar Sakinah, melainkan sebulan lagi? Andai…?

Bandung, 19 Agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar