Minggu, 10 Februari 2013

Beda Cinta Dan Dusta


Kini kita, aku dan kamu adalah dua individu yang berbeda. Walaupun memang hakikatnya kita berdua berbeda, tapi dahulu kita pernah menyatu. Setidaknya kita pernah mencoba mempersatukan dua hal yang berbeda ini, dalam sebuah ikatan pernikahan. Mencoba menyatukan dua hal berbeda ini, di dalam satu atap yang sama, satu kamar yang sama, dan satu ranjang yang sama. Tapi benar tak pernah kusangka, bisa juga usaha mempersatukan dua hal berbeda itu berakhir kini.
            Usaha lama sejak sembilan tahun yang lalu telah kita jalani. Hari ini benar-benar runtuh, berserakan menjadi keeping-keping bentuk yang tak utuh. Rupanya yang kita lakukan beberapa tahun ini, hanya mencoba untuk mempersatukan badan kita dalam satu tempat, satu atap, satu kamar, dan satu ranjang. Belum benar sampai mempersatukan dua hati manusia dalam cinta.
            Apakah aku terlalu melankolis dengan mengatakan cinta? Bercerita tentang cinta? Apa benar memalukan membahas tentang cinta disaat seharusnya telah benar aku mengerti tentang cinta? Atau memang cinta itu tak bisa dimengerti? Tak bisa kupahami? Aku tak tau, dan tolong beri tau aku tentang cinta itu wahai cintaku. Walaupun sadar benar diriku, semua telah terlambat.
            Ruangan tempatku berada sekarang berpendingin ruangan, dan entah mengapa rasa gerah tak hilang jua kurasakan. Gerah setiap aku mendengar pengakuanmu tentangku. Pengakuanmu, yang berisikan penilaianmu tentang diriku. Ingin aku berteriak, dan berkata yang kau ceritakan itu bukanlah aku. Yang kau katakan itu adalah bohong besar cintaku. Aku tak seperti yang kau katakan, dan aku yakin semua itu bohong belaka. Aku tau kau pernah mencitaiku, sangat besar kau mencitaiku, dan sampai detik ini masih kuyakin akan hal itu. Tapi mengapa kau sekarang harus berbohong? Merangkai kata-kata menjatuhkan diriku? Apa maksudmu wahai cintaku?
            Tak jua kau hentikan semua kebohonganmu itu. Setiap orang dengan pakaian berwibawa itu bertanya padamu, kau selalu menjawabnya pertanyaan para hakin itu dengan dusta dari mulutmu. Mengumbar dusta tentang diriku adanya.
Ingin aku berteriak, hingga semua orang yang hadir disini. Orang-orang yang didalamnya ada keluarga kita berdua, dan teman-teman sepekerjaan, juga sahabat-sahabat. Mengetahui bahwa apa yang kau katakan adalah kebohongan, tapi aku tak bisa melakukannya. Aku tak sanggup membuatmu malu didepan mereka semua. Maka inilah yang kubisa lakukan untukmu wahai cintaku. Diam tanpa kata, sedangkan kau terus mengumbar dusta yang kau rangkai sendiri lewat kata.
***
            “Mau kemana kamu?” tanyaku saat disuatu malam kau pergi lebih dari jam delapan. Bila kau pulang jam delapan malam, tentunya hal wajar bagiku. Tapi bila kau baru akan pergi jam delapan malam. Jam  berapakah kau kiranya akan pulang? Jam Sembilan malam? Telah larut malam? Atau ketika pagi menjelang?
            “Ada urusan dulu.” Jawabmu singkat padat, seakan tak ingin membuang banyak waktu sekedar untuk menjelaskan tujuanmu padaku. Padaku yang masih suamimu.
            “Jam berapa pulangnya?”
            “Nggak tau. Kalau mau tidur duluan, tidur aja. Kunci duplikat udah aku bawa.” Pintu tertutup, dan kau menghilang dari pandanganku. Aku tak tau kau mau kemana? Tapi yang jelas sedari dulu aku selalu percaya padamu, pada wanita bermata indah yang dulu kujumpa. Hingga akhirnya aku jatuh cinta jadinya.
            Pertama kali kita jumpa, usia kita masih muda. Baru genap sembilan belas tahun usiaku kali pertama bertemu denganmu, sedangkan kau tujuh belas tahun saat kita bertemu. Perjumpaan kita yang pertama adalah saat kau daftar ulang kekampus. Sedangkan aku bertugas sebagai penjemput setiap mahasiswa yang baru daftar ulang, untuk kemudian diantarkan kegedung fakultas. Tujuannya agar mengerti tentang segala hal mengenai kegiatan Ospek yang akan dilaksanakan seminggu setelah daftar ulang dilakukan.
Aku kagum kepadamu, saat matamu yang tenang, sayu, dengan sorot indah itu menyergapku. “Maaf mas. Mau nanya, kalau daftar ulang fakultas teknik dimana ya?”
            “Disini.” Sahutku gugup, terkesan sombong. Tapi bukan karena aku benar-benar sombong, aku tak bisa mengendalikan diri saat matamu menatap mataku. Tak tau apa yang harus aku lakukan, berwibawakah? Tenangkah? Atau malah harus salah tingkah? Dan akhirnya kesan sombonglah rupanya yang keluar dariku.
            “Kalau loket untuk jurusan Elektro yang mana?”
            “Oh yang itu.” Aku menunjuk salah satu loket dengan warna orange terpampang diatasnya.
            “Makasih ya Mas.” Ucapmu lalu berlalu dariku, segera menuju loket daftar ulang jurusan. Setelah aku tau kau jurusan elektro yang kau masuki. Makin kagum saja aku dibuatmu, aku kagum dengan kecantikanmu, dengan fisikmu. Tapi figur dan fisikmu terlalu sempurna untukku lewatkan, hingga akhirnya aku menunggumu selesai dengan segala prosedur daftar ulang.
            “Hai…” sapaku ragu.
            Kau menengadahkan kepala, melihatku tajam. Tiba-tiba diluar dugaan, kau tersenyum, membuat matamu makin bersinar, dan rasa kagumku makin meruncing. “Boleh kenalan?” tanyaku cepat. Dari senyum, raut wajahmu berubah cepat menunjukan curiga. Tatapan matamu yang bersinar, berganti oleh tanda tanya. “Nama saya Ilham.” Belum kau jawab pertanyaanku, tapi naluri lelakiku telah lebih dulu meninggalkan logika yang ada sepertinya.
            “Indah.” Singkat kau jawab salam perkenalanku. Indah, rupanya cocok benar nama itu tersadang olehmu wahai cintaku.
***
            Setelah perkenalan kita yang pertama, aku makin gencar mendekatimu. Statusku yang senior membuatku sangat leluasa untuk dekat denganmu. Dan statusmu sebagai junior, mahasiswa baru, tak memberikan ruang padamu untuk menolak setiap ajakanku. Sedikit egois memang diriku kala mendekatimu, tapi cinta mungkin memang bisa membuat orang jadi egois. Bukakah cemburu itu bentuk keegoisan? Dan cemburu itu tandanya cinta? Jadi tak ada cinta, tanpa egosi? Benarkah? Aku bertanya padamu cintaku.
Kita satu jurusan, aku setahun diatasmu. Karena sekampus, sefakultas, dan sejurusan inilah banyak waktu yang memaksa kita tuk bertemu. Waktu yang berlalu, terus melaju itu menciptakan hubungan hangat antara kita terkeruk makin dalam. Tujuh tahun lamanya kita berhubungan dekat lebih dari sekedar teman.
Dan ketika aku sudah memiliki pekerjaan tetap, aku melamarmu. Melamar wanita yang begitu setia mendampingiku selama tujuh tahun lamanya. Kita menikah. Setelah dua tahun lamanya menikah barulah keluarga kita makin lengkap. Seorang anak lahir dari rahimmu, tampan dan gagah benar ia. Aku bangga pada diriku, dan aku makin sayang padamu.
Usia pernikahan kita sayang, rupanya tak selama hubungan pacaran kita dulu. Begitulah adanya, karena setelah tiga tahun bahtera ini berlayar di tengah samudra kehidupan kita. Dan sekarang bahtera itu harus terpaksa menepi di sebuah dermaga. Aku tak setuju bila dikatakan bahtera ini karam sebelum sampai tujuan.
***
            Kau tau sayang bahtera kita kini telah menepi, dan perjalanan kita harus dihentikan. Tapi yang semakin membuatku terluka bukan hanya itu. Hatiku bertambah perih karena sedari tadi kau terus berdusta mengenai diriku pada hakim yang terhormat itu.
Sejenak aku jadi berfikir tentang apa yang pernah kudengar lewat beberapa kawan kantorku yang mengatakan kau sering pergi bersama dengan atasanku. Apa benar kau telah berdusta padaku, pada suamimu ini? Berdusta padaku mengenai hubunganmu dengan atasanku? Karena hakim yang terhormat saja tega kau bohongi? Apakah aku juga ternyata kau bohongi? Atau jangan-jangan saat malam pertama kau juga berbohong tentang alasan, mengapa kau tak dipenuhi bercak darah saat aku menerobos keperawananmu sayang?
Sayang aku masih belum mengerti cinta? Atau kau yang selama ini berdusta padaku? Aku mohon kau sudi kiranya menjawab pertanyaan-pertanyaanku padamu. Walaupun akhirnya kini, atap kita telah berbeda, rumah kita tak lagi sama, kamar kita berada di dua tempat yang berbeda. Dengan jiwa yang telah terpisah, atau mungkin memang tak pernah sempat menyatu.


Bandung, 7 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar