Senin, 18 Februari 2013

Anak Kecil Yang Bertanya Tentang Orang Tuanya



Mata Ragil yang tadi masih rapat tertutup, terlelap dalam dekapan ketidak sadaran yang tak disengaja olehnya, perlahan-lahan mulai terbuka kini. Dua mata kecil itu langsung memicing ketika baru saja terbuka, merasa silau karena cahaya lampu yang terlampau terang menyorot masuk secara tiba-tiba kearah matanya. Entah sudah berapa lama ia tak sadarkan diri, yang jelas setelah mata kecilnya terbuka sepenuhnya. Ia tak tau berada dimanakah ia sekarang ini?
            Dari posisi tertidur, ia paksakan tubuhnya untuk duduk ditempat tidur. Terasa sidikit nyeri pergelangan tangannya sewaktu dipaksanya untuk bergerak. Dan dengan sekuat tenaga duduklah akhirnya ia diatas tempat tidurnya. Ragil seperti sedang melamun. Setelah duduk ditempat tidur, tak ada lagi gerakan yang ia lakukan. Hanya matanya saja menyelidik kesekitar tempat ia tengah berada sekarang. Ruangan serba putih tempatnya berada sekarang ini, terasa asing baginya. Tapi rasa penasaran anak-anaknya seakan memaksa tubuhnya kembali untuk bergerak. “Aduh…” keluhnya saat mencoba bergerak dari posisi duduknya, mencoba tuk meninggalkan tempat tidur. Rasa pusing langsung datang menggodam kepala kecilnya. Memaksanya kembali ke posisi semula, posisi duduk diatas tempat tidur.
            Duduk diatas tempat tidur, ia menginggat kembali kejadian sebelum ia berada di tempat asing ini. Terakhir kejadian yang ia ingat adalah saat ia, dan juga ayah ibunya melalui jalur pantura untuk mudik kerumah mbahnya. Setelah itu, tak ada lagi kejadian yang diingatnya. Hingga bisa jadi alasan membuatnya berada ditempat ini.
            “Oh kamu udah bangun ya?” suara seorang perempuan, bernada lembut membuatnya menegadahkan kepala kearah sumber suara. Dilihatnya ada seorang perempuan dengan pakaian serba putih berjalan mendekatinya. Pakaian perempuan di depannya, pernah ia lihat di televisi.
            “Mbak siapa?” tanyanya pelan.
            Seulas senyum tergaris dibibir perempuan itu. Tanpa ada suara, tangan perempuan itu lansung membelai pelan kepala Ragil. Seakan jadi kata pengatar untuk kata-kata yang selanjutnya akan dikeluarkan oleh perempuan tersebut. “Mbak perawat di rumah sakit ini de.”
            “Rumah sakit?” spontan Ragil bertanya lantang. Ia tak tau alasan apa yang membuatnya tiba-tiba berada dirumah sakit.
            Perawat tadi mengganggukan kepalanya guna menjawab pertanyaan anak kecil yang sekarang berada disebelahnya. Ruangan serba putih itu sekarang mulai menghadirkan kecemasan dalam hati Ragil, pikirannya berseliweran seakan memberikan segala gambaran negatif tentang kondisi kedua orang tuanya. “Ayah sama Ibu saya kemana Mbak?”
            Dari senyuman, sekarang kening perawat itu mulai berkerut-kerut. Nampak kebingungan dengan apa yang akan ia katakana. Dengan apa yang akan ia sampaikan kepada anak kecil yang duduk disebelahnya sekarang. Tangannya makin lembut mengusap-usap kepala Ragil. Tapi sepertinya ini tidak berhasil meredam rasa penasaran Ragil, “Kemana ayah sama Ibu saya Mbak?” suara tangisan Ragil menggema, terlihat ada ketakutan, kecemasan dalam benaknya. Pikiran negatif yang tadi hanya terlintas dibenaknya, seakan berubah nyata menjadi monster menakutkan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
***
Mudik adalah moment special yang tak mungkin dilewatkan Pak Sutrisno disetiap Lebaran. Rasanya tanpa mudik, kurang lengkap hari raya lebaran baginya. Dan lebaran tahun ini, ada yang berbeda bagi keluarga Pak Sutrisno. Setelah di tahun-tahun sebelumnya, ia dan keluarga mudik menggunakan jasa bis Antar Kota Antar Provinsi. Mudik kali ini, akan ditempuhnya dengan menggunakan sepeda motor.
            “Apa nggak apa-apa pak naik motor mudiknya? Bahayakan?” istri Pak Sutrisno, Bu Aminah merasa kurang yakin dengan niatan suaminya. Beliau bertanya, sewatku suaminya menyampaikan ide untuk naik motor pulang kekampung halaman mereka di mudik tahun ini.
            “Santai saja Bu, asal kita mengikuti peraturan lalu lintas. Menggunakan helm, tidak mengendara saat mengantuk, selalu hati-hati didalam perjalanan. Kita bisa selamat sampai ditujuan.” Jawab Pak Sutrisno menenangkan istrinya. “Bener nggak Gil?” lanjut Pak Sutrisno bertanya pada Ragil yang sepertinya sedang asik dengan Play Stationnya.
            “Iya… benar Bu… asal pentingkan keselamatan, bukan kecepatan pokoknya.” Seru Ragil mengutip isi banner yang terpampang dijalanan.
            “Iya… inget keluarga menunggu dirumah.” Timpal Pak Sutrisno seperti tak mau kalah dengan anaknya, lalu mereka berdua tertawa.
            Bu Aminah menghela nafasnya, ia masih merasa tak tenang. Walaupun suami dan anaknya keliatan begitu santai menghadapi mudik mereka yang rencananya akan ditempuh menggunakan motor. Tapi hati Bu Aminah masih was-was karenannya. Seakan membaca kegelisahan diraut wajah istrinya, Pak Sutrisno menyentuh pundak Bu Aminah. “Musibah, rejeki, hidup, sama mati orang itu ada ditangan Allah bu.” Ucap Pak Sutrisno seperti orang berbisik. Dan dibalas oleh anggukan pelan kepala Bu Aminah.
            “Iya bener kata bapak bu, hidup mati ada ditangan Allah. Ibu harus yakin itu bu.” Suara Ragil menyela pembicaraan kedua orang tuanya. Membuat Bu Aminah yang barusan menggangukan kepalanya, sekarang berubah jadi geleng-geleng disertai senyum keibuannya.
***
Hampir setengah perjalanan dilalaui Pak Sutrisno dan keluarganya melewati jalur pantura. Untuk menuju kampung halaman mereka. Sejauh ini masih aman terkendali perjalan keluarga ini. Tak ada kendala berarti selain rutinitas istirahat di tepian jalan. Karena Pak Sutrisno merasa sedikit letih mengendarai motornya.
“Apa nggak tidur aja dulu pak? Dari tadi istirahatnya cuman sebentar-sebentar?” saran Bu Aminah kepada suaminya yang  masih konsentrasi mengendarai motornya.
“Nggak usah bu, kalau dipakai istirahat kita bisa malem dijalan. Malah bahaya, disepanjang jalur ini rawan.” Sahut Pak Sutrisno tak lepas konsentrasinya dari melihat jalan yang ada didepannya.
Sebagai seorang istri, Bu Aminah menuruti suaminya. Walaupun masih belum bisa perasaan tak nyamannya hilang disepang perjalanan. Ragil masih duduk didepannya, anak lelaki semata wayangnya masih terbenam mimpi. Diusapnya kepala anak kesayangannya itu, hingga membuat sesungging senyum terbesit dibibirnya. Anak kesayangan yang seakan tak bisa ia belai lagi selain saat ini.
Rasa kantuk rupanya mengalahkan Pak Sutrisno. Tepat di satu persimpangan jalur Pantura. Ia tak bisa melihat kalau ada sebuah bis yang melaju kencang berlawanan arah dengannya. Motor yang dikendarainya, tak bisa ia dikendalikan. Walaupun tak langsung menabrak bis tersebut, tapi kecepatan tinggi masih membuat motor yang dikendarainya menabrak bagian sisi bis yang sebenarnya juga sudah mencoba menghindar itu. Alhasil Pak Sutrisno beserta keluarganya terpelanting sekitar lima meter dari motornya. Sedangkan Bis yang memaksa menghindari tabrakan, masih harus menabrak sebuah warung nasi yang ada ditepian jalan.
***
“Ayah sama Ibu saya kemana Mbak?” tangis Ragil masih menggema disekitar ruangan itu. Tubuh kecilnya pasti tak mampu menahan cobaan yang sekarang mengghinggapinya.
Sang perawat memeluk Ragil erat, seakan merasakan apa yang dirasa anak kecil didepannya. “Hidup, mati itu ada ditangan Allah. Ade yang sabar ya!” bisik pelan suara perawat itu, mengiang ditelinga Ragil. Walau masih juga tak mampu membendung air mata yang keluar memenuhi kelopak mata Ragil.
“Ayah sama Ibu saya kemana Mbak?” kembali teriak Ragil disela isak tangisnya, seakan tak percaya dengan apa yang baru didengarnya.


Bandung, 1 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar