Pertemuan
pertama ku dengannya, adalah saat aku dan seluruh kelompok KKN(Kuliah Kerja
Nyata) bertemu di sekitaran taman gedung rektorat kampus. Pertemuan yang
direncanakan untuk saling mengenal sesama anggota kelompok, serta memilih
struktur organigram kelompok kami nantinya. Dan yang terutama adalah,
merencanakan apa yang akan dipersiapkan. Sehingga program KKN yang akan kami
lakukan berjalan lancar, dan bisa berdampak nyata pada desa yang akan kami
datangi.
Namanya Desah. Pertama kali mendengar namanya saat
memperkenalkan diri, pikiranku merangkum keganjilan yang cenderung aneh bukan
kearah unik. Belum lagi tampilan pakaiannya yang berkerudung panjang sampai ke
pinggang. Memang biasa untuk masyarakat kampusku penampilan seperti itu. Tapi
karena keaadaan fakultas teknik tak memiliki banyak sumber daya mahasiswi, maka
sedikit sekali orang yang kukenal berpenampilan rupa sepertinya, seperti Desah.
Belum lagi Desah seakan tak mengijinkan tangannya bersentuhan dengan bukan
mukhrimnya ketika bersalaman. Maka dengan ini, lengkaplah keganjilan sosok
wanita yang satu ini untukku.
Waktu keberangkatan tiba. Aku serta sembilan teman
lainnya yang sekelompok denganku. Harus kesatu desa yang berada didaerah Garut,
bukan kota, tapi kami akan kesebuah desa yang berada didalam daerah pedalaman
Garut. Setelah voting tentang tempat tinggal, kami semua sepakat tinggal di
satu rumah. Bersyukurnya, di desa yang akan kami tuju. Sudah biasa didatangi
oleh para mahasiswa KKN seperti kami disetiap tahunnya. Karena sudah terbiasa
biasa didatangi oleh para mahasiswa KKN, memang telah desa sediakan pula tempat
tinggal untuk kami. Rumah berlantai dua, dengan luas yang cukup untuk bermain
futsal didalamnya. Para anggota laki-laki berada di lantai atas, sedangkan lantai
dasar ditempati para kaum Hawa. Itulah kesepakatan kami semua guna menghindari
fitnah, serta hal yang tidak-tidak. “Tidak-tidak itu apa maksudnya pak ketu?”
pertanyaan asal terlontar dari Lingga, teman sekelompokku yang sering sekali
berguyon.
“Buset
dah. Masa iya kudu ane jelasin juga?” seruku menimpali pertanyaanya. Seisi
ruangan tertawa, ada yang setelahnya geleng-geleng kepala, ada yang menunjukan
muka jijik. Sedangkan Desah tersipu sambil menutup mulutnya. Mungkin takut
masuk laler.
***
Dua
minggu pelaksanaan KKN, bulan Ramdahan tahun ini datang. Di bulan suci inilah
makin aneh aku pikiranku tentang Desah. Sering bila ku di tengah malam
terbangun, dari lelap tertidur. Aku mendengar sayup-sayup lantunan ayat suci
tengah dibacakan. Suaranya beraneka ragam. Hipotesisku, sepertinya para kaum
hawa sedang bertadarus Al-Quran.
Aku
yang penasaran. Hingga disuatu hari ketika sahur bersama, aku iseng untuk
bertanya. “Ane sering ngedenger suara cewek baca Quran kalo nggak sengaja
kebangun malem. Siapa tuh?”
“Buih…
sama cui. Saya juga suka ngedenger tuh kalo ngedadak tidur kegangu gara-gara
panggilan alam.” Sela Sultan, salah satu dari empat kaum adam yang terdapat
didalam kelompok kami.
“Rasanya
udah empat tahun saya bareng sama temen-temen, juga ngalamin hal yang sama.” Komentar
khasnya Lingga, yang lebay dan sedikit guyon kembali terdengar. Sekali lagi,
penghibur alami yang satu ini, berhasil menghadirkan senyuman di tengah-tengah
kegiatan sahur kami.
“Itu
suaranya kita-kita, gimana bagus nggak?” jawab Sofi bergelagat sedikit narsis.
“Nggak usah dipuji ya. Udah keseringan.” Tambahnya lalu tersipu, sedikit salah
tingkah rupanya.
“Iya
bener temen-temen. Jam duaan, sebelum yang piket masak buat sahur. Semua cewek sengaja
dibangunin sama Desah buat tadarusan.” Rima ikut berkomentar.
“Targetnya
khatam 30 Juz, sampai selesai KKN. Sakti kagak tuh?” Sofi kembali bernarsis
ria.
“Sofi,
jangan gitu! Nggak baik ya!” akhirnya suaranya terdengar. Sedikit tapi
bermanfaat, sepertinya itulah landasan Desah ketika berbicara. Tak banyak
omong, tak banyak kata, apalagi sampai bisa memenuhi ruangan dengan polusi
udara.
“Iya,
maaf ya Sah.” Wajah Sofi seakan merasa bersalah atas kekhilafannya.
Desah
menepuk pergelangan kaki Sofi dengan halus, lalu mengelusnya beberapa lama.
“Nggak apa-apa, biasa manusia khilaf. Tapi jangan dibiasain, jangan diulangin
ya!” pinta Desah tenang, lalu tersenyum.
Sofi
membalas senyuman Desah, lewat sedikit gerakan berirama gelisah. “Iya.”
Dari
sudut pandangku yang seorang kaum adam, sehingga tak bisa aku banyak
bercengkrama serta terlampau jauh mengikuti kegiatan kaum hawa. Aku melihat ada
perubahan kearah positif yang Desah salurkan kepada para kaum hawa yang
lainnya. Nampak benar ia seperti teladan, yang pantas menjadi panutan diantara
para anggota kaum hawa kelompok kami.
Apa
yang Desah lakukan? Aku sendiri tak tau apa yang ia lakukan sehingga bisa
begitu berdampaknya kehadirannya ditengah-tengah para kaum hawa dikelompok ini.
Hingga disuatu malam aku menyadari betul seperti apa Desah adanya, seakan
terjawab sudah semua penasaranku yang cenderung ke berfikiran aneh tentang
Desah.
Malam
itu, setelah seharian kelompok kami bertempur melawan hawa nafsu. Sembari
melaksanakan kegiatan dari program Pos Daya yang telah ditentukan pihak kampus
kepada kami, yang akan kami laksanakan di desa yang kami tinggali. Terlihat
benar keletihan diantara para anggota kelompok.
Mereka
semua tertidur lelap, tak terdengar suara tadarus Al-Quran di kamar kaum hawa.
Aku amati secara tak sengaja, karena malam itu aku tengah mengerjakan pekerjaan
lainnya. Di ruang tamu, di ruangan yang jaraknya kurang lebih 10 meter dari
kamar kaum hawa. Dekat tangga menuju lantai dua, tempat di mana kaum adam
berada.
Ditengah
keasyikan mengetik keyboard laptopku, kudengar suara pintu terbuka. Pintu kamar
kaum hawa kupikir. Mungkin salah satu diantara mereka ada yang terpanggil alam,
sehingga tidur pulasnya akibat letih seharian jadi terganggu sementara waktu.
Tapi cukup lama setelah mendengar suara pintu kamar kaum hawa terbuka, aku tak
mendengar suara langkah kaki seperti yang kukira sebelumnya. Aku sengaja
memperhatikan jalan kearah dapur, sekaligus kearah kamar mandi itu, karena
kamar kaum hawa terhalang tembok, bila dilihat dari tempatku berada kini.
Setelah
memperhatikan jalan kearah kamar mandi, “Astagfirullah.” Sontak kagetku tak
terkira, karena baru kulihat seseorang tengah berjalan menuju dapur dengan
pakaian serba putih. Sosok itu membalikan badannya, terlihat benar ia pun
merasa hal yang sama dengan yang kurasa. Kaget. “Desah, ngapain jalan-jalan
malem-malem gini pake mukena?” seruku, masih terbawa kaget barusan. Sehingga terdengar
bernada tinggi.
“Mau
periksa bumbu masak dulu pak ketu. Bentar lagikan yang piket mau pada masak.”
Balasnya sambil melangkah kearahku, lalu berhenti tepat di perbatasan ruang
tamu dengan ruang tengah. Aneh kupikir, mengobrol dengan orang dipisahkan jarak
yang lumayan seperti sekarang. Tapi kalau orang itu adalah Desah, pastinya ia
berfikir untuk menghindari fitnah, serta menjauhkan dari perilaku yang
tidak-tidak. “Nah, sekarang Desah yang nanya. Kenapa pak ketu belum tidur?”
“Masih
ada kerjaan nih cui.” Balasku mengarahkan pandangan kearah Laptop. Desah
menggangukan kepalanya, hampir tiga minggu tinggal bersama di satu rumah.
Sedikit banyak ia tau tentang pekerjaan sampinganku, yang adalah pembuat
website. “Kamu nggak tidur Sah?” basa-basi mulai kukeluarkan. Jujur aku
kebingungan akan tema yang bisa kugunakan sebagai bahan pembicaraan dengan
Desah. Jarang pula aku sengaja berbicara dengannya, inilah alasanku begitu penasaran
dengan Desah yang menurutku sedikit aneh.
“Baru
tahajudan pak ketu.” Jawabnya ringan.
“Sah,
mau nanya nih. Boleh?” ragu-ragu ku berbicara, tapi penasaranku tak bisa
ditawar lagi. Rasa penasaran yang membuatku cenderung berfikir bahwa Desah
aneh.
“Emang
mau nanya apa pak ketu?”
“Kamu
kenapa sih kamu bisa rajin solat gitu? Trus pake jilbab panjang kayak gitu? Apa
belum cukup ya pake kerudung stelan biasa?” berondong pertanyaan, aku kerahkan kepada
Desah.
Selintas
senyum tergurat diatas bibir Desah, “Pak ketu kalo ngomong dikit. Tapi kalo
nanya, panjang gitu ya?” baru sekali ini kutau kalau sosok Desah, bisa sedikit
berhumor dalam pembicaraannya. Terlintas pikiranku, apa aku terlalu berlebihan
selama ini memandang Desah itu aneh. “Jadi mau yang mana dulu yang Desah
jawab?”
“Kenapa
kamu bisa rajin solat?”
“Setau
Desah, solat itu yang bisa nyelamatin kita dari panas api neraka pak ketu.”
Batinku terguncang, lebih dari rasa penasaran yang selama ini kurasakan.
Sebenarnya nada bicara Desah tak seperti orang yang tengah menggurui. Tapi
entah mengapa aku berhasil diberikannya suatu pelajaran, yang cepat berlanjut
jadi pembelajaran. Tanpa ada paksaan, secara damai dan tenang pencerahan itu
masuk tanpa terhambat ke relung batinku yang terdalam. “Terus yang kenapa pake
jilbab, ya itu udah kewajiban muslimah pak ketu.”
“Sementara
banyak wanita lain mengumbar auratnya?” selaku mulai kritis.
Desah
menggangukan kepalanya, “Iya.”
“Terus
gimana kalo ada yang bilang belum siap pakai kerudung? Banyakan alasan cewek
kayak gitu?”
“Kalo
menurut Desah sih, yang utama itu merubah pola pikir dulu. Pola pikir tentang
berkerudung.”
“Maksudnya?”
“Muslimah
itu wajib menutup auratnya, dalam hal ini ya pake kerudung, atau pake jilbab.
Nah diharepin setelah perlahan ia menutup auratnya, hatinya juga bisa tertutup
dari hal buruk yang berdosa.”
“Buset
ngomongin dosa lagi?”
“Emang
kenapa?” tanya Desah spontan.
Aku
cepat geleng-geleng kepala. Kutau walaupun aku bukan lelaki yang bersifat
buruk, tapi tak selalu yang kulakukan itu benar, walaupun terkadang terlihat
baik. “Jadi pake kerudung dulu? Apa siap dulu?”
“Kalo
menurut Desah sih, ya harusnya pake kerudung dulu. Kalau nunggu siap, itukan masalah
waktu jadi susah buat ditentuin. Emang mau kapan siapnya? Mending kalo keburu?
Kalo nggak keburu gimana?”
“Keburu
apaan Sah?”
“Keburu
dipanggil sama Allah.”
Mulutku
tak bisa langsung berkata, pikiran kritisku, agar penasaran dalam benakku
hilang. Serasa tersapu dengan perkataan Desah yang sebenarnya berat, tapi
begitu terdengar santai hingga ringan masuk kedalam akalku.
“Masih
ada pertanyaan lagi pak ketu?”
Mataku
mengerdip menyadarkanku dari sejenak tertegunan. “Tapi kalo udah pake kerudung,
tetep suka berbuat yang dilarang, gimana dong?”
“Berarti
kerudungnya belum sampai ngerudungin hatinya. Baru badannya doang yang
dikerudungin. Harusnya udah badan di kerudungin, wanita itu berusaha kerudungin
hatinya juga pak ketu.” Berbicara dengan Desah mengajar tanpa terasa, berdakwah
tanpa merasa dipaksa. Nikmat benar.
“Belum dapet hidayah kali tuh Sah.” Aku
nimbrung dengan komentar asal.
“Hidayah
belum tentu juga dateng sendiri, dia harus juga dicari. Banyak caranya, ikut
pengajian, sering ngobrol sama orang yang ilmu agamanya bisa diandalkan,
termasuk sama menjalankan rukun Islam.” Desah beralih dari posisi duduknya,
mulai untuk berdiri. “Udah dulu ya pak ketu, saya mau lihat bumbu masakan apa
masih ada atau udah habis.”
“Eh
satu lagi cui, kenapa pake kerudungnya panjang sepinggang?” dari gerakan
berjalan, Desah membalikan badannya.
“Untuk
nutupin aurat pak ketu.” Dia berjalan menuju kearah dapur, tapi pertanyaanku
kembali menghentikannya.
“Kan
bisa pake kerudung yang lagi ngetren cui? Apa masih kurang nutupin auratnya?”
Lagi
Desah membalikan badannya, “Sebenernya udah bagus dengan pakai kerudung yang
lagi ngetren, yang mirip sama artis siapalah itu. Tapi Desah ingin auratnya
bener-bener tertutup. Udah ya pak ketu, encok nih lama-lama bolak-balik mulu.”
Malam
ini sungguh berbeda, rasa penasaran yang cenderung aneh dalam benakku tentang
Desah berubah jadi syukur karena masih ada wanita sepertinya. “Pak ketu.” Suara
Desah mengangetkanku kembali.
“Ada
apa cui?”
“Kalau
nggak lagi sibuk-sibuk banget, terus buat webnya bisa diberhentiin sebentar.
Boleh minta tolong nggak?”
“Apaan
sah? Bumbu masakan habis? Kalo habis warung Bu Iyam bisa digedor tuh. Sini sama
ane aja gedorinnya.”
Suara
Desah terdengar, tapi sosoknya telah lenyap ditelan tembok penghalang ruangan
tengah dan dapur. “Bukan, minta tolong buat bangunin temen-temen yang cowok.
Yang cewek biar aku yang bangunin.”
“Lah
masakannya kan belum jadi, lagian baru jam dua kan? Masa mau dibangunin?
Sahurnya masih lama Sah.”
“Iya
kalo yang piket sih masak aja buat sahur. Yang lainnya, sambil nunggu sahur,
kita tadarusan bareng yuk!” soraknya diselingi suara kresek, sepertinya Desah
masih asik mencari bumbu masakan. Sedangkan aku semakin kagum dengannya, dengan
segera aku bergerak kearah lantai dua untuk membangunkan para pemuda yang
tengah keletihan karena pekerjaan sehariannya. Dengan perasaan aneh yang
sekarang benar-benar memberikan pencerahan. Walau sedikit bisa kurasakan bahwa
Desah, adalah seorang peubah. Setidaknya peubah pola pikir orang yang
berinteraksi dengannya. Apakah ini yang dinamakan dakwah?
Bandung,
3 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar