Senin, 18 Februari 2013

Desah Tengah Berdakwah



Pertemuan pertama ku dengannya, adalah saat aku dan seluruh kelompok KKN(Kuliah Kerja Nyata) bertemu di sekitaran taman gedung rektorat kampus. Pertemuan yang direncanakan untuk saling mengenal sesama anggota kelompok, serta memilih struktur organigram kelompok kami nantinya. Dan yang terutama adalah, merencanakan apa yang akan dipersiapkan. Sehingga program KKN yang akan kami lakukan berjalan lancar, dan bisa berdampak nyata pada desa yang akan kami datangi.
            Namanya Desah. Pertama kali mendengar namanya saat memperkenalkan diri, pikiranku merangkum keganjilan yang cenderung aneh bukan kearah unik. Belum lagi tampilan pakaiannya yang berkerudung panjang sampai ke pinggang. Memang biasa untuk masyarakat kampusku penampilan seperti itu. Tapi karena keaadaan fakultas teknik tak memiliki banyak sumber daya mahasiswi, maka sedikit sekali orang yang kukenal berpenampilan rupa sepertinya, seperti Desah. Belum lagi Desah seakan tak mengijinkan tangannya bersentuhan dengan bukan mukhrimnya ketika bersalaman. Maka dengan ini, lengkaplah keganjilan sosok wanita yang satu ini untukku.
            Waktu keberangkatan tiba. Aku serta sembilan teman lainnya yang sekelompok denganku. Harus kesatu desa yang berada didaerah Garut, bukan kota, tapi kami akan kesebuah desa yang berada didalam daerah pedalaman Garut. Setelah voting tentang tempat tinggal, kami semua sepakat tinggal di satu rumah. Bersyukurnya, di desa yang akan kami tuju. Sudah biasa didatangi oleh para mahasiswa KKN seperti kami disetiap tahunnya. Karena sudah terbiasa biasa didatangi oleh para mahasiswa KKN, memang telah desa sediakan pula tempat tinggal untuk kami. Rumah berlantai dua, dengan luas yang cukup untuk bermain futsal didalamnya. Para anggota laki-laki berada di lantai atas, sedangkan lantai dasar ditempati para kaum Hawa. Itulah kesepakatan kami semua guna menghindari fitnah, serta hal yang tidak-tidak. “Tidak-tidak itu apa maksudnya pak ketu?” pertanyaan asal terlontar dari Lingga, teman sekelompokku yang sering sekali berguyon.
“Buset dah. Masa iya kudu ane jelasin juga?” seruku menimpali pertanyaanya. Seisi ruangan tertawa, ada yang setelahnya geleng-geleng kepala, ada yang menunjukan muka jijik. Sedangkan Desah tersipu sambil menutup mulutnya. Mungkin takut masuk laler.
***
Dua minggu pelaksanaan KKN, bulan Ramdahan tahun ini datang. Di bulan suci inilah makin aneh aku pikiranku tentang Desah. Sering bila ku di tengah malam terbangun, dari lelap tertidur. Aku mendengar sayup-sayup lantunan ayat suci tengah dibacakan. Suaranya beraneka ragam. Hipotesisku, sepertinya para kaum hawa sedang bertadarus Al-Quran.
Aku yang penasaran. Hingga disuatu hari ketika sahur bersama, aku iseng untuk bertanya. “Ane sering ngedenger suara cewek baca Quran kalo nggak sengaja kebangun malem. Siapa tuh?”
“Buih… sama cui. Saya juga suka ngedenger tuh kalo ngedadak tidur kegangu gara-gara panggilan alam.” Sela Sultan, salah satu dari empat kaum adam yang terdapat didalam kelompok kami.
“Rasanya udah empat tahun saya bareng sama temen-temen, juga ngalamin hal yang sama.” Komentar khasnya Lingga, yang lebay dan sedikit guyon kembali terdengar. Sekali lagi, penghibur alami yang satu ini, berhasil menghadirkan senyuman di tengah-tengah kegiatan sahur kami.
“Itu suaranya kita-kita, gimana bagus nggak?” jawab Sofi bergelagat sedikit narsis. “Nggak usah dipuji ya. Udah keseringan.” Tambahnya lalu tersipu, sedikit salah tingkah rupanya.
“Iya bener temen-temen. Jam duaan, sebelum yang piket masak buat sahur. Semua cewek sengaja dibangunin sama Desah buat tadarusan.” Rima ikut berkomentar.
“Targetnya khatam 30 Juz, sampai selesai KKN. Sakti kagak tuh?” Sofi kembali bernarsis ria.
“Sofi, jangan gitu! Nggak baik ya!” akhirnya suaranya terdengar. Sedikit tapi bermanfaat, sepertinya itulah landasan Desah ketika berbicara. Tak banyak omong, tak banyak kata, apalagi sampai bisa memenuhi ruangan dengan polusi udara.
“Iya, maaf ya Sah.” Wajah Sofi seakan merasa bersalah atas kekhilafannya.
Desah menepuk pergelangan kaki Sofi dengan halus, lalu mengelusnya beberapa lama. “Nggak apa-apa, biasa manusia khilaf. Tapi jangan dibiasain, jangan diulangin ya!” pinta Desah tenang, lalu tersenyum.
Sofi membalas senyuman Desah, lewat sedikit gerakan berirama gelisah. “Iya.”
Dari sudut pandangku yang seorang kaum adam, sehingga tak bisa aku banyak bercengkrama serta terlampau jauh mengikuti kegiatan kaum hawa. Aku melihat ada perubahan kearah positif yang Desah salurkan kepada para kaum hawa yang lainnya. Nampak benar ia seperti teladan, yang pantas menjadi panutan diantara para anggota kaum hawa kelompok kami.
Apa yang Desah lakukan? Aku sendiri tak tau apa yang ia lakukan sehingga bisa begitu berdampaknya kehadirannya ditengah-tengah para kaum hawa dikelompok ini. Hingga disuatu malam aku menyadari betul seperti apa Desah adanya, seakan terjawab sudah semua penasaranku yang cenderung ke berfikiran aneh tentang Desah.
Malam itu, setelah seharian kelompok kami bertempur melawan hawa nafsu. Sembari melaksanakan kegiatan dari program Pos Daya yang telah ditentukan pihak kampus kepada kami, yang akan kami laksanakan di desa yang kami tinggali. Terlihat benar keletihan diantara para anggota kelompok.
Mereka semua tertidur lelap, tak terdengar suara tadarus Al-Quran di kamar kaum hawa. Aku amati secara tak sengaja, karena malam itu aku tengah mengerjakan pekerjaan lainnya. Di ruang tamu, di ruangan yang jaraknya kurang lebih 10 meter dari kamar kaum hawa. Dekat tangga menuju lantai dua, tempat di mana kaum adam berada.
Ditengah keasyikan mengetik keyboard laptopku, kudengar suara pintu terbuka. Pintu kamar kaum hawa kupikir. Mungkin salah satu diantara mereka ada yang terpanggil alam, sehingga tidur pulasnya akibat letih seharian jadi terganggu sementara waktu. Tapi cukup lama setelah mendengar suara pintu kamar kaum hawa terbuka, aku tak mendengar suara langkah kaki seperti yang kukira sebelumnya. Aku sengaja memperhatikan jalan kearah dapur, sekaligus kearah kamar mandi itu, karena kamar kaum hawa terhalang tembok, bila dilihat dari tempatku berada kini.
Setelah memperhatikan jalan kearah kamar mandi, “Astagfirullah.” Sontak kagetku tak terkira, karena baru kulihat seseorang tengah berjalan menuju dapur dengan pakaian serba putih. Sosok itu membalikan badannya, terlihat benar ia pun merasa hal yang sama dengan yang kurasa. Kaget. “Desah, ngapain jalan-jalan malem-malem gini pake mukena?” seruku, masih terbawa kaget barusan. Sehingga terdengar bernada tinggi.
“Mau periksa bumbu masak dulu pak ketu. Bentar lagikan yang piket mau pada masak.” Balasnya sambil melangkah kearahku, lalu berhenti tepat di perbatasan ruang tamu dengan ruang tengah. Aneh kupikir, mengobrol dengan orang dipisahkan jarak yang lumayan seperti sekarang. Tapi kalau orang itu adalah Desah, pastinya ia berfikir untuk menghindari fitnah, serta menjauhkan dari perilaku yang tidak-tidak. “Nah, sekarang Desah yang nanya. Kenapa pak ketu belum tidur?”
“Masih ada kerjaan nih cui.” Balasku mengarahkan pandangan kearah Laptop. Desah menggangukan kepalanya, hampir tiga minggu tinggal bersama di satu rumah. Sedikit banyak ia tau tentang pekerjaan sampinganku, yang adalah pembuat website. “Kamu nggak tidur Sah?” basa-basi mulai kukeluarkan. Jujur aku kebingungan akan tema yang bisa kugunakan sebagai bahan pembicaraan dengan Desah. Jarang pula aku sengaja berbicara dengannya, inilah alasanku begitu penasaran dengan Desah yang menurutku sedikit aneh.
“Baru tahajudan pak ketu.” Jawabnya ringan.
“Sah, mau nanya nih. Boleh?” ragu-ragu ku berbicara, tapi penasaranku tak bisa ditawar lagi. Rasa penasaran yang membuatku cenderung berfikir bahwa Desah aneh.
“Emang mau nanya apa pak ketu?”
“Kamu kenapa sih kamu bisa rajin solat gitu? Trus pake jilbab panjang kayak gitu? Apa belum cukup ya pake kerudung stelan biasa?” berondong pertanyaan, aku kerahkan kepada Desah.
Selintas senyum tergurat diatas bibir Desah, “Pak ketu kalo ngomong dikit. Tapi kalo nanya, panjang gitu ya?” baru sekali ini kutau kalau sosok Desah, bisa sedikit berhumor dalam pembicaraannya. Terlintas pikiranku, apa aku terlalu berlebihan selama ini memandang Desah itu aneh. “Jadi mau yang mana dulu yang Desah jawab?”
“Kenapa kamu bisa rajin solat?”
“Setau Desah, solat itu yang bisa nyelamatin kita dari panas api neraka pak ketu.” Batinku terguncang, lebih dari rasa penasaran yang selama ini kurasakan. Sebenarnya nada bicara Desah tak seperti orang yang tengah menggurui. Tapi entah mengapa aku berhasil diberikannya suatu pelajaran, yang cepat berlanjut jadi pembelajaran. Tanpa ada paksaan, secara damai dan tenang pencerahan itu masuk tanpa terhambat ke relung batinku yang terdalam. “Terus yang kenapa pake jilbab, ya itu udah kewajiban muslimah pak ketu.”
“Sementara banyak wanita lain mengumbar auratnya?” selaku mulai kritis.
Desah menggangukan kepalanya, “Iya.”
“Terus gimana kalo ada yang bilang belum siap pakai kerudung? Banyakan alasan cewek kayak gitu?”
“Kalo menurut Desah sih, yang utama itu merubah pola pikir dulu. Pola pikir tentang berkerudung.”
“Maksudnya?”
“Muslimah itu wajib menutup auratnya, dalam hal ini ya pake kerudung, atau pake jilbab. Nah diharepin setelah perlahan ia menutup auratnya, hatinya juga bisa tertutup dari hal buruk yang berdosa.”
“Buset ngomongin dosa lagi?”
“Emang kenapa?” tanya Desah spontan.
Aku cepat geleng-geleng kepala. Kutau walaupun aku bukan lelaki yang bersifat buruk, tapi tak selalu yang kulakukan itu benar, walaupun terkadang terlihat baik. “Jadi pake kerudung dulu? Apa siap dulu?”
“Kalo menurut Desah sih, ya harusnya pake kerudung dulu. Kalau nunggu siap, itukan masalah waktu jadi susah buat ditentuin. Emang mau kapan siapnya? Mending kalo keburu? Kalo nggak keburu gimana?”
“Keburu apaan Sah?”
“Keburu dipanggil sama Allah.”
Mulutku tak bisa langsung berkata, pikiran kritisku, agar penasaran dalam benakku hilang. Serasa tersapu dengan perkataan Desah yang sebenarnya berat, tapi begitu terdengar santai hingga ringan masuk kedalam akalku.
“Masih ada pertanyaan lagi pak ketu?”
Mataku mengerdip menyadarkanku dari sejenak tertegunan. “Tapi kalo udah pake kerudung, tetep suka berbuat yang dilarang, gimana dong?”
“Berarti kerudungnya belum sampai ngerudungin hatinya. Baru badannya doang yang dikerudungin. Harusnya udah badan di kerudungin, wanita itu berusaha kerudungin hatinya juga pak ketu.” Berbicara dengan Desah mengajar tanpa terasa, berdakwah tanpa merasa dipaksa. Nikmat benar.
 “Belum dapet hidayah kali tuh Sah.” Aku nimbrung dengan komentar asal.
“Hidayah belum tentu juga dateng sendiri, dia harus juga dicari. Banyak caranya, ikut pengajian, sering ngobrol sama orang yang ilmu agamanya bisa diandalkan, termasuk sama menjalankan rukun Islam.” Desah beralih dari posisi duduknya, mulai untuk berdiri. “Udah dulu ya pak ketu, saya mau lihat bumbu masakan apa masih ada atau udah habis.”
“Eh satu lagi cui, kenapa pake kerudungnya panjang sepinggang?” dari gerakan berjalan, Desah membalikan badannya.
“Untuk nutupin aurat pak ketu.” Dia berjalan menuju kearah dapur, tapi pertanyaanku kembali menghentikannya.
“Kan bisa pake kerudung yang lagi ngetren cui? Apa masih kurang nutupin auratnya?”
Lagi Desah membalikan badannya, “Sebenernya udah bagus dengan pakai kerudung yang lagi ngetren, yang mirip sama artis siapalah itu. Tapi Desah ingin auratnya bener-bener tertutup. Udah ya pak ketu, encok nih lama-lama bolak-balik mulu.”
Malam ini sungguh berbeda, rasa penasaran yang cenderung aneh dalam benakku tentang Desah berubah jadi syukur karena masih ada wanita sepertinya. “Pak ketu.” Suara Desah mengangetkanku kembali.
“Ada apa cui?”
“Kalau nggak lagi sibuk-sibuk banget, terus buat webnya bisa diberhentiin sebentar. Boleh minta tolong nggak?”
“Apaan sah? Bumbu masakan habis? Kalo habis warung Bu Iyam bisa digedor tuh. Sini sama ane aja gedorinnya.”
Suara Desah terdengar, tapi sosoknya telah lenyap ditelan tembok penghalang ruangan tengah dan dapur. “Bukan, minta tolong buat bangunin temen-temen yang cowok. Yang cewek biar aku yang bangunin.”
“Lah masakannya kan belum jadi, lagian baru jam dua kan? Masa mau dibangunin? Sahurnya masih lama Sah.”
“Iya kalo yang piket sih masak aja buat sahur. Yang lainnya, sambil nunggu sahur, kita tadarusan bareng yuk!” soraknya diselingi suara kresek, sepertinya Desah masih asik mencari bumbu masakan. Sedangkan aku semakin kagum dengannya, dengan segera aku bergerak kearah lantai dua untuk membangunkan para pemuda yang tengah keletihan karena pekerjaan sehariannya. Dengan perasaan aneh yang sekarang benar-benar memberikan pencerahan. Walau sedikit bisa kurasakan bahwa Desah, adalah seorang peubah. Setidaknya peubah pola pikir orang yang berinteraksi dengannya. Apakah ini yang dinamakan dakwah?
           


Bandung, 3 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar