Senin, 21 Januari 2013

Lalim

“Taman yang indah.” Ucapku sewaktu ku berada di suatu tempat entah dimana. Sejauh aku memandang, daerah ini begitu indah. Apa aku telah mati? Aku yakin belum. Karena seharusnya ketika aku mati, sesuai ajaran agamaku akan ada dua malaikat yang bertugas menanyaiku. Menanyaiku tentang pertanggung jawabanku, adari apa-apa yang telah ku lakukan selama aku hidup. Tapi ini, tak ada malaikat sama sekali. Tak ada orang satu pun, hanya aku seorang diri disini. Di taman indah nan luas ini.
            Kumbang berkeliaran tak ketakutan, karena kehadiranku. Mereka menghampiri bunga-bunga yang tumbuh. Mulai mengerayaminya secara sembarangan, tidak bermoral, tapi mereka memang tak punya moral, mereka adalah binatang. Itulah kebiasaan yang mereka lakukan. Kumbang memang diciptakan tuk menggoda, menghisap madu, lalu pergi jauh dari bunga-bunga itu? Tak beradat istiadat, tak sopan, tak bersopan santun, dan jelas mereka bukan manusia, yang punyai akal serta aturan dalam bersikap.
            Sedari tadi aku hanya mematung. Rasa takjub melihat pemandangan sekitarku, membuatku hanya berdiam diri. Penasaran, aku sengaja tuk melangkahkan kaki. Belum jauh ku langkahkan kaki, keindahan Tuhan yang lainnya langsung ku lihat. Tepat dibawah kakiku, ada segerombolan semut yang seperti sedang asik mengawasi sarangnya. Kalau saja tak hati-hati aku melangkah, pasti sarang mereka sudah rusak karena ku injak.  
Sibuk melangkah, sembari melihat kesekitar. Aku benar-benar semakin dibuat takjub sekaligus takut secara bersamaan. Takjub karena pemandangan seperti ini, tak pernah lagi ku lihat. Itu semua karena di negeriku semua hutan sudah ditebang orang-orang, tuk dijadikan aksesories penghias kota. Dari mulai bangunan, mebel penghias rumah, semua berasal dari pohon-pohon yang ada di hutan. Atau hutan itu dibuka tuk dijamah orang asing, tanpa mau memikirkan nasib rakyat dinegeri sendiri.
Lama aku takjub, mulai kurasa takut. Takut karena aku hanya seorang diri disini. Sekarang bukan cuman melangkah yang kulakukan, aku mulai tuk berlari mengelilingi taman atau mungkin lebih tepatnya hutan. Walau hutan ini begitu luas, dan indahnya bukan kepalang. Di hutan sunyi ini, tak aku temui penampakan manusia selain aku. Cemas batinku jadinya.
Selain kesendirianku, yang lainnya masih terlihat normal, aku lihat pohon-pohon raksasa yang mungkin berumur ratusan tahun berselang seling dengan pohon yang lebih kecil, ada beberapa kawanan monyet, dan tupai sedang asik dengan kesibukannya masing-masing yaitu makan. Anehnya mereka seperti sudah biasa melihat manusia, tak lari, apalagi ketakutan sewaktu melihat aku berlari melintasi mereka. Mereka malah seperti tersenyum, saat aku lewat di dekat mereka.  

***

“Ndah… Indah.” Terdengar suara ibuku memanggil, tapi tak ku lihat sosoknya. Seiring dengan panggilan itu, tubuhku berguncang, semakin lama makin kencang. Dan akhirnya. Perlahan tapi pasti, dapat ku lihat juga sosok ibuku, yang saat ini tepat dihadapanku.
“Jadi kuliah nggak hari ini Ndah?”
“Eh, iya. Jam berapa sekarang mah?” tanyaku saat teringat aku ada kuliah jam 11.
“Jam 8.” Terlepas dari mimpi tadi, aku mulai bersiap menuju kekampus. Perjalanan menuju kekampus seperti biasanya, macet, selalu saja macet.
            Di dalam bis damri aku melihat kearah kanan, lalu kiri jalan. Ku lihat gedung-gedung pabrik yang tak terlalu tinggi, dengan luas yang sangat luar biasa. Tak lupa kutemui ada beberapa bangunan kecil seperti Ruko, Toko serba ada, Super market, Mini market, Toko 24 jam, beberapa Outlet makanan cepat saji juga ada di sekitar jalan, di sepanjang perjalananku menuju kampus. Begitu banyak gedung di kota ini, inilah bentuk kemajuan dari suatu daerah. Jumlah bangunan komersil yang ada itu berbanding lurus, dengan penguatan ekonomi yang ada didalam kota.
            Tapi pemandangan ini ironis sekali untukku, karena hanya beberapa saja ku lihat Pohon menghiasi perjalananku menuju kampus. Itu pun bukan pohon yang besar, hanya pohon kecil, paling tingginya cuman 1,5 meter saja. Sementara tinggi beberapa bangunan yang kulihat, mungkin sampai lebih dari puluhan meter.          
Tak seperti, apa yang kulihat di dalam mimpiku. Yang singkat, tapi terus melekat, di malam tadi. Kota ini seperti bermusuhan saja dengan alam, mereka bukan ingin bersahaja dengan alam. Tapi malah merusak alam, untuk kepentingan sendiri, seenaknya saja.
            Memang ada Taman Kota di kota ini. Tapi Taman Kota itu hanya sebagai simbol yang menunjukan bahwa pemerintah daerah telah memberikan ruang buat alam. Hanya sebatas simbol, dan tak lebih dari itu. Di mimpiku, pohon-pohon itu tumbuh dengan indahnya. Sementara di kota ini, pohon ada untuk memperindah cintra kota yang sebenarnya berpenyakit.

***
           
Bunga-bunga disana masih berkembang, semut, dan serangga-serangga lainnya masih asik dengan kesibukannya masing-masing. Anehnya, perasaanku tak sesenang pada saat ku pertama datang kesini. Kali ini, diantara buaian angin, aku dapat merasakan ada kesedihan yang mendalam. Entah berasal dari mana, lalu apa penyebab aku merasakannya.
Kakiku melangkah masih tak tau arah. Ia berontak kepada tuannya sendiri, dan berjalan secara mandiri. Tak dalam kontrol otak, atau pun keinginanku. Besitan tanya mulai datang, dan mendera pikiranku. Seakan ada yang menariknya, melawan keinginanku. Tapi kemana, tujuannnya?
Akhirnya setelah cukup lama ia melangkah, kakiku bisa berhenti juga. Ia berhenti tepat depan sebuah pohon yang lebih besar, lebih tua dibandingkan pohon-pohon lainnya yang ada di dalam hutan ini. Karna penasaran, akhirnya ku sentuh pohon itu, ku belai ia dengan lembut. Dan luar biasa, ternyata ia bisa berbicara. “Kenapa kalian bisa jadi begini?” Aku terkejut, dan ekspresiku pastinya sudah tidak jelas karenanya. Kakiku melangkah mundur, menjauh sebisa mungkin dari pohon yang bisa bicara, yang sekarang ada didepanku.
“Tak usah takut.” Suaranya besar, bergema.
“Kamu bisa ngomong?” Ucapku kaget, kurasa gigiku gemeletuk tak menentu.
“Alam berbicara padamu, tapi kau tidak pernah memperhatikannya. Mereka merupakan kumpulan ayat Tuhan juga. Dan aku salah satu dari bagian ayat itu.” Aku terperanjat tak percaya, terkejut dan jelas masih sangat takut. Dari mundur, kembali ku coba memberanikan diri, mendekat lagi kearah pohon itu.
“Apa maksudmu pohon?” aku penasaran.
“Alam juga adalah Ayat-ayat Tuhan, dan mereka nampak jelas bagi siapa pun yang mau membacanya. Alam telah terlampau lama di acuhkan oleh kaummu. Kami bisa marah, tapi manusia tak kunjung jera.”
“Maksudmu?”
“Kemurkaan alam, sangat kejam. Kami diacuhkan, dan direngut hak untuk ada dan hidup.”
“Aku masih belum mengerti?”
“Pohon-pohon sepertiku bisa menyerap udara kotor yang dihasilkan oleh teknologi kaummu, dan mengeluarkan kembali menjadi oksigen yang segar untuk kaummu juga. Alih-alih menanam pohon, untuk keseimbangan alam dan teknologi kaummu. Mereka malah semakin rajin untuk menambah gedung-gedung, dan mengurangi hak kami untuk berada di dekat mereka.” Aku mengangguk tanda setuju, “Di sisi pantai, harusnya ada Pohon Bakau yang juga berfungsi sebagai antisipasi dari abrasi air laut. Bukannya menanam Bakau di tepi pantai, kaummu lebih mengutamakan bisnis pariwisata disana. Melupakan hak kami, secara sembrono. Merampas keseimbangan alam, karena hanya berfikir soal uang yang bisa di hasilkan darinya. Alasan mereka guna menambah Devisa Negara. Tapi nantinya, nantinya uang itu akan dikorupsi oleh para politisi-politisi yang tidak amanah lagi. Apa itu manusia?”
“Jadi sekarang apa maumu pohon? Apa kau pikir semua manusia seperti itu?” tanyaku walau kurasa cukup tak adil menggangap semua manusia itu sama.
“Aku tidak meminta apa-apa. Hanya meminta perhatian kalian yang mau memperhatikan kami.”

***

“De… de… de…” suara seseorang memanggilku.
“Eh iya, ada apa Pak?” rupanya yang barusan memanggilku adalah kondektur bis damri yang kunaiki.
“Udah sampe Ledeng.” Ucapnya mengingatkan.
“Makasih pak.” Sahutku seraya beranjak dari tempat duduk.


Bandung, 2 April 2012 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar