Senin, 18 Februari 2013

Aku, Angin, dan Kinanti



Angin berhembus pelan, ia terus menyelusup, ia menyelusup lewati rongga-rongga berlubang ruang tua ini. Seperti sedang asik menyelidik, mencuri dengar semua perbincangan dari setiap tempat yang sempat dilintasinya. Menyimpan hasil dengarnya dalam senyap, untuk kemudian di gaungkannya secara pelan, dan perlahan- lahan, di suatu tempat yang entah dimana keberadaannya.
            Aku tak ingin ambil pusing, biarkan saja angin itu mencuri dengar semua resah hatiku, walaupun ia sengaja menggunjingkan ku juga tak mengapa. Agar semua orang tau apa yang ada di dalam hatiku sekarang, apa yang kurasakan dan apa yang sedang ku pikirkan. Apa yang sedang menjadi keluh kesah di batin yang makin hari makin menggerogoti diriku. Biarlah semua desah, keluh, dan resah hati ini dibawanya. Dibawa pergi olehnya, dibawa oleh sahabatku itu. Karena hanya dengan begitulah, aku bisa merasa cukup tenang, tak merasa seorang diri lagi dalam kepedihan sepahit ini.
            Nanti, tahukah engkau disini ku terus mengenang semua kisah kita. Di masa semua tawa masih ada, di kala keluarga kita masih bersama. Selama ini hanya angin yang mau menjadi sahabatku, ia sahabat terbaikku sekarang. Hanya angin yang menjadi pesona alami, sewaktu ku pikir hidup ini sudah tak baik lagi. Hidupku sekarang sangat jauh dari tawa, jauh dari kata bahagia, ia malah seakan dekat dengan rasa kecewa.
***
“Aku nggak bisa Kak?” Jawab Lintang menantang saran Raka, kakaknya.
“Tapi Ayah sekarang cuman sendirian aja di rumah ini Tang. Sepeninggalan Ibu, Ayah keliatan sedih terus. Ayah jadi nggak merhatiin dirinya, kadang bisa sampai lupa waktu buat makan. Takutnya kalo nggak ada yang merhatiin, Ayah nggak ada yang ngingetin buat makan, atau buat minum obat. Pendapatku, bagaimana kalau Ayah tinggal di rumahmu? Dengan begitu Ayah ada yang merhatiin.” Raka membalas perkataan Lintang adiknya dengan lantangnya.
“Nggak bisa Kak. Istriku bisa marah, kalau Ayah tinggal bersama kami. Aku nggak mau keluargaku jadi sering berantem, cuman gara-gara Ayah tinggal di rumahku.”
“Kamu lupa, dulu sering Ayah berantem sama Ibu gara-gara ngebelain kamu. Cuman gara-gara kamu, Ayah sering bertengkar sama Ibu. Cuman gara-gara ngebelain kamu, cuman ngebelain kenakalan kamu Tang. Sekarang kamu malah ketakutan berantem sama Istri, cuman gara-gara Ayah tinggal sama kamu. Padahal sekarang masalahnya jauh lebih gede, kamu nggak liat Ayah sekarang udah sakit-sakitan kayak begitu.” Balas Raka masih tegas.
“Terus kenapa Ayah nggak tinggal di rumah Kakak aja? Bukannya dulu Ayah sering ngebela-belain uang penghasilan narik becaknya buat ngebeliin keperluan kuliah Kakak? Yang malah Kakak pake buat nraktir pacar-pacar Kakak. Yang ujung-ujungnya cuman mau morotin Kakak aja?” Ucap Lintang tak mau kalah, membuat Raka sekarang tak bisa berkilah.
            Mendengar pertengkaran kedua putra kesayanganku. Aku menuju ke ruang tamu, ke tempat sumber pertengkaran itu berasal. Ke ruang tamu yang jadi saksi bisu pembicaraanku dengan Nanti yang amat kucintai. Wanita yang terbaik, jodoh pertama dan terakhir untukku. Jodoh tuk seorang tukang becak yang serba kekurangan, jodoh tuk seorang tukang becak yang lebih sering berada di tengah-tengah kubangan penderitaan.
“Ada apa ini?” Mendengar suaraku muncul secara tiba-tiba, kedua putraku yang tadi masih kudengar bertengkar, terdiam seribu bahasa. Ku hampiri mereka berdua, walaupun sulit kurasa tuk melangkahkan kaki tuaku. Melihat kesulitan ku, putra-putraku mencoba membantu, membantu tuk memapahku. Mereka dudukan aku disebuah kursi lusuh, yang saat ini nyaris tak utuh. Kubenarkan posisi dudukku, mataku menatap wajah mereka satu persatu. Kutangkap tingkah yang serba salah, dari raut muka mereka yang nampak gelisah.
“Kenapa kalian berdua bertengkar?” Tanyaku membuat mereka semakin serba salah, tak tau harus menjawab apa? Serta bagaimana cara mengutarakan maksud mereka, yang tadi sempat ku mendengarnya.
“Ini Yah. Sekarang Ayah kan udah mulai sakit-sakitan, jadi Raka nyaranin ke Lintang supaya Ayah tinggal aja sama Lintang. Daripada Ayah tinggal sendiri, di rumah kontrakan ini. Tapi Lintang malah nggak mau. Kata dia, Istrinya nggak mau ada Ayah di rumah mereka.” Jawab Raka memberanikan diri.
“Kenapa nggak di rumah Kakak aja Ayah tinggalnya?” Sela Lintang tak setuju. Raka terdiam, ia mati kutu dengan semua kata-kata dari mulut adiknya barusan. Aku hanya menunggu apa yang akan dikatakan oleh Raka, walaupun sedikit banyak aku tau jawaban yang akan di utarakannya.
“Aku kan tinggal di rumah mertuaku, mana bisa aku mengajak Ayah untuk tinggal disana? Banyak masalah yang akan terjadi, kalau aku mengajak Ayah untuk tinggal bersamaku.” Desis Raka pelan. Tak berani ia keluarkan kata-kata lantangnya, seperti tadi ia lakukan sewaktu berbicara dengan adiknya.
“Tuh kan Kakak juga sama. Pasti repot kalau ngajak Ayah buat tinggal di rumah Kakak.” Timpal Lintang seadanya.
Hatiku ngilu benar, mendengar jawaban dari putra-putraku ini. Aku tak tau apa yang harus ku rasakan semestinya. Sedih kah? Kecewa kah? Atau malah marah?. Tak ingin derita, dan pertengkaran kedua putraku berlanjut, aku coba menengahi.
“Ya sudah, besok antarkan Ayah ke Pondok An-Nur.” Ucapku cepat, lalu mencoba tuk berdiri. Kedua putraku kembali membantuku berjalan. Mereka berdua nampak sedih, seperti tak tega, tapi tak ada kata yang keluar dari mulut mereka. Lalu mesti bagaimana lagi aku seharusnya. Aku tak ingin, hidup mereka yang sekarang lebih baik, lebih layak daripada kehidupan ku dan Istriku dulu. Jadi terganggu, dengan adanya kehadiranku diantara keluarga mereka. Biarlah orang tua ini mengalah demi anak-anaknya, bukankah sudah semestinya orang tua membuat anak-anaknya bahagia.
***
            Kesokan harinya, kedua putraku, kedua anak kesayanganku. Mengantarkan ku kemari, ketempat ini. Sebuah Panti Jompo, yang bangunannya seperti sehati dengan para penghuninya. Tua, bobrok, dengan atap penuh tambalan, serta lantai ubin yang nampak berbukit-bukit. Awalnya ku merasa tempat ini, bukanlah tempat yang layak untuk ku tinggali. Rumah kontrakanku jauh lebih baik adanya.
Tapi aku tak bisa terus membiarkan putra-putraku membayar sewa rumah kontrakanku. Jadi apa dayaku? Mau tak mau aku memang harus tinggal disini, di tempat yang sedari muda sangat ku hindari. Tempat dimana para orang tua sepertiku. Seakan diacuhkan, nyaris nampak disingkirkan, oleh anak-anaknya sendiri. Oleh para anak-anak, yang dulu mereka sangat perjuangkan hidupnya. Tapi nyatanya disinilah aku sekarang, di sebuah Panti Jompo.
Anak-anakku, di beberapa bulan pertama ku tinggal di panti jompo. Masih sering mengunjungiku, walaupun mereka selalu datang tak menyertakan keluarga mereka bersamanya. Tak pernah mereka datang menjengukku bersama keluarga mereka. Entah apa alasan mereka, hingga mereka tak pernah membawa serta keluarga mereka tuk mengunjungiku.
            Kunjungan itu berlalu begitu cepat. Saat ini, sudah hampir satu tahun lamanya. Mereka tak pernah mengunjungiku lagi. Sebenarnya banyak pertanyaan yang terlintas dalam benakku. Apakah mereka sehat? Atau dalam keadaan baik-baik saja?. Tapi semua pertanyaan itu selalu terjawab, termuntahkan begitu saja di setiap akhir bulan. Selalu termuntahkan dengan datangnya kiriman sejumlah uang, yang dikirim oleh anak-anakku. Dengan begitu, setidaknya aku tau keadaan mereka baik-baik saja. Tapi mengapa mereka tak pernah mengunjungiku lagi? Apa benar aku sengaja mereka singkirkan dari hari-hari mereka? Apa benar mereka ingin ku tak ada di kehidupan mereka?
***
Kupandangi foto Nanti Istriku, wanita yang sangat kucintai, jodoh pertama dan terakhirku. Nampak lusuh, dan tak terawat, karena dimakan usia, dan juga rayap.
“Nanti. Kinanti Istriku. Akan kunanti pertemuanku denganmu. Disini aku kesepian, tapi dapat kupastikan aku baik-baik saja Sayang. Angin sangat baik padaku, ia selalu menemaniku Nanti. Walau kadang ia menganggu waktu tidur malamku, kemudian membuat aku kedinginan saat ia membelaiku. Tapi walaupun begitu, setidaknya ia selalu ada disini, ia selalu ada tuk menemaniku. Ia menemaniku dengan suka rela, tulus, dan sangat perhatian padaku. Mungkin diluar sana dia suka mengosipkanku, tapi tak mengapa juga. Karena aku tak tau siapa yang diajaknya bergosip tentangku diluar sana. Sayang, cintaku, hadiah terindahku. Aku merindukanmu Kinanti.” Sambil memandangi foto Nanti, aku mengutarakan semua yang kurasa. Semua kesepian yang meraja, di tengah-tengah ruang kamar yang apa adanya. Hanya bertiga saja. Aku, Angin, dan Kinanti.


Bandung, 5 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar