Minggu, 10 Februari 2013

Mbok Mira Bersedih


Saat aku menghampirinya, ia sedang menangis. Tak terdengar suara isakan dari mulutnya. Tapi linangan air mata sudah lebih dari cukup membuatku tuk tau, kalau sedang ada luka yang menghinggapi benaknya. Perlahan kudekati ia, wajahnya yang penuh keriput diusia senjanya. Pagi ini terpaksa dibasahi air mata yang sebelumnya tak pernah kulihat ada di kedua matanya. Sekarang ini, sang penyelamatku tengah menangis. Dan aku tak tau mengapa itu terjadi?
Sekitar tujuh bulan lalu, Mbok Mira begitu aku menyebutnya. Menyelamatkanku dari kejamnya jeratan hidup jalanan, menghentikan kebiasaanku mabuk-mabukan, ngelem, juga pekerjaan yang sering tak mendapatkan hasil disana. Mbok Mira sudah tua, tapi walaupun renta. Semangatnya untuk menyelamatkan orang-orang, teman-teman yang mengalami nasib tak jauh berbeda denganku tak pernah hilang. Beliau menampung kami semua disini. Dipanti asuhan miliknya. Panti asuhan yang didirikannya, dari semua uang tabungannya selama bekerja menjadi pembantu rumah tangga di rumah majikannya dulu.
Selain kami, anak-anak jalanan. Disini Mbok Mira juga mengasuh anak-anak yang lainnya. Anak-anak yang tak punya ayah, lalu mereka dititipkan ibunya disini dengan berbagai alasan yang tak mampu ditelan logika. Dengan tangan terbuka iklas diterima Mbok Mira. Anak-anak yang dititipkan Ayahnya, karena Ibunya entah kabur dengan siapa. Juga diterimanya dengan tangan terbuka. Anak-anak yang tak punya Ayah juga Ibu. Atau bayi-bayi mungil yang merengek nangis di depan pagar panti, kala pagi hari. Akan segera beliau urus, dan juga beliau didik di sini. Beliau didik kami semua, seperti anaknya sendiri. Mbok Mira tak punya anak, aku pikir beliau juga tak punya keluarga karena tak pernah sekalipun kulihat Mbok Mira dikunjungi orang selain para penyumbang panti asuhan.
Selama aku mengenalnya. Mbok Mira lebih sering tersenyum, daripada murung. Setiap apapun yang kami perbuat, karena adab kami yang tak teratur. Ia selalu tersenyum. Ia benar-benar menerapkan penyampaian baik, adalah penyampaian yang dilakukan secara benar. Tanpa emosi, tanpa amarah, cacian, bukan juga seprotan bicara yang tak kunjung usai. Percuma saja menyampaikan sesuatu yang baik, dengan amarah. Hasilnya hanya salah, karena setan ikut disana. Sehingga bila Mbok Mira memberi nasehat kepada kami, ia lakukan dengan senyuman, tanpa ada kata-kata kasar yang menohok kesudut hati.
***
Itulah Mbok Mira, Mbok yang lebih sering tersenyum dari pada murung. Tapi pagi ini, ia bukan hanya murung. Ia sampai menangis. Penasaran, dengan langkah pelan, aku mendekatinya. Mencoba mencari tau apa yang sedang dirasanya, hingga muram menghiasi wajahnya. “Mbok…” suaraku menyapanya.
Wajah itu menatapku. Matanya yang tua, wajahnya yang renta, melihat lekat kedalam mataku, kurasakan ia tengah masuk kedalam hatiku. Mencari tau apa yang sedang kurasakan, juga pikirkan. “Ada apa Nak?” tanyanya berusaha terlihat tersenyum, sembari repot mengusap air mata yang deras meluncur di pipi.
“Mbok nangis ya? Kenapa Mbok nangis?” kurangnya aku mengenal kedua orang tuaku. Membuatku menggangap Mbok Mira keluargaku, orang tuaku sendiri. Tak perduli dari rahim wanita mana aku dilahirkan, sekarang Mbok Mira adalah orang tuaku. Dan melihatnya bersedih, jelas mengusik batin ini. Tangannya menepuk-nepuk tempat duduk disebelah tempat duduknya. Memberikan isyarat agar aku duduk disana. “Mbok kenapa sedih?” aku bertanya lagi.
“Nggak apa-apa Nak.”
“Mbok jangan bohong. Kan Mbok sendiri yang ngomong kalo bohong itu nggak boleh. Dosa.”
Beliau kembali menyeka air matanya yang kulihat makin deras mengalir dari pelupuk matanya, masih belum menjawab pertanyaan yang kuberikan. Setelah asik menyeka air yang keluar dari pelupuk matanya, Mbok menarik nafas dalam. Kurasa beliau sekarang sudah mulai siap untuk bercerita.
Awal mula cerita dari kesedihan beliau adalah karena hari ini adalah tanggal 30 September. Di tanggal yang sama berpuluh-puluh tahun yang lalu. Ada sebuah cerita kelam yang mewarnai kehidupan, serta keberlangsungan bangsa ini dimasa itu, sekarang dan yang akan datang. Itu pernah kubaca dari buku-buku sejarah yang ada di perpustakaan panti.
Saat itu Mbok Mira masih berumur 16 tahun. Masih sangat belia. Belum banyak mengerti tentang pergolakan politik yang terjadi, tapi entah mengapa biar tak mengerti apa yang terjadi. Beliau harus terpaksa menerima akibat dari apa yang belum ia mengerti itu. Aneh kupikir, kalau belum mengerti mengapa tetap menerima akibatnya? Tapi kata Mbok Mira itu adalah politik, dan begitulah yang dinamakan politik di negeri ini.
Disuatu sore, tiga orang tentara datang kerumah Mbok Mira. Setelah dibukakan pintu, mereka tanpa salam langsung masuk dan langsung menggeledah rumah Mbok Mira. Saat itu hanya ada Ibunda Mbok Mira juga Mbok Mira sendiri didalam rumah. Sementara Ayah dan seorang kakak laki-laki Mbok Mira sudah beberapa hari tidak pulang. Tak tau kemana.
Salah seorang tentara meminta Mbok Mira untuk membuatkan para tentara itu minum. Mbok Mira masuk menuju dapur, sedangkan ibunda Mbok Mira diruang tamu berbicara dengan dua orang tentara yang lainnya. Setelah dibuatkan minum, Ibunda mbok Mira sudah tak ada di ruang tamu. Belum sempat Mbok Mira bertanya, ia langsung dinaikan kedalam mobil yang membawa tiga tentara tadi. Ia bertanya dimana ibunya, tapi para tentara itu bungkam. Sampai salah seorang dari mereka berkata cepat, “Ibumu sudah duluan pergi. Sekarang kau harus ikut.”
Mbok Mira dibawa kedalam suatu bangunan, yang disana berisi banyak perempuan. Ada yang seumuran dengannnya, ada yang seumuran dengan Ibunya. Saat itu Mbok Mira tak tau tempat apa yang sedang didatanginya ini, sampai di malam pertama ia tinggal disana bersama para perempuan itu. Seorang tentara memanggilnya, “Kamu.” Ucapnya tegas. Setelah itu mengajak Mbok Mira masuk kedalam satu ruangan lain yang lebih sempit. Mbok Mira meolak, tapi tubuh kecil Mbok Mira tak berarti apa-apa buat mereka. Maka dengan terpaksa, Mbok Mira masuk kedalam sana.
Cukup lama berselang, masuklah beberapa tentara. Mereka tanpa basa-basi sebelumnya mulai mengerayami tubuh Mbok Mira. Perlahan-lahan tangan-tangan itu masuk kebalik pakaian Mbok Mira. Panik, Mbok Mira berteriak. Mencoba meminta tolong kepada siapun yang mendengarnya. Tapi setelah lama berteriak, barulah ia merasa apa yang dilakukannya adalah percuma. Dua orang tentara itu mulai memberikan rasa perih yang dalam pada Mbok Mira. Tubuhnya yang saat itu masih belia, telah luluh lantah di tikam nafsu binatang para pria didalam sana. Terus meronta, Mbok Mira tetap saja merasa tak akan ada bantuan dari luar.
Sisa-sisa hari-harinya setelah itu tak jauhlah berbeda. Entah mengapa lama kelamaan, ia mengerti apa yang sedang terjadi. Apa yang dinamakan politik, juga akibat politik itu kepadanya. Dari mulut para perempuan lain disana. Beliau tau alasan kenapa Ayah dan Kakak laki-lakinya tak pulang-pulang kerumah. Kenapa keluarga lain tak sedikit yang mengalami hal yang sama. Ia tau kira-kira kemana Ibundanya pergi.
“Kemana Ibunya Mbok Mira?” tanyaku menyela cerita Mbok Mira.
“Ke tempat yang sama dengan Mbok, tapi letak yang berbeda.”
Dibalik pengetahuannya itu. Rasa perih setiap hari makin terus ia rasa, makin lama makin dalam rasa perih itu padanya. Tubuhnya kini menanggung perih tak terkira. Tapi jauh didalam tubuh itu, jauh dibalik tubuh yang telah terjamah oleh banyak pria itu. Ada perih yang dalam, malah mungkin sangat dalam. Perih itu tersemat, tertanam, tak sudi ia mencabutnya. Perih itu terletak di hatinya.
“Terus apa hubungannya sama tanggal 30 September Mbok?” penasaranku mencuat.
“Soalnya tanggal itu yang dikenang sama bangsa ini.”
“Itu yang tahun 65 itu, yang banyak jenderal di…”
“Iya benar Nak.” Diantara derai tangisnya yang memuncah tak berhenti, disela isak tangisnya kala menuturkan cerita masa lalunya. Sebersit senyum hadir di bibir Mbok Mira. Walaupun singkat, senyum khas Mbok Mira itu jelas kulihat. Senyum yang telah menyelamatkan aku dari jalanan yang kejam. Senyum Mbok Mira, senyum orang tuaku, senyum penyelamatku.


Bandung, 1 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar