Senin, 21 Januari 2013

Binar Mata


Sejak satu peristiwa yang kelam menimpaku, aku punya kemampuan untuk melihat mata, lebih dari mata yang bisa dilihat orang pada umumnya. Sampai sekarang aku masih bisa melakukan kemampuan, yang orang-orang tak akan pernah bisa percaya ini. Aku bisa melihat mata, serta bentuk hati yang dipancarkan olehnya. Aku bisa melihat kegembiraan, kesedihan, ketakutan, malu, nafsu, apapun yang ada didalam hati seseorang. Hanya dengan melihat matanya.
            Binar mata aku menyebutnya. Satu titipan rahasia, yang bisa kuketahui. Semua binaran itu seakan meluncur, mengalir, tak terbendung, tak bisa ditampung. Bila aku sedang melihat mata seseorang. Kadang aku melihat mata yang dari dalamnya menjulur lidah-lidah api. Lidah-lidah api itu tidak berwarna biru, tidak berwarna merah. Ia berwarna kelam. Warnanya perpaduan ungu serta hitam yang disatukan. Selain mata yang menjulur lidah api didalamnya. Aku bisa melihat mata dengan jarum berwarna abu-abu keluar dari mata seseorang. Bentukan cahaya itu kuat, benar-benar seperti jarum. Hanya saja ini tak terbuat dari besi, jarum-jarum itu seperti terbuat dari cahaya. Ya cahaya, cahaya berwarna abu-abu.
Aku jarang menemukan, mata yang pernah aku lihat disatu lingkungan yang isinya lebih banyak anak-anak daripada orang dewasa. Waktu itu bulan, puasa. Aku masih kecil saat itu. Ibu mengajakku ketempat itu, disana aku bisa melihat mata yang punya cahaya yang berbeda. Dari dalam mata itu tersebarlah cahaya kesegala arah. Setiap cahaya itu mengenai tubuhku, aku merasakan ketenangan, kesabaran, serta perjalanan panjang dalam hidup diberbagai keadaan. Ini mata yang tak pernah aku jumpai sebelumnya. “Kita harus menyantuni mereka nak. Mereka anak-anak yang kurang beruntung. Mereka anak yatim piatu.” Ibuku berkata saat kami datang mengunjungi anak-anak yang matanya punya binar berbeda itu.
Itu masih kujalani setiap bulan puasa bersama ibuku. Sampai orang bernama Irwan yang sering datang kerumah, membuatku tak pernah merasakan itu lagi bersama ibu. Sebenarnya ada binaran mata yang tak pernah kulihat dimata orang itu. Matanya mengeluarkan sesuatu yang ganjil menurutku. Sesuatu yang cair, encer, dan berwarna hitam dikeluarkan orang itu dari matanya.
Aku pernah mengatakan apa yang aku lihat ini kepada ibu, tapi ibu tak pernah percaya. Aku tau itulah yang akan kuterima. Orang-orang, tak terkecuali ibuku pastinya tidak akan pernah percaya dengan semua ceritaku ini. Dusta, begitu mereka menyebutnya.
Binaran mata Irwan berubah disaat ada keramaian terjadi dirumahku. Dari dalam matanya terpancar binaran yang tak bisa aku rasakan ketenangan didalamnya. Saat cahaya itu menyentuh tubuhku, aku merasakan panas yang luar biasa. Saat berada didekatnya, aku sangat gerah. Orang-orang yang memberi tahu, kalau keramaian itu terjadi karena ada pernikahan antara Irwan, dan ibuku dirumah. Adik-adik, juga kakak-kakak ibuku memberi tahu padaku, bahwa ibu harus punya pendamping semenjak ayah tiada. Aku lihat binaran mata ketulusan, tapi berbentuk jarum abu-abu. Dari mata mereka semua.
***
Malam itu angin sedang kencang, kami menempuh perjalan sehabis pulang dari menginap seminggu lamanya dirumah mbah. Kebiasaan ini aku, ayah, dan ibuku lakukan setiap lebaran. Sepanjang perjalanan, angin begitu kencang. Makin lama makin kencang. Dan lama kelamaan turunlah hujan.
Aku ingat saat itu aku sedang tertidur dipelukan ibu, sementara ayah terus mengemudi mobilnya. Sampai sebuah bunyi tubrukan membuatku tak sadarkan diri. Setelah itu aku tak tau apa lagi yang terjadi. Yang aku tau semenjak itu aku bisa melihat binar mata orang yang aku perhatikan. Bagaimana mata itu, bagaimana binar yang dikeluarkannya, dan bagaimana perasaan aku saat melihat binar mata. Dan yang jelas, aku tak pernah melihat ayah lagi setelah aku bisa melihat binar mata.

***

Kata ibu, Irwan lelaki yang baik. Itu yang selalu ibu bisikan padaku, sambil diselingi isakan dari mulutnya. Aku tak tau apa yang terjadi pada ibu. Karena semenjak Irwan tinggal dirumah kami, ibu makin sering terisak saat berbicara padaku.
Selain sering terisak, gelas, sendok, dan peralatan dapur lainnya. Makin sering kudengar jatuh kelantai seperti dibanting. Irwan bukan pulang disaat diluar sedang ramai, ia pulang saat diluar sedang sepi. Suara jangkrik yang seakan mengantarkannya pulang. Dan bila ia datang, akan kudengar suara pintu yang ditendang. Disusul seseorang yang lari tergopoh-gopoh kearah sumber suara. Belakangan aku tau, kalau orang yang berlari itu adalah ibu.
Tak tau mengapa ibu harus tergopoh-gopoh mendekat kearah pintu yang seperti baru ditendang itu. Yang jelas kutau, kalau ibu tidak tergopoh-gopoh mengarah kepintu. Akan  terdengar suara tamparan yang sumbernya tak jauh dari pintu rumah.
Sejak Irwan tinggal dirumah kami, mata Irwan kulihat semakin tak jelas. Binar matanya mengeluarkan kerak berwarna hitam, setiap dia memandang. Apalagi kalau dia sedang menonton acara-acara yang ditayangkan malam hari. Kerak-kerak hitam itu akan semakin banyak, serta semakin hitam keluar dari matanya. Bila ia melihat ibu, setelah menonton acara di televisi itu.
            “Kau jangan ngomong aneh-aneh nak!” suara ibuku nyaris seperti berbisik, dan pastinya diselingin suara isak tangis. Saat aku mengatakan kembali apa yang aku lihat.
            Kamar Irwan letaknya disebelah kamarku. Itu dulunya adalah kamar tamu, dan walaupun kamar itu sering ditempati Irwan. Kamar itu masih digunakan buat kamar tamu. Karena dari kamar disebelah, aku sering mendengar suara Irwan sedang berbicara dengan seseorang. Yang diajak berbicara oleh Irwan itu sepertinya wanita. Aku pikir mungkin itu temannya Irwan yang sedang menginap dirumah kami.
            Suara perempuan itu selalu tertawa, lalu setelah beberapa lama tertawa. Suaranya berganti jadi suara seperti orang sedang sesak nafas, kadang suaranya berganti jadi suara kuda, kadang malah seperti orang kesakitan.
            “Saat ada tamu datang kerumah, kita harus bersikap baik. Dan berusaha seramah mungkin karena kita adalah tuan rumah.” Kata ayahku dulu.
            Sehingga, walaupun tidur siangku sering tergangu karena suara tertawa, suara sesak nafas, suara seperti kuda, atau suara kesakitan yang dikeluarkan oleh tamu Irwan. Aku tak pernah marah, karena aku harus menjadi tuan rumah yang baik untuk seorang tamu. Sepertinya ibuku juga berpikiran seperti itu, sebab ibuku juga selalu membiarkan tamu Irwan mengeluarkan suara-suaranya tanpa pernah menegur Irwan sekalipun.

***

Aku senang sekali sekarang-sekarang ini. Karena aku tak harus memandangi binar mata Irwan yang mengeluarkan bongkahan keras berwarna hitam. Malah binar mata Irwan yang menakutkan itu, sekarang sudah berganti menjadi binaran-binaran mata yang menyejukan, menghadirkan ketenangan, juga kesabaran. Dari mata anak-anak disini.
Beberapa hari yang lalu, aku mendengar suara gelas yang pecah. Lalu pintu yang ditendang. Setelah itu munculah suara orang bercakap-cakap. Suara tiga orang, suara ibu, suara Irwan, juga suara tamunya Irwan.
“Kamu mau apa?” itu pertanyaan yang berasal dari suara Irwan.
“Aku tak mau lagi menampung lelaki penzina sepertimu dirumahku, aku menyesal telah memilihmu jadi suamiku. Kalau saja anakku bisa melihat, pasti dia akan bersedih tau nasib ibunya seperti ini.” Teriak ibuku lantang menantang.
“Jadi sekarang kamu mau apa? Membunuhku? Dengan pecahan gelas itu kau mau menusukku?”
“Kalau kau mau aku melakukan itu?” suara ibu garang, diselingi suara isak tangis dalam. Setelah itu, yang kudengar hanya suara teriakan Irwan. Suara tangisan ibuku. Dan suara orang sesak nafas yang biasa dikeluarkan oleh tamunya Irwan.


Bandung, 2 Juli 2012













Tidak ada komentar:

Posting Komentar