Jumat, 21 Desember 2012

Cegah Stres & Ekspresikan Diri Lewat Biodanza

Banyaknya tuntutan dan tekanan yang diterima baik dari lingkungan maupun pekerjaan membuat kita terlebih anak-anak sulit mengekspresikan diri dan jadi lebih mudah stres.

Beragam cara dilakukan setiap orang terlebih wanita dalam menghalau stres, mulai dari meditasi, yoga, mendengarkan musik hingga biodanza.

Biodanza atau disebut juga dengan dance of life ini adalah salah satu teknik intervensi terbaru dari ilmu psikologi yang ditemukan oleh Rolando Toro dari Cile pada 1960.

Dalam biodanza ini beberapa orang berkumpul di dalam satu ruangan dan melakukan gerakan tari yang menyenangkan sehingga bisa membuat peserta menjadi lebih rileks. Selain itu dalam biodanza peserta seperti kembali ke masa anak-anak yang sedang bermain-main.

Peserta yang ikut biodanza ini harus melepaskan alas kaki, lalu saling berpegangan tangan dan bergerak bersama maju mundur. Kemudian diikuti gerakan mencari pasangan dan nantinya peserta diminta berganti-ganti pasangan, namun harus tetap mempertahankan kontak mata dengan peserta lainnya.

Gerakan yang dilakukan ini dimulai dengan gerakan ringan yang nantinya meningkat lebih cepat, seperti pada gerakan kuda binal yang menuntut peserta untuk bergerak lebih aktif.

Setelah gerakan cepat peserta dirangsang melalui sentuhan, pada fase ini peserta diminta menutup mata dan mendapatkan sentuhan dari pasangan, tak jarang beberapa peserta merasakan emosi yang kadang membuatnya hampir menangis.

Melalui aktivitas fisik yang menyenangkan membuat peserta lebih merasa rileks dan bahagia. Serta pendekatan ini membuat orang lebih mudah mengekspresikan diri sehingga dapat mencegah stres.

“Indonesia tak terkecuali. Orang tua hingga anak-anak kian mudah mengalami stress bahkan depresi, yang pada gilirannya menyuburkan gejala psikosomatis,” kata Rustika Thamrin SPsi, Direktur Representative “School of Empathy” Indonesia di Jakarta, belum lama ini.

Menurutnya, anak dan remaja tumbuh menjadi pribadi yang individualis, tidak peka, memilih bunuh diri, mogok sekolah, hingga maraknya bullying, tawuran dan bersemainya bibit-bibit korupsi. Mulai nampak gejala generasi yang memiliki banyak pengetahuan, namun miskin dalam kemampuan membangun interaksi sosial, tidak mampu berempati terhadap perasaan dan permasalahan diri sendiri serta orang lain.

Padahal, lanjut Rustika, kesuksesan dan kebahagiaan seseorang terbukti lebih ditentukan oleh kecerdasan emosi, sosial dan spiritual dibandingkan dengan kecerdasan intelektualnya.

Namun nyaris tak ada mata pelajaran di sekolah yang khusus mengasah bentuk-bentuk kecerdasan tersebut.
“Melihat kondisi ini, Indonesia memerlukan program yang menyenangkan sekaligus mengembangkan empat bentuk kecerdasan, yaitu kecerdasan fisik, emosi, sosial dan spiritual. Dalam konteks masyarakat Indonesia, diperlukan teknik intervensi berupa aktivitas kelompok, untuk melengkapi teknik konseling perorangan yang selama ini biasa dilakukan,” ungkap Rustika Thamrin

Kehadiran program “School of Empathy” (SOE) yang diinisiasi oleh YASEHATI Foundation, pada akhirnya bertujuan untuk memperkenalkan teknik intervensi yang dimaksud.

Program SOE berbasis metode yang ditemukan oleh Prof. Dr. Marcus Stueck (University of Leipzig, Jerman), hasil integrasi dari dua teknik intervensi, yaitu Non Violent Communication (Marshall Rosenberg, USA) dan biodanza (Rolando Toro, Chile).

“Metode ini terbukti efektif melalui hasil penelitian sejak tahun 1998 dalam mengintegrasikan dan meningkatkan kecerdasan emosi, sosial, spiritual bahkan meningkatkan kesehatan tubuh,” tutur Tika, panggilan akrab Rustika.

SOE Indonesia sendiri hadir sebagai cabang ke empat di dunia setelah sukses diterapkan di Austria, Latvia, Ukrania.

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar