Senin, 21 Januari 2013

Raga Dan Raja




Raga dipanggil raja. Dipikirannnya sekarang jelas penuh tanda tanya, mengapa raja memanggilnya ke istana? Apa ia punya kesalahan yang dilakukannya tanpa sengaja? Atau malah ada yang memfitnahnya? Entahlah, tak ada jawaban untuk semua pertanyaan-pertanyaan didalam benaknya. Yang ia tau hanya dua orang utusan raja, pagi tadi mendatangi rumahnya, dan memintanya tuk bersiap menuju istana. Karena raja ingin bertemu dengannya.
            Seminggu kemarin ibunya baru saja pergi dari dunia ini, dan hari ini rencananya ia akan melakukan ziarah ke makam ibunya. Tapi rencana itu rupanya tak bisa diwujudkannya saat ini, dikarenakan raja memanggilnya. Dan sebagai seorang rakyat biasa, tak ada satupun alasan untuknya tak memenuhi panggilan raja padanya.
            Maka disinilah ia sekarang, diruang utama dari istana raja. Diruangan yang begitu megah, dengan dinding-dinding yang ditutupi permadani-permadani berharga mahal. Diterangi oleh lampu kristal yang ukurannya sangat besar, serta beberapa gadis cantik yang sedari tadi menyuguhkan minuman padanya. “Apa kau yang bernama Raga?” suara seseorang yang sangat berwibawa, berat, dan tegas terdengar didalam ruangan itu.
            Dari yang tadinya masih duduk, Raga berdiri cepat. “Benar baginda.” Ucapnya sambil membungkukan badan.
            “Silahkan duduk!” raja mempersilahkan Raga duduk kembali, setelah beliau menempati singgasananya. Keheningan menyeruak, setelah mereka berdua sama-sama duduk ditempatnya masing-masing. “Pastinya kau bertanya-tanya apa gerangan yang membuatku memanggilmu kemari, bukan begitu Raga?” raja memulai pembicaraannya. Sedangkan Raga hanya bisa menganggukan kepalanya. “Berita tentangmu telah kudengar mengaung diluar ataupun didalam istana ini.”
            “Maaf… berita tentang apa itu baginda?”
“Tentang  kebaikan hatimu, kesopananmu, keramahanmu, kelakuanmu, atau apapun yang kau miliki. Semua yang langka baik didalam ataupun diluar istana ini.” Raga tertegun, kata-kata dari raja barusan, bukan merupakan pujian yang biasa. Mengingat asal kata-kata itu keluar dari mulut seorang raja. “Maukah kau menjadi anakku Raga? Aku tau ayahmu adalah prajurit kerajaan yang meninggal dimedan tempur, dan baru seminggu kemarin ibumu juga menyusul ayahmu. Apakah kau mau menjadi anakku Raga?”
“Apa alasan baginda mengangkat hamba menjadi anak baginda?” tanyanya cepat dengan suara yang halus dan pelan, tapi tetap tegas.
“Karena sikapmu, itu yang pertama dan utama.” Masih mendengarkan omongan raja, kepala Raga hanya tertunduk melihat lantai. “Dan karena aku tidak memiliki seorang anak lelaki yang bisa mewarisi kekuasaan, serta kerajaan ini.” Sejenak raja menarik nafasnya dalam-dalam. “Kau tau aku butuh penerus, pewaris kerajaan ini. Aku ingin ia adalah seorang lelaki yang punya laku berbudi, serta hati nurani.”
“Tapi hamba harus menjalankan amanat ibunda hamba baginda.”
***
            Dari kunjungannya keistana Raja, Raga makin sering jadi buah bibir setiap orang yang ada dinegeri itu. Tak sedikit orang yang mencibir sikapnya atas penolakan raja, walaupun dukungan yang besar masih selalu mengintarinya.
            Saat ada yang menanyakan mengapa ia menolak permintaan raja padanya. Raga menjawab, “Aku kasihan pada kambing-kambing yang jadi amanat ibuku sebelum ia pergi dari dunia ini.”
            “Bukannya kalau diistana kau juga bisa memelihara mereka?” tanya satu orang pada Raga.
            “Aku sering dengar, daerah istana adalah daerah yang bersih. Mereka pastinya tidak akan sudi aku membawa kambing-kambingku masuk kedalamnya. Lagi pula, kambing-kambing itu lebih senang hidup bebas diluar seperti ini. Bukan dikurung didalam sebuah bangunan yang luas tapi tetap berbatas itu.”
            “Kau akan menjadi putra mahkota, mengapa kau harus juga memikirkan kambing-kambing itu? Dengan kekuasaan serta uang yang ada kau bahkan bisa membeli kambing sebanyak kau mau? Atau memerintahkan orang tuk mengurusi kambing-kambingmu itu.” Sela orang yang lainnya.
            “Ibuku meminta agar aku merawat mereka, merawat kambing-kambingku. Bukan orang lain.”
Itulah Raga, sikapnya dan pemikirannya yang keliatan berbeda jadi santapan nikmat para biang gosip yang ada dinegeri itu. Tak butuh waktu lama, gosip itu untuk sampai keistana hingga akhirnya sampai ketelinga sang raja. “Apa ia bilang begitu? Ia menolak tawaranku untuk menjadikannya putra mahkota hanya karena kambing-kambing peliharaannya?”
Lewat suatu rencana yang sangat terperinci, dan rahasia. Raja mengutus dua orang bawahannya untuk menghabisi para kambing kepemilikan Raga, tanpa sepengetahuan Raga, atau siapapun selain mereka bertiga. Raja tak ingin Raga sampai tau rencana ini, karena beliau masih sangat ingin Raga mau menerima tawarannya untuk menjadikan Raga menjadi anaknya. Raja tak tau siapa lagi orang di negerinya yang pantas untuk menerima kehormatan ini selain Raga.

***

            Berdasar pada titah raja, pesuruh-pesuruhnya mulai menjalankan tugas mereka malam ini. Mereka sengaja masuk kedalam hutan, lewat cara mengendap-ngendap sepanjang perjalan menuju tempat tinggal Raga yang letaknya cukup terpencil.
            Sampai disebuah bangunan, yang reot terbuat dari rajutan bambu beratap jerami. Rumah itu lebih cocok dikatakan gubuk, kalau tak mau dikatakan kandang. “Apa tidak salah ia menolak untuk tinggal di istana dan jadi putra mahkota hanya karena ingin merawat kambing-kambingnya digubuk seperti ini?” suara seorang pesuruh raja seperti tak percaya.
            “Itulah mengapa ia begitu istimewa. Kalau tak penjahat, hanya orang gila saja yang terkenal dinegeri ini.” Sahut rekannya, masih mengendap-ngendap semakin dekat ke gubuk itu, kerumah Raga.
            Mereka masih berjalan sangat tenang, menuju kesebuah bangunan di sebelah rumah yang ukurannya lebih besar dari pada rumah Raga. “Itu pasti kandanganya?”
            “Apa aku tidak salah liat? Rumah kambing jauh lebih besar, daripada rumah pemilik kambing?” kembali pesuruh istana itu terkejut.
            “Entahlah.” Balas rekannya nyaris seperti berbisik.
            Langkah mereka berhenti didepan gubuk itu, perlahan mereka membuka pintu bangunan itu. Dan, “Mbeeeee… mmmmbbbeeee…” kambing-kambing yang ada didalam sana ribut bukan main. Diluar dugaan mereka, ternyata didalam sana ada lebih dari beberapa ekor kambing yang menempatinya. Mungkin puluhan kambing sedang berada didalam sana. Takut ketauan, langkah seribu sengaja diambil dua orang pesuruh raja ini.

***

            “Apa kalian bilang?” raja terlihat marah, mendengar laporan dari dua orang pesuruhnya.
            “Benar baginda, kami tidak salah lihat. Mungkin ada tiga puluh ekor kambing didalam sana.” Ucap salah satu pesuruh ketakutan.
            “Iya benar baginda, kami bingung bagaimana bisa membawa sebegitu banyak kambing dalam semalam. Lagi pula mereka sangat berisik bila didekati.” Sambung pesuruh yang lainnya mendukung temannya.
            “Baiklah kalau begitu akan aku kerahkan lebih banyak orang.”
            Sekarang bukan cuman dua orang yang masuk malam-malam kedalam hutan. Ada puluhan orang yang bergerak kearah rumah Raga pada malam ini. Mereka semua akan menjalankan tugas dari raja, yaitu mengangkut kambing-kambing milik Raga, lalu memunaskannya. Entah dibikin kambing guling atau disate, pokonya kambing-kambing itu harus musnah secepatnya. Begitulah titah raja kepada mereka.
Pagi harinya, sang raja memanggil dua orang patihnya guna menjemput Raga ke rumahnya. “Sekarang kalian berdua panggil Raga kemari!” titahnya kepada dua patihnya. Mereka menundukkan kepala, kemudian membalikan badan untuk pergi keluar dari istana, dalam tugas memanggil Raga.

***

“Baik Raga… saya akan tanyakan tentang tawaranku padamu yang lalu?”
“Maaf sebelumnya baginda. Saya tidak bisa menerima titah baginda?”
Muka Raja dirasanya mulai panas, pipinya terasa lebih panas lagi mendengar perkataan Raga. “Apa alasanmu menolak permintaanku padamu? Belum pernah ada orang menolak permintaanku sekalipun, kau malah menolak permintaanku sampai dua kali?”
“Maaf baginda, tapi sebelum meninggal ibunda memberi amanat kepada saya untuk memelihara dengan baik kambing-kambing miliknya.”
“Apa masih ada kambingmu?” tanya raja yakin.
“Masih baginda, kalau tidak percaya baginda bisa tanyakan kepada kedua patih baginda yang tadi menjemput hamba. Karena tadi saat dua patih baginda menjemput hamba, hamba sedang memberi makan kambing-kambing hamba.” Kepala Raga menunduk, melihat lantai istana.
“Benar yang dikatakannya patih?” kedua patih mengangukan kepalanya sebagai jawaban pertanyaan raja. Sontak raja melihat dua orang pesuruhnya, yang tadi malam ia minta untuk memusnahkan kambing-kambing milik Raga. Mereka menggelengkan kepalanya, melihat raja yang sedang naik pitam kearah mereka. 


Bandung, 2 Juli 2012




























Tidak ada komentar:

Posting Komentar