Selasa, 15 Januari 2013

Menelisik Perang Media Muqawama Versus Zionis dalam Perang Pillar of Defense

Brutalitas Rezim Zionis Israel terbaru ke Jalur Gaza ternyata tidak didukung oleh media massa rezim ilegal ini. Media-media massa Israel di serangan terkini Tel Aviv ke Gaza tidak seperti perang 22 hari tahun 2009 rezim ini ke Gaza. Menjelang perang 22 hari ke Gaza antara 27 Desember 2008- 18 Januari 2009, media massa Israel aktif mempropagandakan motif perang rezim Tel Aviv.
Sejak awal perang 22 hari yang dimulai dengan koordinasi penuh Tel Aviv dan Rezim Hosni Mubarak Mesir, media massa Israel sibuk menabuh genderang perang. Media massa Zionis kala itu juga menurunkan berbagai artikel yang menjustifikasi agresi Israel ke Gaza. Koran seperti Maariv, Yediot Aharonot, Haaretz, Jerusalem Post, Radio Militer, Suara Israel dan Radio Nasional Israel, Kanal 2 dan 10 televisi Israel menjadi pelopor pembantaian massal warga Palestina.
Mesin pencari internet terkait hal ini banyak menyimpan informasi lengkap ulah media massa Zionis menciptakan kejahatan lain di tahun 2008-2009 dan dengan mudah informasi ini didapat. Tak hanya itu, media massa Zionis pasca perang 22 hari Gaza bersedia mengorbankan apa pun dan berusaha keras mencegah dirilisnya laporan Richard Goldstone, ketua Tim Pencari Fakta perang Gaza di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Di sisi lain, kelompok muqawama Palestina di perang 22 hari selain menunjukkan semangat berapi-api di medan tempur juga meraih pengalaman penting di bidang media yang belum pernah mereka raih sebelumnya. Gerakan terorganisir media-media visual Palestina termasuk televisi al-Aqsa, al-Qods dan Ramattan di samping media regional seperti al-Alam, al-Manar, Syria al-Akhbaria dan Press TV aktif meliput perang 22 hari sehingga perang ini pun mendapat gelar perang antarkamera televisi.
Poros aktivitas jaringan televisi ini menfokuskan upaya membongkar kejahatan Rezim Zionis Israel terhadap warga Gaza kepada opini publik dunia. Aktivitas media ini pun berujung pada skandal internasional bagi Israel di hadapan opini publik internasional. Skandal ini juga berhasil mengetuk rasa solidaritas luas internasional terhadap penderitaan bangsa Palestina. Hal ini juga telah memaksa Richard Goldstone mencantumkan Israel sebagai penjahat perang di laporannya.
Pengiriman konvoi kemanusiaan darat dan laut ke Jalur Gaza, aksi mogok dan demonstrasi, seminar dan konferensi anti Israel di seluruh dunia hanya secuil dari pengaruh media massa muqawama ketika perang 22 hari di Gaza atau setelahnya. Peristiwa kecil dan detail dari kejahatan Israel yang dipublikasikan media muqawama pada akhirnya menguntungkan bangsa Palestina.
Kini kita tengah menyaksikan gelombang baru agresi Israel ke Jalur Gaza  dan yang paling mencolok adalah sikap pasif media massa Israel.  Tercatat hanya beberapa media Israel yang aktif meliput serangan terbaru rezim ini ke Gaza seperti Koran Israel al-Youm, Radio Militer Israel dan Kanal 7 televisi rezim ini yang dekat dengan kabinet Benyamin Netanyahu. Adapun media massa Israel lainnya bukan hanya tidak berusaha mempersiapkan opini bagi perang baru, bahkan mereka sejak awal serangan malah mengajak opini publik Zionis untuk siap menggalang gencatan senjata dengan para pejuang Palestina.
Laporan terbaru Koran Maariv, Haaretz, Yediot Aharonot serta sejumlah media lainnya  termasuk Kanal 10 dan 2 televisi Israel dengan baik menunjukkan upaya tersebut bahwa perang bagi Israel bukan solusi untuk lolos dari kehancuran. Laporan yang mengutip statemen rival-rival Netanyahu di pemilu parlemen mendatang menuntut dihentikannya agresi baru dan perang di Gaza.
Manuver media-media Israel ini dapat juga dicermati sebagai imbas dari kondisi internal rezim ini, khususnya dalam satu tahun terakhir. Koran Maariv, Haaretz, Yediot Aharonot, Jerusalem Post serta Kanal 10 dan 2 televisi Israel juga teracam bangkrut ketika rezim ini menghadapi krisis internal dan keretakan masyarakat Zionis akibat krisis ekonomi serta sosial. Bahkan Koran Haaretz, salah satu koran terlaris di Israel akibat kritikannya atas kinerja kabinet Netanyahu di bidang ekonomi dan sosial terpaksa menjual sebagian sahamnya kepada salah satu investor untuk tetap eksis.
Suplemen koran ini juga tidak lagi diterbitkan dan lembaran utama pun dari 18 halaman dikurangi menjadi 12 halaman. Apa yang dialami Koran Maarev dan Yediot Aharonot juga tak lebih baik dari kondisi Haaretz. Kedua koran ini pun terancam bangkrut dan gulung tikar akibat terlilit masalah ekonomi. Kanal 10 dan 2 televisi Israel juga mengalami kondisi yang sama dengan media rezim ilegal ini. Apalagi hal ini disusul dengan disahkannya undang-undang baru yang melarang media mengkritik pemerintah kian membuat kebebasan media semakin sempit.
Kesimpulannya,unsur keempat demokrasi Israel saat agresi Zionis terbaru ke Gaza bukan hanya tidak seperti ketangguhan di perang 22 hari bagi warga Tel Aviv, bahkan dapat dikatakan tengah sakit dengan berbagai alasan. Dalih ini harus ditelusuri di kondisi ekonomi, sosial dan politik Israel saat ini. Kondisi yang sejak satu tahun lalu mendorong 500 ribu warga Zionis turun ke jalan-jalan di 11 kota Palestina pendudukan. Para demonstran dalam aksinya menyuarakan protesnya bahwa alokasi bujet pendidikan, kesejahteraan dan ekonomi bagi petualangan militer dan keamanan akan meruntuhkan Israel.

sumber

1 komentar: