Senin, 21 Januari 2013

Ayah Kami Telah Mati



Aku bersedih, karena duka teramat dalam, telah melukai hati ini. Acara tahlillan ayah membuat ku merasakan sedih ini semakin berat dalam batin, melebihi kesedihan yang ada di hati Ibu tiri, dan saudara-sadaura tiriku yang lainnya. Aku yakin itu, karena ayahku bukan apa-apa untuk mereka semua. Ibu tiri dan saudara-saudara tiriku, hanya membutuhkan uang ayahku. Bukan membutuhkan kehadiran sosok seorang ayah, di dalam keluarga mereka.
Ayah yang kusayangi telah pergi untuk selama-lamanya, ia pergi meninggalkan kami yang mencintainya. Tak akan pernah kembali, karena mustahil itu bisa terjadi. Hanya mukjizat nabi Isa, dan atas izin Allah lah mampu menghidupkan orang yang telah mati, menghidupkan kembali orang yang ruhnya telah terpisah dari jasadnya. Terpisah dari bentuk fana, di tengah-tengah kehidupan yang tak abadi adanya, hingga rentan pada dosa yang kadang justru di sengaja.
Dan ayah tidak akan bisa hidup lagi, itu semua tidak akan pernah bisa terjadi, aku yakin tidak akan pernah bisa terjadi. Semua harapku agar ayah bisa hidup kembali, hanya sebatas khayalan semata, itu bukan sebuah impian. Khayalan tak akan pernah bisa terjadi, sementara impian? Aku tak tahu, karena mimpi-mimpiku telah pergi. Semua impianku raib. Dia pergi, bersama kepergian ayah kami dari dunia ini. Impian-impian indah tak akan pernah ada lagi, impian-impian indah benar-benar pergi dari kehidupan kami, pergi dari hari-hari yang mungkin akan kami lalui tanpa keindahan di dalamnya.
Acara tahlillan di datangi banyak pelayat, dimata mereka. Ayah adalah sosok seseorang yang sangat baik, bijaksana, cerdas, soleh, dan dermawan. Semasa hidupnya, beliau tak pernah sulit untuk mengulurkan bantuan. Sewaktu beliau tau ada warga kampung kami yang sedang ditimpa masalah. Apalagi kalau masalahnya menyangkut materi, masalah yang tetap akan sulit diselesaikan, kalau hanya dengan cara berfikir keras tanpa setetes pun perjuangan. Beliau akan sangat mudah mengulurkan bantuannya, untuk sekedar meringankan beban dari mereka semua yang sedang kesulitan.
Tak terhitung jumlah warga yang sudah pernah dibantu oleh ayah semasa hidupnya, hampir semua warga kampungku pernah mendapatkan bantuan dari beliau. Pikirku, karena itulah mereka sampai mau repot-repot datang ke acara tahlillan ayah. Untuk sekedar melayat ayah, dan dengan mudah berfikir utang mereka semua bisa langsung lunas karenanya. Padahal ibu tiriku pasti akan menagih hutang mereka semua, satu persatu. Paling lambat, wanita itu akan melakukannya besok. Aku berani bertaruh, karena untuk itu lah wanita ini sudi di nikahi oleh ayah. Sudi dinakahi ayah yang umurnya berentan cukup jauh dengannya. Semua, semata-mata hanya karena materi saja yang ia kejar, tak lebih.  
Selain sangat dermawan, ayah juga salah satu orang terpandang di kampungku. Beliau satu-satunya warga kampung yang dapat menikmati indahnya pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Malah sampai bisa meraih gelar Master dari salah satu perguruan tinggi termasyur yang ada di Jakarta sana. Konon katanya, kakayaan keluarga ayah tidak bakalan bisa ludes di makan tujuh keturunan. Luar biasa bukan ayahku?. Cerdas, bijak, dermawan, baik hati, tidak sombong, dan kaya raya. Itulah ayah kami, ayah yang sangat kami cintai.
Bakda Isya, tahlillan dimulai. Setelah sebelumnya warga kampung diberitahu oleh bapak-bapak DKM melalui speaker Mesjid, yang merupakan sumbangan dari ayah. Bahwa salah seorang warga kampung ada yang telah berpulang kepada Yang Maha Pencipta sore tadi. Saat mereka mengetahui warga yang meninggal adalah ayah, mereka semua berbondong-bondong datang ke rumah.
Aku sendiri, tak terlalu menghiraukan kedatangan orang-orang itu. Tubuhku masih ingin terus berada di sisi tubuh ayah, yang kini telah begitu kaku, ditutupi kafan putih pemberian bapak-bapak dari DKM Mesjid. Mereka memberikannya secara cuma-cuma, karena merasa utang budi kepada ayahku.
Setiap ayat, dari Surat Yassin yang mereka bacakan, mengantarkan pilu yang agaknya semakin mengoyak hati ku. Terkoyak seperti kertas yang sudah tak terpakai lagi, karena saking banyaknya tinta yang mengisi lembaran-lembarannya. Tak terpakai, kemudian dibuang begitu saja, hanya tong sampah yang mau menerimanya. Semacam itulah perasaanku saat ini, seperti lembaran kertas bekas yang tak terpakai lagi.
***
Perasaanku berbeda ketika kau mulai mendekatiku, perasaan ini berbeda dengan apa yang pernah kurasakan pada teman-teman lelaki yang sempat jadi pacarku, perasaan yang tak biasa, tapi entah kenapa aku senang dibuatnya. Perasaan yang kurasakan padamu, entah kenapa bisa membuat aku benar-benar kehilangan logikaku. Membuatku mengatakan bengkok, padahal itu lurus. Mengatakan benar, padahal itu salah.
Mungkin kau adalah lelaki itu. Lelaki yang teman-temanku semasa SMP bilang cinta pertama, dan aku yakin kau cinta pertamaku. Cinta pertama dari seorang gadis yang sedang puber, di usianya yang belasan, dan sebentar lagi akan lulus sekolah SMA.
Kau memperhatikanku, memberikan apa yang aku mau dan tak mengharapkan balasanku. Setidaknya dulu aku berfikir demikian. Tapi semuanya berubah, saat kau mulai menawarkan petualangan baru untukku. Sebuah petualangan yang singkat tapi sangat melekat dan hangat ketika ku coba tuk mengingat. Petualangan yang belum pernah ku dapatkan dari pacar-pacarku, semasa cinta monyet dulu.
Saat aku lulus SMA dan membuatku harus pindah ke Jakarta, dengan tujuan melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, kau tak pernah meninggalkan ku. Setiap minggu kau selalu datang ke tempat kostku, dan mengajakku kembali kepada petualangan singkat itu.
Aku sadar, belum lah pantas untuk ku mengalami petualangan yang kau tawarakan padaku. Usiaku masih terlalu muda untuk memulai petualangan semacam itu. Tapi karena sangat menarik kurasa petualangan yang kau tawarkan, aku mengiyakan. Pernah aku coba untuk menolak, tapi setiap aku menolakmu untuk berpetualang bersama, kau selalu mengatakan.
“Karena itu aku memilihmu, karena kau berbeda dengan yang lainnya.” Tak kuasa aku menolak ajakan mu itu, karena aku juga merasakan satu kenikmatan setiap kau mengajakku untuk berpetualang bersama. Kenimatan yang tak sanggup aku menghentikannya, walaupun ku tau akan sakit aku dibuatnya.
***
Awalnya semua terasa indah, namamu Ilham. Benar-benar telah mengilhamiku untuk terus mencintaimu. Mencintaimu dengan segenap hati, dan menerima segala kekurangan dan kelebihanmu, apa adanya, bukan ada apanya?.
Tapi semua berubah ketika aku mengungkapkan fakta menarik padamu. Fakta bahwa aku sekarang sedang menerima hadiah hasil dari petualangan kita. Hasil dari peluh, keringat, dan cairan lengket, benyek, yang mewarnai petualangan kita nan penuh cinta serta nafsu secara bersamaan.
“Itu tidak mungkin?” Ucapmu setengah berteriak ketika aku telah berkata jujur padamu.
“Tapi?” Jawabku ragu.
“Kamu harus menggurkannya!” Sentakmu padaku, membuatku kebingungan karenanya.
“Tidak mau.” Jawabku membalas.
“Kau ingin anak haram ini yang mati? Atau kau yang mati? Pilih saja, sesukamu. Aku akan melakukannya. Aku akan melakukannya dengan senang hati.” Bisikmu pelan, mungkin takut terdengar oleh teman kosanku, atau malah takut karena aku berniat untuk melahirkan bayi hasil petualangan kita ini. Yang pastinya akan merubah semuanya.
Kau tak pernah berteriak padaku, semenjak aku mengenalmu, sampai akhirnya kau mendekati dan mengajakku untuk berpetualang bersama. Tak pernah sekali pun kau berteriak padaku. Jangankan berteriak, meninggikan nada bicaramu saja tak pernah aku mendengarnya. Tapi sekarang kau tega untuk membentak, bahkan sampai mengancamku. Sungguh tak pernah bisa ku bayangkan kau melakukan itu semua.
“Minggu depan, kamu harus udah bisa memilih.” Katamu ketika selesai emosimu, dan kemudian mengajakku sekali lagi untuk kembali berpetualang bersama. Untuk kemudian pergi meninggalkanku yang kebingungan, dan tak tau harus berbuat apa sendirian.
***
Aku bertafakur, karena sulit untukku membayangkan bagaimana sulitnya melalui kehidupan ini, tanpa ada figur seorang ayah disisi. Tanpa ada ayah, kami anak-anaknya akan menjadi yatim. Tak berbapak, dan hanya memiliki seorang ibu. Ibu itu pun bukan ibu kandung kami, apalagi dia menikah dengan ayah hanya karena hartanya saja. Pastilah, dia tidak sudi berbuat baik pada kami. Berbuat baik pada orang yang bukan tak mungkin akan menjadi saingan beratnya dalam perebutan harta warisan ayah nantinya. Memikirkan ini, aku rasa semakin lengkaplah luka hati ini.
Orang makin ramai datang ke rumah, teman-teman bapak di kantor yang selalu menyanjungnya karena kebaikan hati, dan sikap bijaknya semasa hidup kepada sesama rekan kantor. Membuat mereka seakan kehilangan figur yang patut di contoh tingkah maupun lakunya.
Aku sendiri masih terus membisu, tak berdaya dan merasa percuma dengan hidupku. Beberapa rekan ayah, aku lihat mulai duduk didekat ibuku, sepertinya sedang mencoba menguatkan ibu, yang terlihat begitu terpukul karena ditinggalkan ayah. Padahal hanya akting belaka. Aku tahu. Kejadian ini pasti membuatnya senang bukan kepalang, dia pasti berfikir harta warisan ayah akan jatuh kepada dia dan anak-anaknya. Walau pastinya itu tidak akan mudah.
Salah seorang teman ayah, mulai duduk didekatku. Beliau Pak Arman, teman seperjuangan ayah sedari awal masuk kantor, sampai sekarang bisa sama-sama berposisi tinggi di kantor mereka. Pak Arman, hanya berdiam diri disebelahku. Dia seperti hendak bertanya, tapi karena aku belum terlihat siap untuk ditanyai. Dia hanya bisa berdiam diri.
“Apa sebab Pak Ilham meninggal Nia?” Ucap Pak Arman mulai memberanikan dirinya untuk bertanya padaku.
“Kata ibu serangan jantung Pak.” Jawabku sambil repot menyeka air mata di pipi ini.
“Kenapa dia pergi begitu tiba-tiba, padahal aku baru mau menagih pertangung jawabannya kepada anakku.” Desis Pak Arman terlihat menahan amarah, dengan wajahnya yang mulai memerah karena naik darah. Sepertinya dia pikir aku tidak mendengar desisnya itu. Sambil terdiam, aku tahu dengan sangat jelas maksud dari ucapan Pak Arman barusan. Tapi aku hanya diam, pura-pura tidak tau. Sambil terus mengusap perutku.
“Anaku, ayah kita sekarang sudah mati. Sabar ya anakku.”

Bandung, 30 Maret 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar