Senin, 21 Januari 2013

Sejumput Kenangan Tentang Masa Lalu




Waktu melaju bak putaran roda nan mengelinding dijalan curam, tak terhenti, tak tertunda. Itulah yang kurasakan saat ini. Waktu itu melaju, sebagian hasil dari waktu itu kuharap hanya mimpi, dan sebagian lainnya kuingin tak pernah berhenti tuk terjadi. Entah bagaimana harusnya aku memaknai tentang waktu, mendefinisikan siratan putaran yang tak berhenti ini.   
            Ingin rasanya kuulang semua waktu yang pernah membuatku terlena, dan akhirnya terjerembab dalam lumuran tanya akan makna dosa. Tapi andai bisa kulakukan itu, apakah mungkin aku berjumpa denganmu? Apakah mungkin kau menjadi suamiku? Dan jadi teman sejati kala menjalani hari-hari dihidup ini?
            Enam tahun lamanya kau menemaniku, mengembirakanku dengan semua tingkahmu. Bahkan akupun bisa tersenyum walau hanya melihatmu ada disampingku. Kau yang menyelamatkanku, dari usahaku menamatkan waktu hidupku.
Disaat ku tengah ditimpa radang kegalauan yang teramat akut, kau hadir disana bak terang mentari pagi penganti kelam malam tanpa rembulan. Sungguh aku bersyukur karena itu, dan aku akan selalu berterimakasih padamu. Pada cinta tulusmu, kehadiranmu, serta senyum sepet yang selalu kau berikan sewaktu melihatku merajuk. Sederhana, tapi begitu indah kurasa.

***

            Saat muda, ketika pikiranku belum terbuka. Sehingga mudah dirasuki setan yang menjalar, dan berbisik ditelinga hingga akhirnya Parman. Ya itu namanya, lelaki itu bernama Parman. Menggodaku hingga aku bisa dibuat serasa dibuai satu pengalaman yang menyakitkan tapi begitu indah. Pengalaman yang belum pernah kurasa, pergumulan dengan keringat, dan diakhiri senyum bahagia.
            Aku rasakan ia benar mencintaiku, benar tulus menyayangiku. Sehingga setiap ia mengajaku untuk menjalani pengalaman yang sama, aku tak kuasa menolaknya. Bukan menolak, aku malah makin tertarik untuk melakukannya lagi… dan lagi…
            Itu masih kurasa, masih bisa aku alami. Sampai disuatu hari aku mengatakan bahwa aku sedang mengandung anaknya, mengandung hasil perjalan kami, sedang menuai hasil pergumulan kami yang menyakitkan tapi begitu indah itu.
            “Aku akan bertanggung jawab, aku akan menikahimu.” Masih kuingat semua kata-kata yang dikeluarkannya untuk menenangkanku.
            Ketenanganku itu masih ada. Sampai sebulan lamanya ia tak pernah hadir lagi dihari-hariku, tak pernah singgah lagi kerumahku. Atau sekedar menghubungiku lewat handphone. Barulah aku tersadar kalau ia hanya berdusta, hanya ingin mengambil kesucian yang harusnya aku jaga sampai tiba hari yang sah aku tuk melakukannya.
Tak pernah habis usahaku untuk mencarinya, tak hilang semangatku meminta pertanggung jawabannya atas hasil yang telah kami. Tapi hasilnya selalu sama, nihil. Keluarga, teman-temannya, tak tau juga keadaannya. Aku tak tau mereka berdusta, atau berbicara kebenaran adanya. Entahlah.
            Karena yang kutau ia bagaikan menghilang dalam waktu, terselimut bayang hitam dari lontaran sinar bulan yang menyentuh dedaunan. Tak kutemui jejaknya, walaupun aku terus berusaha mencarinya. Disaat seperti ini, aku merasa sendiri. Aku merasakan seorang diri berada dalam putaran waktu yang tak mau menunggu. Seakan waktu sungkan memihakku walau sebentar. Ia tak sudi memberiku waktu tuk bernafas barang sejenak. Karena semakin waktu melaju, semakin besar pula perutku karenannya.
            “Pergi saja kau dari rumah ini? Anak harammu telah membuat keluarga kami malu.” Sentak ayah disuatu hari, selepas seorang tamu menanyakan padanya tentang perihal mengapa ia tak diundang dalam acara pernikahanku.
            “Pergi kau sekarang, tak ada tempat dirumah kami untuk orang hina seperti dirimu.” Kakaku satu-satunya, dan orang yang selalu melindungiku sewaktu kecil juga tak mau memihakku. Apakah seperti ini rasanya, dihinakan seorang pria?
            Dengan hati hancur, ku makin merasakan seorang diri menghadapi didunia ini. Terpaksa aku meninggalkan rumah. Ibu memeluku erat, seakan tak ada kali kedua baginya bertemu denganku. “Kau tidak harus pergi Nak.” Suara Ibu diselingi isak tangisnya. Sedangkan Ayah, juga kakak lelakiku satu-satunya masih tetap memasang muka acuh mereka, guna mengantarkan kepergianku.      
“Mawar cuman bisa bikin Ibu, Ayah, sama Kakak malu kalau tetep tinggal disini.” Kataku berdusta. Karena sebenarnya, tak ingin aku pergi jauh dari wanita yang masih memelukku itu. Sudah terlampau banyak corengan yang kubuat dimukanya, tapi tak pernah sanggup satupun aku hapuskan darinya. Apa aku tak punya kesempatan tuk menghampus semua coreng itu dengan usahaku, apa tak ada kesempatan itu?
            “Mawar…” lepas sudah pertahanan terkahir dalam dirinya. Wanita ini menangis tersedu, pelukannya kurasakan makin erat. Pundaku yang tadi kering, kini kurasakan mulai membasah. Basah oleh airmatanya.
            “Ibu yang sabar ya.” Hanya kalimat itu yang kuucapkan saat perpisahan kami menjelma jadi nyata.
            Masih kulihat tangis Ibu, diselingin lambaian tangan pengantar kepergian ku dari rumah megah kepunyaan ayah. Sedangkan ayah, dan kakaku tetap tak menunjukan mimik wajah yang lebih ramah. Jujur aku kecewa pada mereka. Walau begitu didalam hatiku, aku tetap tak ingin membenci mereka berdua, semua ini memang kesalahanku. Semua ini memang akibat nafsuku, yang tak tertahan oleh semua benteng yang pernah ditanamkan orang tuaku, darimulai aku masih kanak-kanak hingga ku dewasa. Benteng itu roboh, karena rayuan pria, karena bisikan yang tajam dari pihak ketiga.

***

            Waktu itu, setelah lepas meninggalkan rumah. Aku tak tentu arah, pikiranku sunyi, dengan hati yang merasa sendiri. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana hari-hari sisa bisa aku jalani. Sebelum aku pergi hari ini, tadi malam ibu memang membekaliku dengan semua uang cash yang dipunyainya. Karena tabunganku telah dibekukan bank, atas perintah ayah pastinya.
            Tiba disebuah jembatan tua, tadinya aku hanya memandang kearah bawah. Melihat deras air sungai yang mengalir bebas tanpa hambatan dibawahnya. Tanpa bisa kukendalikan, munculah perasaan lemah, pasrah, dan jelas tekat yang sirna didalam pikiranku. Biarpun hanya sekelebat pikiran hampa awalnya, tapi makin lama aku melihat deras air sungai itu, aku makin yakin dengan niatanku. Aku ingin mati, daripada hidup terus seperti ini.
            “Eh kamu mau ngapain?” suaramu mengagetkanku. Membuatku gamang dalam mengambil keputusan, hanya bisa berdiri ditepian jembatan. Tanganmu menarikku ketepian, untuk menghindarkanku melakukan bisikan setan yang sebelumnya menggelora dalam batinku yang hampa.
            “Kamu siapa.” Kujauhkan tanganmu yang menarik tanganku, dengan seluruh amukan yang terendap dalam hatiku. Semenjak aku ditinggal dalam keadaan bernoda oleh Parman, pria yang kucinta. Dan bagaimana aku dikecewakan, dan merasakan dibuang oleh Ayah dan kakaku. Aku menganggap semua lelaki adalah bajingan, dan bajingan hanya akan melakukan perbuatan yang bajingan lainnya lakukan.
            Matamu menatapku iba, jauh didasar hatiku trenyuhku dibuatnya. “Jangan pernah mendahului Tuhan. Masalah kematian, bukan kita yang menentukan!” Ucapmu halus, walau kutau tanganmu kesakitan karena sempat tergores kukuku yang lumayan panjang.
            “Apa pedulimu? Apa kau mau jadi sok pahlawan?” sergahku marah. “Kau tak tau apa yang sedang ku alami? Apa yang sekarang aku rasakan? Jadi mengapa kau harus sok tau didepanku?”
            “Aku memang tak tau apa yang baru kau alami? Apa yang pernah terjadi padamu. Tapi ketahuilah, semua persoalan pasti ada penyelesaian. Tak bisa kau berfikir pendek dengan cara mengakhiri hidup.” Aku terdiam mendengar semua perkataanmu. Jelas itu yang sebenarnya aku harapkan, bisa dikatakan oleh Ayah, dan kakaku. Oleh orang yang selama ini aku hormati, dan kuharap bisa selalu melindungiku.

***
           
Seperti kataku, waktu melaju tak terhenti. Dan begitulah yang kualami. Kau selalu memperhatikanku. Selalu mengatakan hal yang menenangkanku. Kau merawatku, mencarikan tempat tinggal untuku. Dan yang sebenarnya tak pernah kuduga kau memintaku untuk menjadi istrimu, setelah anakku lahir. “Mengandung adalah anugrah yang diberikanNya, kau tak boleh menutupi anugrah itu! Kau mengerti? Aku ingin menikahimu, tapi bukan untuk membantumu menutupi segala hal haram yang pernah kau lakukan. Tapi karena aku memang benar mencintaimu Mawar.”
            “Mengapa tak sekarang saja kau nikahi aku untuk menutup anak haram yang aku kandung ini?”
            Kepalamu menggeleng, helaan nafasmu seakan tanda kalau kau tak setuju dengan perkataanku. “Kelakuanmu, dan kekasihmulah yang haram. Bukan anak ini.” Ucapmu menunjuk perutku yang sekarang buncit, tanpa menyentuhnya sedikitpun. “Setiap anak lahir dalam keadaan suci, tak ada setitik keharaman atau dosapun yang menempel didalam dirinya.”
            Tadinya kupikir kau mengatakan itu semua, hanya untuk mencegahku agar tak melakukan kenekatan seperti kali pertama kita bertemu. Atau kalau mau aku berfikir negatif, bisa saja kau mengatakan itu agar emosiku terpengaruh lagi sehingga kau bisa menjajakiku seperti yang pernah dilakukan Parman padaku.
            Tapi semua itu rupanya hanya salah kiraku tentang dirimu. Kalau boleh aku jujur, sepertinya aku benar-benar belum mengenalmu. Walaupun cukup lama waktu kita sering bersama. Kau tak pernah berbicara lama denganku, bahkan walaupun kau sudah memintaku tuk menjadi istrimu. Kau tetap tak pernah berbuat tak sopan padaku. Sungguh benarkah tulus cintamu itu, Imam?
Saat anakku berumur tujuh bulan, kau benar-benar menikahiku. Kau juga yang menyatukan kembali semua kerengangan yang terjadi antara aku dan keluargaku. Imam kekasihku, andai kau tau aku tak mengerti bagaimana aku harus menunjukan pengabdianku padamu, pengabdianku agar bisa ku membalas semua kasih tulus yang kau berikan padaku.  

***

            “Tok… tok…” suara ketukan membuatku menjalani waktu yang melaju itu kembali, tersadar dari kenangan lama yang perih sisakan luka. “Ma… mama… sahur ma…” lanjut suara dari balik pintu berteriak dengan gaya anak-anaknya.
            “Hoah…” kau tersadar kekasihku, matamu terbuka perlahan. Dan dengan gerakan cepat kau terduduk. “Mama kenapa? Kok nangis?” cemasmu membuatku malu jadinya.
            “Siapa yang nangis?” sahutku lewat gelengan kepala. “Orang kelilipan doang kok pa.”
            “Tok… tok… tok… ma… bangun ma… udah bangun belum?” kembali terdengar suara teriakan anak-anak dari balik pintu.
            “Masuk nak.” Ucapmu halus.
Membuat seorang bocah berusia enam tahun, mulai membuka pintu kamar kita. Ia masuk dengan gaya riangnya. Setelah masuk, ia langsung mengambil posisi duduk diantara kita berdua. “Kok lama sih ngejawabnya pa?” cetusnya merajuk.
            “Ehm… kalo papa sih baru bangun Parman. Nggak tau mama kenapa lagi? Kayaknya sih mama nggak kuat ngebayangin muka papa yang unyu-unyu ini kali ya?”
            “Dasar kepedean.” Ucapku malu, karena kau menggodaku oh kekasihku.
            “Mama kenapa nangis?” tanya Parman anakku.
            Aku kembali menggeleng, sembari menghapus sisa-sisa tangis yang keluar karena bayangan masa lalu yang sempat menghampiriku tadi. “Udah sini. Anak papa, sama mamanya biar papa peluk dah agh…” kau memeluk kami. Kau memeluk aku, istrimu, dan memeluk Parman yang walaupun bukan anak kandungmu. Tapi lebih kau sayangi, lebih dari sayangnya kau pada dirimu sendiri. Terimakasih Imam kekasihku.

Bandung, 2 Juli 2012





Tidak ada komentar:

Posting Komentar