Senin, 21 Januari 2013

Oknum Pikiran



           
Kilatan petir saling betautan dilangit sore hari ini, saling menyilang, terus memancarkan cahaya. Membuat banyak bercak putih diatas langit yang kelam, yang sekarang ditutupi awan. Tetes-tetes hujan yang lambat laun mulai jatuh kebumi, rinai air yang turun seakan pertanda bahwa hujan akan lamban berlalu. Aku masih berteduh dipos satpam bank tempat ku mengais rejeki sebagai tukang parkir. Kalau sedang tak ada kendaraan yang akan diparkirkan, aku akan berdiam diri dipos ini. Hari ini nasabah yang menggunakan kendaraan menuju bank memang lebih sedikit dari hari biasanya. Sehingga aku lebih banyak menunggu disini. Apalagi diluar sedang hujan, tambahlah alasanku berada diruang ukuran 2x3 meter ini jadinya.
             “Man… Man…” bisik Wawan satpam bank, sambil menyenggol tanganku. “Parkir tuh!” lanjutnya menunjuk kearah sebuah mobil Mercedes yang masih menunggu tuk ku parkirkan.
Segera aku menuju kearah mobil tersebut, tak kuperdulikan rinai hujan yang masih turun. Tanpa jas hujan, aku mendekati mobil itu. Setalah tepat berada didepan mobil itu, ku mulai menggerakan tangan kanan, juga tangan kiriku, sebagai tanda agar memudahkan pengemudi yang ada didalam tuk memarkirkan mobilnya. Ku ikuti semua pergerakannya, agar jangan sampai bodi mobil mewah itu lecet karena tergores sesuatu.
            “Terus… terus… kiri dikit… kiri dikit… tambah dikit… ooopppp…”  
Setelah terparkir, perlahan-lahan pintu mobil mewah itu terbuka. Sang pengemudi yang keluar dari dalam, menggunakan tangan kanannya tuk menutupi kepala dari rintikan hujan, sedangkan tangan kirinya nampak megangkat sebuah koper berwarna hitam. Pintu itu ditutup, ia mulai berlari-lari kecil, beringsut masuk kedalam bank.
            Sementara orang itu berada didalam. Aku kembali kedalam pos satpam tuk berteduh, sambil menanti kendaraan lain yang akan diparkirkan selanjutnya. Disela menunggu inilah kulihat pintu bank terbuka, seseorang keluar dari sana. Ia adalah sang pengemudi mobil mewah tadi. Ternyata ia tak lama berada didalam.
Pengemudi itu masih sangat muda, badannya juga tegap, dengan setelan jas hitam menutupi tubuhnya. Ku yakin dia adalah pemilik dari mobil Mercedes itu, bukan supir atau suruhan atasan yang biasa kujumpai sedang mengendarai mobil-mobil mewah lain yang diparkirkan dihalaman bank ini.
            Setelah ia masuk kedalam mobil mewahnya, aku mendekati mobil itu tuk melanjutkan jasa pemarkiranku. Tapi bukannya bergerak, tuk kemudian mengikuti aba-aba yang kukeluarkan seperti sebelumnya. Pintu mobil itu malah kembali terbuka, pria tadi mengerluarkan sedikit kepalanya. Lalu melambaikan tangannya, sebagai isyarat agar aku mendekatinya.
            Beberapa pengemudi memang sering memberi uang tip sebelum mobilnya aku parkirkan. Jadi tak ada kecurigaan, atau pikiran macam-macam sewaktu ia memberi isyarat aku tuk mendekatinya. “Iya Pak.” Sahutku ramah.
            “Bapak butuh kerja?” katanya pelan, rintik hujan yang bergemericik diatas genting mengaburkan pendengaranku.
            “Apa pak?” tanyaku sekali lagi.
            “Bapak butuh kerja.” Ulangnya dengan pertanyaan yang sama. “Saya punya pekerjaan buat bapak, saya yakin upahnya jauh lebih besar daripada upah bapak jadi tukang parkir.” Tambahnya bernada halus.
            Tubuhku menggigil karena air hujan yang merembes disela-sela pakaianku, tapi didalam pikiranku ada rasa hangat yang mengalir deras, tak terbendung. “Emang kerja apaan ya pak?” aku mulai antusias.
            “Kalau bapak setuju, besok saya akan datang kemari untuk bicara dengan bapak.”
            “Oh baik… baik…” aku menggangkukan kepala mengiyakan.
Pengemudi itu meronggoh sakunya, diambilnya selembaran uang yang tak asing kulihat, walaupun jarang lebaran itu ada didompetku. “Ini untuk bapak.”
“Nggak ada uang pas pak?” merasa tak ada kembalian, karena lembaran mata uang yang diberikannya terlalu besar. Aku mengucapkan apa yang aku pikirkan.
“Itu buat bapak, ambil aja.”
Masih kupandangi lembaran uang berwarna merah muda yang ada ditanganku, “Seratus ribu pak.” Seruku, nyaris berbisik.
“Iya itu buat bapak, ambil aja.”
“Makasih banyak pak, makasih banyak.” Tangan pengemudi itu kuraih, kuciumi serampangan. Merasa orang itu sudah sangat baik padaku, sampai mau memberiku seratus ribu rupiah sebagai tip memarkirkan kendaraannya.

***

            Dipagi ini aku melaksanakan kerjaan harianku dengan setengah hati. Pekerjaan, entah apa itu. Yang kemarin ditawarkan seseorang pengemudi mobil Mercedes padaku, telah lebih dulu meraup hasrat kerjaku buat memarkirkan kendaraan para nasabah bank.             
            Dan betapa cepat kurasa detak jantungku, saat kumelihat sebuah mobil Mercedes yang kemarin datang. Mulai masuk kedalam halaman bank. Cepat kuambil langkah untuk memarkirkan mobil itu. Pengemudi yang kemarin sudah begitu baik memberiku uang seratus ribu, hanya karena jasa memarkirkan mobilnya, kulihat keluar dari dalam sana. Tapi sekarang dia tak masuk kedalam bank, ia mendekatiku yang masih berada dibelakang mobil itu.
            “Masih tertarik sama tawaran saya kemarin pak?”
            “Masih pak.”
Kami memilih pos satpam sebagai tempat pembicaraan. Wawan sang pemilik ruangan, sekarang ini masih setia berdiri didepan pintu bank. Untuk memberikan senyum selamat jalan kepada para nasabah yang baru beres bertransaksi didalam sana. “Kalo boleh tau, pekerjaan apa itu ya pak?” tembakku penasaran.
“Eh iya. Sebelumnya saya perkenalkan, nama saya Karmin.” Sambil mengulurkan tangannya kearahku.
“Karman Pak.” Tangan kami berjabatan, sebagai bentuk simbolis dari sebuah perkenalan.
“Hahahaha…” tawanya pecah, entah karena apa. “Nama kita hampir sama ya pak.” Serunya diselingi tawa dari mulutnya. Aku mengganguk cepat, juga ikut-ikutan ketawa. “Jadi gini pak, saya punya pekerjaan buat bapak.” Setalah tawanya selesai, ia menatapku lekat. Aku tak berbicara, hanya memperhatikan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Pasti pekerjaan itu bisa bikin bapak cepet kaya.”
“Memangnya pekerjaan apa itu ya pak?”
“Jadi perampok bank pak, gimana?” aku terhenyak, nyaris tak percaya dengan semua yang barusan dikatakan Karmin padaku.
Pekerjaan yang baru disebutnya, tak pernah berani aku rencanakan, walaupun sering terlintas didalam pikiran. “Ah bapak ini becanda ya? Saya mana berani buat ngelakuin pekerjaan seperti itu pak.” Balasku diselingi nada guyon disana-sini.
“Tapi saya serius pak.” Tak ada raut senyum dibibir Karmin, “Bapak mau cepet kayak nggak? Kalau mau bapak harus ikut sama saya!” lanjutnya seperti memerintah.
“Saya nggak berani pak, takut masuk penjara.” Sergahku polos.
Sesungging senyum, kembali dihadirkannya dalam pembicaraan kami. “Kamu tinggal pakai masker aja Man! Atau kalau masih kurang, kamu bisa pakai topeng, atau malah penutup kepala. Gimana? Saat ini saya lagi butuh orang dalam, buat ngelakuin rencana saya ini.” Bisik Karmin, lalu menyodorkan bungkus rokoknya kearahku. Aku menolaknya dengan halus, sebatang rokok ia keluarkan, dan kemudian dinyalakannya. “Kamu orang dalam yang saya pilih. Gimana?”
“Tapi itu pekerjaan haram.”
“Apanya yang haram?” tanya Karmin cepat, sesekali menyembulkan asap rokok yang membuat ruangan itu nampak seperti diatas awan.
“Kerjaan itu.”
“Perampok uang negara juga ngelakuin hal yang haram, tapi mereka juga pada santai-santai aja.”
“Kamu bisa dihukum, kalo kamu masih mau ngelakuin itu.” Bisikku mulai mengeluarkan nada mengancam, rasa hormatku pada orang yang ada didepanku saat ini. Sudah luntur sedari ia memberitau tentang pekerjaan yang harus kukerjakan, jadi tak perlu kugunakan kata-kata halus tuk berbicara dengannya.
Karmin mendadak tertawa lagi, mungkin ancamanku terdengar lucu ditelinganya. Ku liat tak ada bias ketakutan dalam mukannya sesudah mendegar ancamanku barusan. “Hukumankan kalo kamu ketanggkep. Kalau kamu nggak ketangkep, kamu nggak bakalan dihukum Man.”
“Tapi kerjaan itu tetep jalan yang salah Min.” Tambahku nyaris hilang semua sabarku. Ingin rasanya kepalan tanganku ini bersarang dimuka orang yang sekarang ada didepanku ini, atau mungkin sekedar menyumpal mulutnya dari semua bualan yang sedari tadi terus dikeluarkannya.
“Salah, dan benar itu masalah ada yang tau atau nggak. Kalau nggak ada yang tau, ya nggak ada itu yang namanya salah atau benar.” Sahutnya, sembari mengeluarkan asap rokok dari mulutnya. Aku tak menjawab penyataannya barusan, aku lebih memilih meninggalkannya dari pada harus terpancing amarah yang hanya akan menghasilkan keributan. “Mau kemana kamu?”
“Markir.” Sahutku tanpa menoleh.

***

Beberapa mobil, juga motor nasabah bank sudah kuparkirkan. Tak terasa hari sudah masuk sore. Gundukan awan gelap mulai terbentuk diatas langit, disertai angin kencang yang menjalar menebus tubuh-tubuh mulai kurasakan. Tanda hari mau hujan. Dan benar saja, perlahan rintik-rintik air yang jatuh dari awan mulai terdengar diatas atap, memaksaku untuk berteduh kedalam pos satpam.
Sampai dipos satpam, tak kutemui Wawan, entah kemana ia? Tapi yang jelas sosok Karmin masih ada disana. Aku sendiri nyaris tak ingat sudah berapa lama aku meninggalkannya didalam pos satpam sendirian.
Mataku melihat kesekitar pos satpam, dan seakan bisa membaca pikiranku. Karmin mulai bersuara, “Tenang saja. Aku tak main dengan barang-barang remeh temeh seperti yang ada didalam sini.”
“Sekarang kau menunggu apa lagi? Aku sudah bilang tak akan menerima pekerjaan yang kau tawarkan.” Kataku duduk didepannya.
“Aku tau, kau sebenarnya tertarik dengan tawaranku.” Tatap matanya coba menyelidikiku.
Mataku menatap kearahnya, “Jangan asal kau kalau bicara.”
“Aku tak pernah asal jika bicara. Apa kau pikir aku tak tau apa ada didalam pikiranmu?” senyum meremehkan, terselip dibibir Karmin. Membuat perasaanku jadi tak tenang dibuatnya, “Aku tau apa yang kau pikirkan, karena itulah senjata utamaku dalam pekerjaan ini. Aku harus bisa mengendalikan pikiran targetku, untuk tau apa yang nantinya akan dia lakukan.”  
“Pendusta kau.” Suaraku berteriak, kepalan tanganku mulai siap tuk menumbuk mukanya bila diperlukan.
Tawa Karmin kembali keluar, hujan rintik-rintik yang jatuh diatas genting, angin yang masuk dari pintu pos satpam yang terbuka. Makin membuat semua perasaan tak nyaman menyelimuti tubuhku saat ini. “Tadi kau bilang pekerjaanku haram, pekerjaan ku salah, dan aku akan dihukum karena aku melakukan pekerjaanku itu. Dan sekarang kau bilang aku pendusta. Apa kau pikir kau ini tak terlalu naif Man?”
Omongannya barusan benar-benar merobek semua batas-batas kesabaranku, dengan suara tinggi aku berteriak kembali kearahnya. “Kau pergi dari sini, atau aku akan panggil keamanan?”
“Coba saja kau lakukan, itu pun kalau memang ada yang mendengarmu.”

***

Rasa pening masih kurasakan, badanku, tangan, kakiku, semua kurasakan sakit saat kugerakan. Perlahan kubuka mataku yang berat tuk terangkat, dan silau menyergapku. Dengan pandangan yang kabur, aku tau kalau aku sedang didalam ruangan yang serba putih, ruangan ini hanya diterangi sebuah lampu neon tepat ditengah-tengahnya. Dua orang wanita berdiri disebelah kanan juga kiriku. Sedangkan aku masih berada pada posisi tertidur diatas kasur yang jauh dari kata nyaman.
“Saya dimana?” tanyaku kepada siapapun yang mendengarnya.
Dua wanita itu melihatku, salah seorang diantara mereka berlari kearah luar. Sementara yang satunya mendekatiku, “Bapak udah sadar?” suaranya tenang.
Tak lama, munculah wanita yang tadi berlari keluar. Serta beberapa orang pria yang mengenakan seragam. Satu orang diantara mereka memakai seragam berwarna putih, persis seperti yang dikenakan oleh kedua orang wanita yang ada disebelahku tadi. Pria yang lainnya juga berseragam, tapi dengan pakaian berwarna agak gelap, dilengkapi dengan topi dan juga emblem-emblem berwarna emas dipundaknya.
“Gimana dok?” suara seorang pria yang lebih gagah dari yang lainnya bersuara.
Baru kusadar, saat ini aku sedang berada dirumah sakit. Makin kufokuskan lagi pandanganku, dan bayang-bayang pria memakai pakaian berwarna gelap itu ternyata adalah polisi. “Ada apa ini pak?” tanyaku panik. Tubuhku mulai kuangkat kebelakang, untuk bisa duduk. Mata para polisi yang ada didekat dokter menjadi awas, sigap memperhatikan setiap gerakan yang kulakukan. Sementara para perawat wanita tadi, membantuku untuk melakukan niatanku tuk bisa duduk.
Mataku yang sudah bisa fokus, mulai melihat kesekeliling ruangan itu. Sebuah cermin yang berada tepat disebelah tempat tidurku memantulkan bayang diriku. Tapi alangkah terkejutnya aku saat melihat sosok bayangan yang terpampang dari dalam cermin yang ada diatas meja sebelah tempat tidurku. “Karmin.” Ucapku saat melihat bayang hasil pantulan cermin yang sekarang sedang kupandangi.   


Bandung, 2 Juni 2012 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar