Mata
Ragil yang tadi masih rapat tertutup, terlelap dalam dekapan ketidak sadaran
yang tak disengaja olehnya, perlahan-lahan mulai terbuka kini. Dua mata kecil
itu langsung memicing ketika baru saja terbuka, merasa silau karena cahaya
lampu yang terlampau terang menyorot masuk secara tiba-tiba kearah matanya.
Entah sudah berapa lama ia tak sadarkan diri, yang jelas setelah mata kecilnya terbuka
sepenuhnya. Ia tak tau berada dimanakah ia sekarang ini?
Dari posisi tertidur, ia paksakan tubuhnya
untuk duduk ditempat tidur. Terasa sidikit nyeri pergelangan tangannya sewaktu
dipaksanya untuk bergerak. Dan dengan sekuat tenaga duduklah akhirnya ia diatas
tempat tidurnya. Ragil seperti sedang melamun. Setelah duduk ditempat tidur,
tak ada lagi gerakan yang ia lakukan. Hanya matanya saja menyelidik kesekitar
tempat ia tengah berada sekarang. Ruangan serba putih tempatnya berada sekarang
ini, terasa asing baginya. Tapi rasa penasaran anak-anaknya seakan memaksa tubuhnya
kembali untuk bergerak. “Aduh…” keluhnya saat mencoba bergerak dari posisi
duduknya, mencoba tuk meninggalkan tempat tidur. Rasa pusing langsung datang
menggodam kepala kecilnya. Memaksanya kembali ke posisi semula, posisi duduk
diatas tempat tidur.
Duduk diatas tempat tidur, ia
menginggat kembali kejadian sebelum ia berada di tempat asing ini. Terakhir
kejadian yang ia ingat adalah saat ia, dan juga ayah ibunya melalui jalur
pantura untuk mudik kerumah mbahnya. Setelah itu, tak ada lagi kejadian yang
diingatnya. Hingga bisa jadi alasan membuatnya berada ditempat ini.
“Oh kamu udah bangun ya?” suara
seorang perempuan, bernada lembut membuatnya menegadahkan kepala kearah sumber
suara. Dilihatnya ada seorang perempuan dengan pakaian serba putih berjalan
mendekatinya. Pakaian perempuan di depannya, pernah ia lihat di televisi.
“Mbak siapa?” tanyanya pelan.
Seulas senyum tergaris dibibir
perempuan itu. Tanpa ada suara, tangan perempuan itu lansung membelai pelan
kepala Ragil. Seakan jadi kata pengatar untuk kata-kata yang selanjutnya akan
dikeluarkan oleh perempuan tersebut. “Mbak perawat di rumah sakit ini de.”
“Rumah sakit?” spontan Ragil
bertanya lantang. Ia tak tau alasan apa yang membuatnya tiba-tiba berada
dirumah sakit.
Perawat tadi mengganggukan kepalanya
guna menjawab pertanyaan anak kecil yang sekarang berada disebelahnya. Ruangan
serba putih itu sekarang mulai menghadirkan kecemasan dalam hati Ragil,
pikirannya berseliweran seakan memberikan segala gambaran negatif tentang kondisi
kedua orang tuanya. “Ayah sama Ibu saya kemana Mbak?”
Dari senyuman, sekarang kening
perawat itu mulai berkerut-kerut. Nampak kebingungan dengan apa yang akan ia
katakana. Dengan apa yang akan ia sampaikan kepada anak kecil yang duduk
disebelahnya sekarang. Tangannya makin lembut mengusap-usap kepala Ragil. Tapi
sepertinya ini tidak berhasil meredam rasa penasaran Ragil, “Kemana ayah sama Ibu
saya Mbak?” suara tangisan Ragil menggema, terlihat ada ketakutan, kecemasan
dalam benaknya. Pikiran negatif yang tadi hanya terlintas dibenaknya, seakan
berubah nyata menjadi monster menakutkan yang tak pernah ia bayangkan
sebelumnya.
***
Mudik
adalah moment special yang tak mungkin dilewatkan Pak Sutrisno disetiap
Lebaran. Rasanya tanpa mudik, kurang lengkap hari raya lebaran baginya. Dan
lebaran tahun ini, ada yang berbeda bagi keluarga Pak Sutrisno. Setelah di
tahun-tahun sebelumnya, ia dan keluarga mudik menggunakan jasa bis Antar Kota
Antar Provinsi. Mudik kali ini, akan ditempuhnya dengan menggunakan sepeda
motor.
“Apa nggak apa-apa pak naik motor mudiknya?
Bahayakan?” istri Pak Sutrisno, Bu Aminah merasa kurang yakin dengan niatan
suaminya. Beliau bertanya, sewatku suaminya menyampaikan ide untuk naik motor
pulang kekampung halaman mereka di mudik tahun ini.
“Santai saja Bu, asal kita mengikuti
peraturan lalu lintas. Menggunakan helm, tidak mengendara saat mengantuk,
selalu hati-hati didalam perjalanan. Kita bisa selamat sampai ditujuan.” Jawab
Pak Sutrisno menenangkan istrinya. “Bener nggak Gil?” lanjut Pak Sutrisno
bertanya pada Ragil yang sepertinya sedang asik dengan Play Stationnya.
“Iya… benar Bu… asal pentingkan
keselamatan, bukan kecepatan pokoknya.” Seru Ragil mengutip isi banner yang
terpampang dijalanan.
“Iya… inget keluarga menunggu
dirumah.” Timpal Pak Sutrisno seperti tak mau kalah dengan anaknya, lalu mereka
berdua tertawa.
Bu Aminah menghela nafasnya, ia
masih merasa tak tenang. Walaupun suami dan anaknya keliatan begitu santai
menghadapi mudik mereka yang rencananya akan ditempuh menggunakan motor. Tapi
hati Bu Aminah masih was-was karenannya. Seakan membaca kegelisahan diraut
wajah istrinya, Pak Sutrisno menyentuh pundak Bu Aminah. “Musibah, rejeki,
hidup, sama mati orang itu ada ditangan Allah bu.” Ucap Pak Sutrisno seperti
orang berbisik. Dan dibalas oleh anggukan pelan kepala Bu Aminah.
“Iya bener kata bapak bu, hidup mati
ada ditangan Allah. Ibu harus yakin itu bu.” Suara Ragil menyela pembicaraan
kedua orang tuanya. Membuat Bu Aminah yang barusan menggangukan kepalanya,
sekarang berubah jadi geleng-geleng disertai senyum keibuannya.
***
Hampir
setengah perjalanan dilalaui Pak Sutrisno dan keluarganya melewati jalur
pantura. Untuk menuju kampung halaman mereka. Sejauh ini masih aman terkendali
perjalan keluarga ini. Tak ada kendala berarti selain rutinitas istirahat di
tepian jalan. Karena Pak Sutrisno merasa sedikit letih mengendarai motornya.
“Apa
nggak tidur aja dulu pak? Dari tadi istirahatnya cuman sebentar-sebentar?”
saran Bu Aminah kepada suaminya yang masih konsentrasi mengendarai motornya.
“Nggak
usah bu, kalau dipakai istirahat kita bisa malem dijalan. Malah bahaya,
disepanjang jalur ini rawan.” Sahut Pak Sutrisno tak lepas konsentrasinya dari
melihat jalan yang ada didepannya.
Sebagai
seorang istri, Bu Aminah menuruti suaminya. Walaupun masih belum bisa perasaan
tak nyamannya hilang disepang perjalanan. Ragil masih duduk didepannya, anak
lelaki semata wayangnya masih terbenam mimpi. Diusapnya kepala anak
kesayangannya itu, hingga membuat sesungging senyum terbesit dibibirnya. Anak
kesayangan yang seakan tak bisa ia belai lagi selain saat ini.
Rasa
kantuk rupanya mengalahkan Pak Sutrisno. Tepat di satu persimpangan jalur
Pantura. Ia tak bisa melihat kalau ada sebuah bis yang melaju kencang
berlawanan arah dengannya. Motor yang dikendarainya, tak bisa ia dikendalikan.
Walaupun tak langsung menabrak bis tersebut, tapi kecepatan tinggi masih membuat
motor yang dikendarainya menabrak bagian sisi bis yang sebenarnya juga sudah
mencoba menghindar itu. Alhasil Pak Sutrisno beserta keluarganya terpelanting
sekitar lima meter dari motornya. Sedangkan Bis yang memaksa menghindari
tabrakan, masih harus menabrak sebuah warung nasi yang ada ditepian jalan.
***
“Ayah
sama Ibu saya kemana Mbak?” tangis Ragil masih menggema disekitar ruangan itu.
Tubuh kecilnya pasti tak mampu menahan cobaan yang sekarang mengghinggapinya.
Sang
perawat memeluk Ragil erat, seakan merasakan apa yang dirasa anak kecil
didepannya. “Hidup, mati itu ada ditangan Allah. Ade yang sabar ya!” bisik
pelan suara perawat itu, mengiang ditelinga Ragil. Walau masih juga tak mampu
membendung air mata yang keluar memenuhi kelopak mata Ragil.
“Ayah
sama Ibu saya kemana Mbak?” kembali teriak Ragil disela isak tangisnya, seakan
tak percaya dengan apa yang baru didengarnya.
Bandung, 1 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar