Mendengar,
atau menonton acara berita jelas bukan suatu hal yang menarik untukku. Bukan
aku tak mau menerima, atau mengetahui informasi terkini yang sedang hangat
dibicarakan masyarakat dalam atau luar negeri. Tapi aku tak terlalu tertarik
mendengar, atau menonton berita karena sepertinya hanya hal-hal buruk saja yang
dijadikan bahan berita.
Anak membunuh ayahnya, ayah menikam anaknya, murid
menusuk gurunya, guru memukul muridnya. Wakil rakyat bergotong royong korupsi,
wakil rakyat cari kambing hitam dalam dugaan korupsi. Wakil rakyat adu jotos
dalam rapat, wakil rakyat sepakat menggusur para pedagang kaki lima. Untuk
kemudian membangun mall diatas tanahnya. Wali Negara mengunjungi negeri orang,
derita kelaparan rakyat negeri ini. Bentrok antar kampung, pelecahan agama,
ras, atau suku. Apakah tak ada berita bahagia yang terjadi di negeri ini,
sehingga bisa diangkat menjadi berita?
Tapi dibeberapa menit yang lalu. Sebuah berita berhasil
menghipnotisku. Membuatku terpaku, untuk sementara waktu menghentikan gerakanku
meraih remote televisi. Seperti biasanya, korban pelecahan seksual, korban
kejahatan lainnya. Akan diwawancarai tak memakai nama sebenarnya. Dan entah
salah cetak, atau memang sengaja dicetak. Di sudut bawah televisa, tempat dimana
biasanya diletakan nama samaran sang korban. Nama korban itu ditulis Mawar
(Nama Samaran), tapi sekarang yang aku lihat Mawar. Tanpa ada kata diapit tanda
kurung. Apa maksudnya? Aku juga tak tau. Yang jelas mataku masih setia menatap
layar televisa, yang sekarang dominan warna gelap itu.
Pikiranku jauh melayang, pada sosok seorang gadis yang
bertubuh tak terlalu tinggi, ramping, dengan senyum cerianya selalu tercermin
diwajahnya. Ia gadis yang jadi cinta pertamaku. Teman masa kecilku, sampai kami
terpisah oleh waktu yang melaju tanpa pernah mau repot menunggu. Waktu yang
membuatku harus berkuliah di Bandung, sementara ia tetap tinggal di kampungnya,
didaerah asalnya.
Biar aku katakan, ia adalah cinta pertamaku kawan. Tapi
semua yang kau bayangkan tentang cinta pertama yang romantis, mesra, penuh
kehangatan gelora masa muda. Rupanya jauh benar dari yang pernah kualami. Tak
ada hubungan, selain hubungan perteman antara seorang lelaki dan seorang
perempuan. Itu masih aku jaga sampai sekarang, sampai tak pernah lagi kudengar
semua kabar tentangnya.
Ketika
aku kembali kedaerah asalku. Aku sempat mencarinya, sempat menanyakan kabarnya
kepada teman-teman yang sama bersekolah denganku dulu. Dari merekalah kutau
kalau ia telah pergi meninggalkan kampungnya kurang lebih dua tahun sejak aku
pergi ke Bandung. Sebenarnya tak ada penghalang lagi untukku mengatakan
perasaanku padanya. Tak ada larangan baik dari darah, nama belakang, atau
pesukuan. Sehingga tadinya aku hendak melamarnya, saat aku pulang kampung. Dan
rencana itu terpaksa musnah sekarang, sebab ia pergi meninggalkan kampung
bersama suaminya.
Hanya
satu benteng penghalang untuk aku meminangnya. Benteng itu adalah pernikahannya
dengan seorang perjaka dari daerah yang berbeda. Kekasihku itu dibawa kekota
lain. Merantau dengan suaminya. Dan wajar kupikir bila istri mengikuti suami,
hal yang sangat wajar setelah pernikahan, setelah hubungan antara dua orang
berbeda kelamin menjadi sah dimata Tuhan, juga Negara.
Merasa
tak menemukan kekasih hatiku di tempat asal, dengan berat hati kembali aku
meninggalkan kampung halaman. Lama sudah, sekitar lima tahun berlalu. Dari
terakhir kali aku pulang kampung itu.
Beberapa
teman sekantorku sering mengkhawatirkan keadaanku. Statusku yang masih lajang
itu adalah alasan mereka untuk akhirnya bisa mengenalkanku dengan seorang
wanita pilihan mereka. Tapi tak jua wajah cinta pertamaku itu menghilang,
membuat segala usaha teman-teman sekantorku jadi nihil akan hasil.
“Apa
kamu mau jadi bujang lapuk Nar?” suara temanku sewaktu aku menolak seorang
gadis yang baru saja dikenalkannya padaku.
“Lagian
apasih yang kamu cari lagi? Rumah punya, mobil ada, mapan iya?” tambah temanku
yang lain, asik menyalip pembicaraan.
“Bener.
Tinggal cari isinya aja tuh Nar, buat rumah kamu itu.”
Memang
ingin rasanya, aku mengakhiri masa lajangku ini. Sering kuterima telepon dari
orang tuaku, dan mereka mengungkapkan keinginan hati mereka yang mengebu-gebu.
“Ingin nimang cucu.” Singkat saja, alasan kedua orang tuaku memaksaku menikah.
Tapi apa daya? Wajah cinta pertamaku tak lekang oleh waktu. Selalu membayang
disela lamunan petangku. Apalagi belakangan wajah itu sering menjumpaiku dialam
bawah sadar.
***
Stasiun
televisi yang tengah menayangkan acara berita itu masih mewawancarai nara
sumbernya. Nama sang narasumber jelas bukan samaran, walaupun suaranya sudah
diedit sedemikian rupa oleh para kru acara berita tersebut. Karena suara sang
narasumber terdengar seperti suara anak kecil, dengan suara tinggi yang
melengking bila dipaksakan berteriak.
Dari
wawancara yang kudengar diacara berita itu. Aku tau kalau sang narasumber
adalah salah seorang korban trackfiking, kejahatan penjualan manusia. Dan
seperti biasanya, itu adalah berita biasa di negeri ini. Parahnya yang menjualnya
adalah orang dari bangsanya sendiri. Apa negeri ini sudah sampai dilaknat
sedemikian rupa, hingga bangsa sendiri tega menjual orang sebangsanya kepada
bangsa lain? Apa benar musuh terbesar bangsa ini, adalah bangsanya sendiri?
Entahlah?
Wajah
kekasih pertamaku langsung membayang dalam pikiran sepi ku. Tak kuasa aku
menolaknya. Apa mimpiku yang sering melihatnya menangis, itu adalah sebuah
pertanda? Kecemasanku makin menjadi-jadi. Dengan cepat aku mencari handphoneku.
Mencoba mengontak sebuah nomer, yang lumayan lama tak pernah kuhubungi.
“Halo
Assalamualaikum.” Ucapku ketika hubungan telah tersambung.
“Walaikumsalam
Nar. Sehat ananda?” suara ibuku bagaikan teduh rindangnya pohon beringin,
ketika mentari siang tengah terik menarik segala cairan dari setiap lekuk
tubuh. Sejuk. Meneduhkan.
Tak
ingin rasanya aku menyakiti hatinya, atau sampai membuatnya menunggu untuk bisa
menimang cucunya yang pertama. Tak ingin rasanya aku mengecewakan seorang
wanita yang satu ini. Yang dikakinya ada surga untuk anak-anaknya. Yang rela
bertaruh hidup, sewaktu melahirkan aku kealam dunia. Tapi apalah daya diriku
ini, setelah mendengar berita di televisi tadi. Hatiku tak tenang jadinya.
Cinta memang penyakit, dan bila ditahan tambah sakitlah badan kita jadinya.
Maka dari itu, dengan berat hati aku bertanya pada wanita terbaik di dunia ini.
walaupun kutau, itu akan melukainya. “Ibunda, ado kaba dari Mawar ndak?” ibuku
tak langsung menjawab. Desah nafasnya saja yang mengalun, menawarkan hening
dingin yang membuat sel-sel otakku makin hangat jadinya.
“Ndak
ado ananda.”
Bandung,
1 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar