Malam ini cuaca lebih dingin dari
biasanya. Angin sepoi-sepoi dengan hawa yang dibawanya. Seakan ingin membuat
kita cepat tidur diatas kasur, dengan cara menyembunyikan tubuh diantara
kehangatan lembaran selimut. Dari pada harus melawan dingin diluar rumah, di tengah
malam seperti ini. Tapi malah melawan dingin diluar rumah itulah yang kulakukan
sekarang. Melawan dingin malam yang berangin, dengan cara duduk didepan teras
rumah. Ditemani oleh segelas kopi, juga sebungkus rokok kretek kegemaranku.
Semua anggota keluargaku sudah lebih
dulu tidur. Ayah, ibu, juga adik-adikku. Semuanya telah lebih dulu
berselimutkan hangat, diatas kasur empuknya masing-masing. Mungkin letih karena
kegiatan, juga pekerjaan seharian. Atau coba bersembunyi dari angin dingin yang
melingkupi malam. Entahlah?
Saat asik dengan menghisap rokok kretek,
kemudian menyeruput segelas kopi hitam yang masih hangat. Sebuah cahaya
mendekat kearahku. Cahaya itu berbentuk titik kecil yang berkerdap kerdip. “Kunang-kunang.”
Lirihku melihat cahaya itu makin mendekat. Ini satu peristiwa ganjil yang
kualami. Karena aku sudah lupa kapan terakhir kali melihat kunang-kunang
disekitarku. Aku hampir berfikir spesies mereka sudah punah, karena tak pernah
lagi mereka kutemui. Dirumah, dikampus, dirumah teman, dihutan saat iseng naik
gunung, atau ditempat-tempat yang pernah kusinggahi.
Dan malam ini, ketika malam makin
beringsut dalam dingin. Ketika senyap lebih menguasi situasi, dan kondisi jauh
dari kata riuh. Bisa kulihat lagi kunang-kunang didepanku, tepat dihadapanku.
Perlahan-lahan, kunang itu mendekat.
Makin lama ia makin dekat. Dan ketika sudah dekat, tepat didepan hidungku. Ia
bermanufer menuju kekakiku yang tengah duduk bersila. Secara khusus, pikiranku
telah jauh pergi dari dingin malam, secangkir kopi hangat, juga rokok kretek
yang tadi masih kuhisap. Menjadi kearah kunang-kunang yang sekarang nemplok di
kakiku.
Kuperhatikan ia lekat, seperti seorang
lelaki yang sedang memperhatikan seorang gadis manis pujaan hatinya. Makin lama
melihat kunang-kunang itu, aku makin kagum saja jadinya. Cahayanya yang kecil,
dan berkerdap-kerdip teratur. Semacam pencerah di gelap langit malam.
Anehnya, kekagumanku melihat
kunang-kunang yang masih nemplok dikakiku itu tak bisa kukeluarkan lewat kata. Mulutku
tak bisa bergerak, apalagi sampai bersuara. Ia bungkam, melawan pemiliknya.
Selama mulutku bungkam, hanya mataku saja yang masih bisa terus menyerap
kekagumanku pada kunang-kunang itu. Sampai tak terasa cahaya kecil itu, seakan
membawaku kedalam satu perjalanan yang tak bisa kulawan. Pikiranku tak bisa
kukendalikan. Ia mengawan semaunya, sementara aku sendiri hanya bisa terdiam,
dan masih tetap bungkam. Tanpa suara tanpa kata.
***
Cahaya yang berasal dari tubuh
kunang-kunang yang masih nemplok dikakiku itu, membawaku kesuatu tempat yang
tak pernah kudatangi. Tempat itu begitu gelap, pengap, dan jelas berbau apek.
Kupikir itu adalah sebuah gudang yang sudah berpuluh tahun tak terpakai. Disana,
ditempat itu. Ada dua orang sedang berbicara, seorang lelaki, dan seorang
wanita. Tapi dari wajah juga suara, tak pernah kukenal mereka sebelumnya.
Sebenarnya aku ingin bertanya, atau
sekedar bersuara. Tapi setelah kucoba, aku tersadar aku tak mampu berkata. Mulut,
serta tubuhku tak bisa kugerakan semaunya. Hanya mataku saja yang masih bisa
melihat. Seakan meminta aku untuk memperhatikan saja, tanpa harus bertanya,
berkata, atau lainnya.
Dua orang yang berada didalam gudang itu
berbicara dengan berbisik, seperti orang yang sedang mendesah, suara yang
mereka keluarkan. Anehnya, disela suara yang mirip dengan desahan itu. Aku juga
dengar suara tangisan, suara tangisan wanita. Mungkin saja mereka adalah dua
orang muda-mudi, yang sedang berkencan ditempat gelap. Dan ketika sang lelaki
mengungkapkan keinginannya untuk bersenggama dengan sang wanita. Sang wanita
itu menolak, lalu hanya menangis yang bisa ia lakukan. Atau mungkin bisa juga
mereka berdua adalah pembunuh yang sedang mencari tempat membuang korban
kejahatan mereka. Dan sang wanita menangis, karena korban kejahatan mereka
adalah suaminya sendiri. Ini mereka lalukan agar bisa berhubungan, tanpa adanya
penghalang lagi.
Banyak pikiran, dugaan, berseliweran
dibenakku. Tapi tak satupun aku tau pasti mana yang benar. Bagaimana bisa aku
tau? Sedangkan untuk bertanya saja aku tak bisa. Setelah cukup lama hanya
terpaku, dan memperhatikan dari kejauhan. Tubuhku, yang tak mampu aku gerakan
semauku. Kini makin mendekat kearah dua orang itu. Serasa aku melayang, karena
kakiku tak menginjak tanah. Aku seperti seorang pahlawan super dalam cerita
komik, bisa melayang, terbang. Tanpa harus terpengaruh gravitasi, antigravitasi
kah yang kualami ini?
Ketika sudah dekat, bahkan sangat dekat
dengan dua orang itu. Pikiranku berubah, dari tadinya serasa pahlawan super di
cerita komik. Sekarang aku merasa seperti hantu gentayangan, dalam film horor.
Karena setelah sedekat ini, keberadaanku dengan dua orang tadi. Tapi mereka
seakan tak bisa melihat keberadaanku yang sekarang tak jauh dari mereka berdua.
Tempatku berada sekarang. Hanya sekitar
satu meter, atau bisa saja kurang, dari tempat mereka berdua yang sedang
berbicara itu. Mustahil mereka tak bisa melihatku, dalam jarak sedekat ini? Walaupun
tempat ini gelap, tapi cahaya dari lampu tempel yang dibawa mereka berdua. Bisa
menerangi, atau sekedar membuat jarak pandang mereka bisa lebih luas didalam
ruangan ini. Biarpun begitu, inilah yang terjadi. Aku tak terlihat oleh mereka,
sedangkan sekarang aku bisa melihat mereka berdua dengan sangat jelas. Juga
mendengar semua kata-kata yang dikeluarkan oleh mulut mereka berdua.
“Sudah sayang, jangan nangis terus.
Semua ini yang harus kita lakukan, atau satu kesalahan yang pernah kita
lakukan.” Suara sang lelaki, sambil membelai pundak sang wanita yang sekarang
sedang jongkok dengan posisi membelakangiku.
“Tapi harusnya kita nggak ngelakuin ini.
Harusnya kita berdua tanggung jawab sama apa yang udah kita lakuin.” Ucap sang
wanita, dengan isak tangis menghiasi bicaranya.
Tangan sang lelaki masih terus
mengusap-usap punggung sang wanita yang masih terisak itu. Kepalanya
manggut-manggut mengiyakan, “Seharusnya memang seperti itu. Tapi apa kamu mau
diusir dari rumah? Ayahmu seorang yang penting, tentunya ia tak ingin aib ini
menamatkan pekerjaan, juga mencoreng mukanya.” Sang lelaki menghentikan
kata-katanya, menghirup nafas seakan berat dadanya melanjutkan bicaranya. “Aku
juga berat untuk melakukan ini sayang, tapi…”
“Tapi kau tak mau istrimu tau masalah
ini, karena kau akan jatuh miskin karenannya?” sela sang wanita membentak.
Matanya melihat tajam sang lelaki disebelahnya. Sang lelaki sendiri,
memperlihatkan wajah kaget ketika mendengar selaan dari mulut wanita itu. Wajahnya
jadi seperti hantu penasaran, karena hanya sebagian wajahnya saja yang terkena
cahaya. Sementara yang lainnya gelap tak terlihat.
“Apa maksudmu?”
“Tentunya tak perlu ku jelaskan maksud
dari kata-kataku? Bahasa Indonesiamu pastinya sangat baik kalau sekedar untuk
mengerti suatu maksud pembicaraan bukan?” tak ada suara lagi dari mulut sang
lelaki. Ia yang tadi jongkok mulai berdiri, tangannya yang barusan
mengusap-usap pundak wanita disebelahnya. Sekarang sudah tak ia lakukan.
“Kita tak bisa begini terus? Masih sukur
ada dokter kenalanku yang mau melakukan aborsi pada janinmu? Kalau tidak, kita
berdua akan hancur. Dan hidup dalam masalah yang berkelanjutan.” Bisik sang
lelaki, dengan suara parau, yang terdengar berat.
Sang wanita yang mendengar ucapan lelaki
itu, yang sudah lebih dulu berdiri. Kembali menolehkan kepalanya, lalu
menengadahkan mukanya kearah sang lelaki yang telah lebih dulu berdiri. Gerakan
yang cepat tuk berdiri, kemudian ia lakukan. Dan alangkah terkejutnya aku
ketika melihat sebuah benda, atau apa bisa kukatakan tentang yang kulihat itu
ketika sang wanita berdiri.
Sosok kecil, seperti bayi tapi bentuknya
agak ganjil, dengan ukuran lebih kecil, tergeletak dibawah sana. Beralas tanah,
dan jelas tak punya nyawa. Tubuhnya berwarna hitam, entahlah apa warna
sebenarnya dari sosok kecil itu. Tapi yang kulihat sekarang adalah berwarna
hitam. Aku tak tau apakah karena ruangan yang minim cahaya ini, sehingga
membuatnya berwarna begitu.
Sosok itu pernah kulihat, ketika salah
seorang tanteku mengalami keguguran. Bentuknya tak jauh berbeda, hanya saja
bentuk sosok kecil itu makin membingungankan untuku karena aku tak bisa
melihatnya dengan seksama, lebih jelas lagi. Karena gelap, menghalangi
pandanganku.
“Tapi kau berjanji untuk menceraikan
istrimu, lalu menikahiku?”
“Manusia bisa berubah sayang. Tergantung
situasi dan kondisi yang sedang dihadapinya bukan?”
Kepala wanita itu, tertunduk lesu
mendengar ucapan sang lelaki. “Kau hina, kau biadab, dasar lelaki hina?”
Sesungging senyum, berbayang dalam
remang, “Kau pikir kau tak berbeda denganku? Apa kau fikir segala perbuatanmu
itu tak biadab? Tak hina? Apakau tak merasa menjadi pendosa bersama denganku?”
Isak tangis mulai menggema, kembali
mengalihkan perhatianku untuk yang kesekian kalinya. Mengalihkan perhatianku
dari melihat sosok mirip bayi kecil yang masih tergeletak diatas tanah, jadi
memperhatikan pertengkaran dua orang ini. “Plaaakkk…” tamparan terdengar
renyah, baru saja mendarat tepat dipipi sang lelaki.
Mata sang lelaki berubah jadi begitu
tajam, begitu sangar. Lalu sebuah gerakan tangan tepat dileher sang wanita,
membuat sang wanita jadi meronta karenannya. Ia tercekik. “Terserah apa maumu
sekarang? aku tak peduli? Kau kuburlah janinmu sendiri. Dan bila kau nekat
melaporkan kejadian ini pada orang lain? apalagi pada pihak penegak hukum?
Sebelumnya kau harus sadar apa yang akan terjadi denganmu? Dengan keluargamu?
Apa kau mengerti?” sudah melepas cekikannya dileher sang wanita, sang lelaki
pergi dari tempat gelap itu. Sementara sang wanita kembali terduduk diatas
tanah. Sambil memandangi sosok ganjil yang tergeletak didepannya.
“Maafin ibu ya Nak.” Tangisnya tak bisa
dibendung, teriakannya gambaran penyesalan.
“Bang… ngapain masih diluar? Besok mau
kuliah pagi kan? Nanti susah dibanguninnya lho?” tiba-tiba semprotan khas,
kepunyaan ibuku tercinta, mengagetkan perjalan singkatku karena cahaya
kunang-kunang barusan. Mataku melihat kearah kakiku, dan kunang-kunang tadi
telah pergi. Aku melihat kesekitar, tapi tak jua kutemukan cahaya yang melayang
dan berkedap-kerdip itu lagi.
Bandung, 16 Agustus
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar