Angin
berhembus pelan, ia terus menyelusup, ia menyelusup lewati rongga-rongga
berlubang ruang tua ini. Seperti sedang asik menyelidik, mencuri dengar semua
perbincangan dari setiap tempat yang sempat dilintasinya. Menyimpan hasil dengarnya
dalam senyap, untuk kemudian di gaungkannya secara pelan, dan perlahan- lahan,
di suatu tempat yang entah dimana keberadaannya.
Aku tak ingin ambil pusing, biarkan
saja angin itu mencuri dengar semua resah hatiku, walaupun ia sengaja
menggunjingkan ku juga tak mengapa. Agar semua orang tau apa yang ada di dalam
hatiku sekarang, apa yang kurasakan dan apa yang sedang ku pikirkan. Apa yang
sedang menjadi keluh kesah di batin yang makin hari makin menggerogoti diriku. Biarlah
semua desah, keluh, dan resah hati ini dibawanya. Dibawa pergi olehnya, dibawa
oleh sahabatku itu. Karena hanya dengan begitulah, aku bisa merasa cukup
tenang, tak merasa seorang diri lagi dalam kepedihan sepahit ini.
Nanti, tahukah engkau disini ku
terus mengenang semua kisah kita. Di masa semua tawa masih ada, di kala
keluarga kita masih bersama. Selama ini hanya angin yang mau menjadi sahabatku,
ia sahabat terbaikku sekarang. Hanya angin yang menjadi pesona alami, sewaktu
ku pikir hidup ini sudah tak baik lagi. Hidupku sekarang sangat jauh dari tawa,
jauh dari kata bahagia, ia malah seakan dekat dengan rasa kecewa.
***
“Aku
nggak bisa Kak?” Jawab Lintang menantang saran Raka, kakaknya.
“Tapi
Ayah sekarang cuman sendirian aja di rumah ini Tang. Sepeninggalan Ibu, Ayah
keliatan sedih terus. Ayah jadi nggak merhatiin dirinya, kadang bisa sampai
lupa waktu buat makan. Takutnya kalo nggak ada yang merhatiin, Ayah nggak ada
yang ngingetin buat makan, atau buat minum obat. Pendapatku, bagaimana kalau
Ayah tinggal di rumahmu? Dengan begitu Ayah ada yang merhatiin.” Raka membalas
perkataan Lintang adiknya dengan lantangnya.
“Nggak
bisa Kak. Istriku bisa marah, kalau Ayah tinggal bersama kami. Aku nggak mau
keluargaku jadi sering berantem, cuman gara-gara Ayah tinggal di rumahku.”
“Kamu
lupa, dulu sering Ayah berantem sama Ibu gara-gara ngebelain kamu. Cuman
gara-gara kamu, Ayah sering bertengkar sama Ibu. Cuman gara-gara ngebelain
kamu, cuman ngebelain kenakalan kamu Tang. Sekarang kamu malah ketakutan
berantem sama Istri, cuman gara-gara Ayah tinggal sama kamu. Padahal sekarang
masalahnya jauh lebih gede, kamu nggak liat Ayah sekarang udah sakit-sakitan
kayak begitu.” Balas Raka masih tegas.
“Terus
kenapa Ayah nggak tinggal di rumah Kakak aja? Bukannya dulu Ayah sering
ngebela-belain uang penghasilan narik becaknya buat ngebeliin keperluan kuliah
Kakak? Yang malah Kakak pake buat nraktir pacar-pacar Kakak. Yang
ujung-ujungnya cuman mau morotin Kakak aja?” Ucap Lintang tak mau kalah,
membuat Raka sekarang tak bisa berkilah.
Mendengar pertengkaran kedua putra
kesayanganku. Aku menuju ke ruang tamu, ke tempat sumber pertengkaran itu berasal.
Ke ruang tamu yang jadi saksi bisu pembicaraanku dengan Nanti yang amat
kucintai. Wanita yang terbaik, jodoh pertama dan terakhir untukku. Jodoh tuk
seorang tukang becak yang serba kekurangan, jodoh tuk seorang tukang becak yang
lebih sering berada di tengah-tengah kubangan penderitaan.
“Ada
apa ini?” Mendengar suaraku muncul secara tiba-tiba, kedua putraku yang tadi
masih kudengar bertengkar, terdiam seribu bahasa. Ku hampiri mereka berdua,
walaupun sulit kurasa tuk melangkahkan kaki tuaku. Melihat kesulitan ku, putra-putraku
mencoba membantu, membantu tuk memapahku. Mereka dudukan aku disebuah kursi
lusuh, yang saat ini nyaris tak utuh. Kubenarkan posisi dudukku, mataku menatap
wajah mereka satu persatu. Kutangkap tingkah yang serba salah, dari raut muka
mereka yang nampak gelisah.
“Kenapa
kalian berdua bertengkar?” Tanyaku membuat mereka semakin serba salah, tak tau
harus menjawab apa? Serta bagaimana cara mengutarakan maksud mereka, yang tadi
sempat ku mendengarnya.
“Ini
Yah. Sekarang Ayah kan udah mulai sakit-sakitan, jadi Raka nyaranin ke Lintang
supaya Ayah tinggal aja sama Lintang. Daripada Ayah tinggal sendiri, di rumah
kontrakan ini. Tapi Lintang malah nggak mau. Kata dia, Istrinya nggak mau ada
Ayah di rumah mereka.” Jawab Raka memberanikan diri.
“Kenapa
nggak di rumah Kakak aja Ayah tinggalnya?” Sela Lintang tak setuju. Raka
terdiam, ia mati kutu dengan semua kata-kata dari mulut adiknya barusan. Aku
hanya menunggu apa yang akan dikatakan oleh Raka, walaupun sedikit banyak aku
tau jawaban yang akan di utarakannya.
“Aku
kan tinggal di rumah mertuaku, mana bisa aku mengajak Ayah untuk tinggal
disana? Banyak masalah yang akan terjadi, kalau aku mengajak Ayah untuk tinggal
bersamaku.” Desis Raka pelan. Tak berani ia keluarkan kata-kata lantangnya,
seperti tadi ia lakukan sewaktu berbicara dengan adiknya.
“Tuh
kan Kakak juga sama. Pasti repot kalau ngajak Ayah buat tinggal di rumah
Kakak.” Timpal Lintang seadanya.
Hatiku
ngilu benar, mendengar jawaban dari putra-putraku ini. Aku tak tau apa yang
harus ku rasakan semestinya. Sedih kah? Kecewa kah? Atau malah marah?. Tak
ingin derita, dan pertengkaran kedua putraku berlanjut, aku coba menengahi.
“Ya
sudah, besok antarkan Ayah ke Pondok An-Nur.” Ucapku cepat, lalu mencoba tuk
berdiri. Kedua putraku kembali membantuku berjalan. Mereka berdua nampak sedih,
seperti tak tega, tapi tak ada kata yang keluar dari mulut mereka. Lalu mesti
bagaimana lagi aku seharusnya. Aku tak ingin, hidup mereka yang sekarang lebih
baik, lebih layak daripada kehidupan ku dan Istriku dulu. Jadi terganggu,
dengan adanya kehadiranku diantara keluarga mereka. Biarlah orang tua ini
mengalah demi anak-anaknya, bukankah sudah semestinya orang tua membuat anak-anaknya
bahagia.
***
Kesokan harinya, kedua putraku,
kedua anak kesayanganku. Mengantarkan ku kemari, ketempat ini. Sebuah Panti Jompo,
yang bangunannya seperti sehati dengan para penghuninya. Tua, bobrok, dengan
atap penuh tambalan, serta lantai ubin yang nampak berbukit-bukit. Awalnya ku
merasa tempat ini, bukanlah tempat yang layak untuk ku tinggali. Rumah
kontrakanku jauh lebih baik adanya.
Tapi
aku tak bisa terus membiarkan putra-putraku membayar sewa rumah kontrakanku.
Jadi apa dayaku? Mau tak mau aku memang harus tinggal disini, di tempat yang
sedari muda sangat ku hindari. Tempat dimana para orang tua sepertiku. Seakan
diacuhkan, nyaris nampak disingkirkan, oleh anak-anaknya sendiri. Oleh para
anak-anak, yang dulu mereka sangat perjuangkan hidupnya. Tapi nyatanya
disinilah aku sekarang, di sebuah Panti Jompo.
Anak-anakku,
di beberapa bulan pertama ku tinggal di panti jompo. Masih sering
mengunjungiku, walaupun mereka selalu datang tak menyertakan keluarga mereka
bersamanya. Tak pernah mereka datang menjengukku bersama keluarga mereka. Entah
apa alasan mereka, hingga mereka tak pernah membawa serta keluarga mereka tuk
mengunjungiku.
Kunjungan itu berlalu begitu cepat. Saat
ini, sudah hampir satu tahun lamanya. Mereka tak pernah mengunjungiku lagi. Sebenarnya
banyak pertanyaan yang terlintas dalam benakku. Apakah mereka sehat? Atau dalam
keadaan baik-baik saja?. Tapi semua pertanyaan itu selalu terjawab,
termuntahkan begitu saja di setiap akhir bulan. Selalu termuntahkan dengan datangnya
kiriman sejumlah uang, yang dikirim oleh anak-anakku. Dengan begitu, setidaknya
aku tau keadaan mereka baik-baik saja. Tapi mengapa mereka tak pernah
mengunjungiku lagi? Apa benar aku sengaja mereka singkirkan dari hari-hari
mereka? Apa benar mereka ingin ku tak ada di kehidupan mereka?
***
Kupandangi
foto Nanti Istriku, wanita yang sangat kucintai, jodoh pertama dan terakhirku.
Nampak lusuh, dan tak terawat, karena dimakan usia, dan juga rayap.
“Nanti.
Kinanti Istriku. Akan kunanti pertemuanku denganmu. Disini aku kesepian, tapi
dapat kupastikan aku baik-baik saja Sayang. Angin sangat baik padaku, ia selalu
menemaniku Nanti. Walau kadang ia menganggu waktu tidur malamku, kemudian
membuat aku kedinginan saat ia membelaiku. Tapi walaupun begitu, setidaknya ia
selalu ada disini, ia selalu ada tuk menemaniku. Ia menemaniku dengan suka
rela, tulus, dan sangat perhatian padaku. Mungkin diluar sana dia suka
mengosipkanku, tapi tak mengapa juga. Karena aku tak tau siapa yang diajaknya
bergosip tentangku diluar sana. Sayang, cintaku, hadiah terindahku. Aku
merindukanmu Kinanti.” Sambil memandangi foto Nanti, aku mengutarakan semua
yang kurasa. Semua kesepian yang meraja, di tengah-tengah ruang kamar yang apa
adanya. Hanya bertiga saja. Aku, Angin, dan Kinanti.
Bandung, 5 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar