Dikala
senja yang tak bermandikan kehangatan mentari sore, senja itu mulai beringsut
jadi malam nan dingin, dengan hujan masih mengguyur tak selesai. Di keadaan
dingin inilah ada dua makhluk tengah beradu kehangatan diatas sebuah ranjang,
dengan gejolak nafsu menyelimuti mereka, disertai desahan nafas pemuncul birahi
terus mengiang ditelinga keduanya. Itu masih berlanjut, sampai sebuah suara
menghentikan kesibukan mereka, menghentikan sejenak olahraga malam diantara
mereka berdua. Suara itu hanya suara engsel pintu yang terbuka, tapi yang
membuat mereka menghentikan kegiatannya adalah pertanyaan tentang siapa orang
yang telah membuka pintu barusan.
“Apa itu dia?” bisik Sinta kepada Raka yang sejenak lalu
masih menindihnya.
“Sssttt… jangan berisik dulu, aku lihat bentar.” Sambil
menyelipkan telunjuknya diantara sela bibir, Raka beralih dari posisinya. Ia
kenakan, pakaian yang tanggal, dan beserakan diatas lantai kamar belakang
rumahnya itu. Untuk segera melihat siapa orang yang barusan membuka pintu rumah
besar itu.
Langkahnya pelan, mengendap-endap disela-sela dinding
rumah. Matanya mengintip kearah ruang tengah rumahnya. Disana istrinya, Sari
tengah duduk menyandarkan tubunya kesofa. “Sayang-sayang…” panggil Sari
berteriak.
Merasa
dipanggil, Raka masih mengintip Sari yang sekarang menuju kamar tidurnya. Ia
tau, istrinya pasti letih setelah habis bekerja. Dan setelah masuk kamar, entah
kapan ia akan keluar lagi. Karena biasanya setelah masuk kamar, lalu mencuci
bersih riasan yang memoles wajahnya dikamar mandi yang ada didalam kamar. Sari
akan langsung tertidur. Raka tau benar kebiasaan istrinya ini, pertama karena
Raka adalah suaminya, dan yang kedua ia harus tau kebiasaan istrinya supaya apa
yang ia lakukan dengan Sinta bisa aman dan memuaskan pastinya.
Merasa
aman, karena Sari telah masuk kedalam kamar. Dan tak mungkin lagi keluar,
karena pastinya istrinya itu telah tertidur. Raka berjalan pelan menuju kamar
belakang, sesampainya dikamar belakang. Ia mendapati Sinta telah mengenakan
bajunya kembali, “Apa yang kamu lakukan?” bisik Raka pelan, takut kedengeran
orang.
“Apa
kamu ingin ketauan?”
“Kita
belum selesai, aku masih bisa lama.”
“Nekat
kamu.” Seru Sinta tak setuju. Tapi rupanya itu hanya bentuk tak setuju, tak
bisa diaplikasikan jadi laku. Karena sebelum sempat ia memasangkan celananya,
Raka telah lebih dulu menindihnya kembali. Hingga bisikan desahnya, terdengar lagi.
Suara desah sangat pelan terdengar dari arah dalam kamar belakang.
Usai
selesai mereka memberikan kehangatan. Raka dan Sinta melangkah untuk membuka
pintu belakang rumah mewah Raka. Pintu itu adalah pintu yang langsung menuju ke
jalan, tempat Sinta datang dan pergi dari rumah ini. Tak perlu menunggu lama,
sampai sebuah taksi melalui jalan itu. Kemudian membawa Sinta pulang
kerumahnya.
***
Rumahnya
sudah terang, lampu depan telah dinyalakan. Pertanda suaminya sudah pulang. Dan
benar saja, ketika ia masuk kedalam rumah. Disana suaminya tengah asik menonton
acara bola di televisi. “Eh Mah… baru pulang?” tanya suaminya sambil terus asik
melihat pertandingan bola di televisi.
“Iya.
Udah lama pah?” suaminya menggelengkan kepala, tak beralih pandangan matanya
dari layar kaca. “Ya udah ya pah, mamah langsung tidur ya? Capek banget.” Kata
Sinta sembari melangkahkan kaki kedalam kamar.
“Nggak
makan dulu?”
“Udah
makan diluar tadi.” Jawab Sinta lalu menutup pintu kamarnya.
***
Jalan
raya, ketika waktu pulang kerja sama dengan kemacetan. Itu yang sekarang sedang
Sari alami. Tapi untunglah ada Bima disebelahnya, sehingga tak bosan ia
menjalari kemacetan yang sudah jadi masalah akut ibu kota negeri ini. “Mau main
dulu nggak yang?” Bima membuka suaranya.
“Ah
kau ini.” balas Sari tersipu malu.
“Kenapa?
Apa lagi nggak mau? Atau lagi nggak kuat?” goda Bima makin menjadi-jadi. “Gimana
mau nggak? Kalau mau, aku nyimpang dulu kerumah kamu gimana?” anggukan kepala
Sari tanda setuju. Membuat jari Bima sesekali mulai bermain-main dengan sesuatu
yang ada dibalik rets sleting celana Sari sambil ia terus berkonsentrasi
mengemudi.
“Ah
kau ini…” manja Sari sambil mendesah.
“Emang
kenapa?”
“Masa
dimobil kayak begini?”
“Mumpung
macet yang.” Jawab Bima asal.
Mobil
itu beres terparkir di halaman depan rumah mewah milik Sari. Sari tak risih
mengajak Bima masuk kedalam sana, karena ia tau kebiasaan suaminya yang selalu
pulang malam. Dan jarang ada dirumah ketika malam baru saja datang. Pintu depan
rumah, dibukanya. Dan seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya. Bima masuk
kedalam rumah mewah itu dengan leluasa. Selesai pintu ditutup, ia menjadi
benar-benar leluasa.
Didalam
kamar, Sari dan Bima saling mengerayami tubuh masing-masing. Menebar nafsu yang
terlarang, didalam kamar pernikahan yang dulu jadi saksi malam pertamanya
dengan Raka. Sampai membuatnya kecanduan dengan apa yang bisa dilakukan Bima
kepadanya. Yang dilakukan Bima lebih daripada apa yang biasanya sanggup
dilakukan Raka padanya. Sehingga membuat ia lebih menikmati umbaran nafsu
ketika bersama Bima dibandingkan dengan suaminya.
Desah
nafas masih menghembus telinga Raka yang asik menindih Sinta. Walaupun barusan
ia dengar ada deru mesin mobil istrinya masuk kehalaman. Ia tak perduli,
nafsunya sudah tanggung memuncak. Sempat ia sejenak bertahan dengan posisinya,
ketika pintu depan terdengar ada yang membuka, tapi kembali ia lanjutkan
keasikannya bersama Sinta ketika pintu kamar depan terdengar terbuka lalu
tertutup kembali.
***
Matahari
pagi, menyinari halaman rumah Raka juga Sari. Tadi malam mereka sama-sama
keletihan, dan sama-sama merasakan kepuasan. Walaupun tak dihasilkan oleh istri
dan suaminya sendiri.
Sari
duduk disebelah Raka, sarapan telur dadar dengan nasi goreng pedas. Memang
masakan andalan Sari, itu karena hanya dua masakan itu yang bisa dibuatnya. Ia
berfikir sebagai seorang wanita karir, tak perlu juga ia pandai-pandai memasak.
Lewat uang yang setiap bulan ia hasilkan, membayar orang untuk memasak bukan
suatu halangan.
“Pah…
nanti sore ada waktu?”
Raka
menegadahkan kepalanya, melihat wajah istrinya. “Emang kenapa mah?”
“Enggak.
Kalau nanti sore ada waktu. Ada undangan makan malam dari perusahaan, perayaan
menang tender pembuatan Wisma Atlet dari pemerintah.”
“Ah
itu urusan kantor kan?” heran Raka dibalik alasan Sari mengundangnya dalam
acara perusahaan tempatnya bekerja.
“Iya
sih perayaan keberhasilan perusahaan. Tapi semua karyawan diminta untuk datang
bareng pasangannya. Gimana dong? Ada Bima juga kok pah. Emang nggak kangen sama
Bima?” mendengar nama teman semasa kuliahnya disebut-sebut. Raka mendadak jadi
semangat untuk datang, ia sudah lama sekali tak bertemu temannya yang satu ini.
Bertemu dengan sahabat karibnya yang sekarang satu tempat kerjaan dengan
istrinya, rindu benar rasanya ia ingin bertemu Bima. “Bima juga bawa istrinya
juga loh pah.”
Dari
semangat, raut wajah Raka mendadak berubah jadi keheranan, “Emang kapan dia nikah?
Kok kamu nggak pernah cerita si ma?”
“Lupa
pah. Kalau masalah Bima nikah, kayaknya sih udah lama pah. Soalnya sebelum dia
pindah ke kantor mama, dia udah nikah kok. Jadi gimana nih? Kangen nggak sama
temennya?” cepat Raka menggangukan kepalanya. “Jadi ikut ya? Nanti jam enam
jemput mama ya kekantor. Udah itu kita bareng-bareng ke tempat makannya,
gimana?” senyum Sari terbesit di bibirnya. Karena merasa gosip kantor yang
mengatakan kalau ia memiliki hubungan khusus dengan Bima bisa di hanguskan
sekali gibas oleh kehadiran Raka disisinya.
“Boleh.”
Cepat suara Raka menjawab, tak sadar maksud Sari istrinya.
***
Adzan
Isya baru saja berkumandang. Ketika Raka dan Sari sampai disebuah restoran
bertaraf internasional di wilayah ibu kota itu. Di dalam sana, sudah terlihat
ada keramaian yang sedang terjadi. Raka juga Sari melangkah beriringan,
terlihat benar mereka pasangan serasi. Rasanya selain masalah hubungan suami
istri yang tidak memuaskan, tak ada lagi masalah dalam rumah tangga yang telah
mereka jalin selama tujuh tahun kebelakang.
“Hai
Raka. Sehat lo?” sapa Bima dengan gaya gaulnya yang khas ketika mereka masih
menjalani studi di jurusan yang sama dulu.
“Sehat
bro… lo gimana?”
“Sehat.
Eh iya kenalin istri gue nih?” Bima menggandeng seorang wanita yang tadi tengah
berbicara dengan beberapa istri karyawan kantor yang lainnya. Membuat wanita
itu menghentikan pembicaraannya bersama sesama istri karyawan. “Ini istri gue
Ka, namanya Sinta.” Ketika melihat istri sahabatnya, mendadak raut wajah Raka
pias. Tak bisa berkata, hanya tangannya mencabat tangan Sinta yang sepertinya
merasakan hal yang tak berbeda dengan Raka.
***
Suara
ketukan pintu terdengar, membuyarkan konsentrasi Raka menonton televisi.
Menjadikan bayangan nafsu terbesit dalam benaknya. Karena suara ketukan barusan
bersumber dari pintu belakang. Kalau bukan Mbok Mira, pembantu rumah mereka
yang datang lewat sana. Hanya satu orang lagi yang biasa datang kerumah Raka
melewati pintu itu.
“Ternyata
benar kamu?”
“Emang
kamu kira siapa lagi?”
“Mbok
Mira.” Sahut Raka spontan.
“Tega,
kamu samakan aku dengan babu.” Raka tak bersuara, senyumnya merekah mendengar
Sinta marah padanya. “Kok ketawa? Ada yang lucu?”
“Kamu
nggak cerita kalau kamu itu istrinya Bima?” Raka mengalihkan pembicaraan.
“Apa
ada masalah kalau aku istrinya Bima? Lagian kamu nggak pernah nanya tentang
suamiku?”
“Nggak…
nggak ada masalah. Masalah kita cuman urusan ranjang, sama desahan. Bukan yang
lain kan?” Merasa terpancing, Sinta meraih tangan Raka lalu menggengamnya. Dan
seperti biasanya, setelah datang dari pintu belakang. Raka dan Sinta menuju
kamar belakang, saling berselimut dalam nafsu, disertai desahan nafas pemuncul
birahi terus mengiang ditelinga keduanya. Seperti biasanya rupanya.
Bandung,
1 September 2012
Merasa dipanggil, Raka masih mengintip Sari yang sekarang menuju kamar tidurnya. Ia tau, istrinya pasti letih setelah habis bekerja. Dan setelah masuk kamar, entah kapan ia akan keluar lagi. Karena biasanya setelah masuk kamar, lalu mencuci bersih riasan yang memoles wajahnya dikamar mandi yang ada didalam kamar.
BalasHapusLukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia