Ketika
senja tiba aku seakan terbawa kedalam masa yang tak nyata, berbeda tempat, dan
waktu dengan yang seharusnya kuberada. Saat seperti itulah, yang membuatku
berfikir tentang waktu. Berfikir tentang bagaimana ia melaju, tanpa mau repot tuk
menunggu. Berfikir tentang waktu yang hanya mau berkawan dalam perjalanan
segelintir orang, dan jadi musuh yang menawarkan kabut penutup jalan tuk banyak
orang lainnya. Kepada orang-orang sepertiku.
Senja, pembatas antara siang yang penuh kegaduhan, dan
malam dengan suasana penuh ketenangan. Jadi wahana tanda tanya, serta
penyesalan sekaligus untuku. Tanda tanya mengapa aku bisa seperti sekarang, dan
penyesalan yang terburat dalam kenangan. Akar dari semua masalah itu adalah
waktu yang tak mau menunggu. Ia berjalan, melaju, dengan pongahnya.
Meninggalkan kesan dalam kesedihanku yang terus menerus menganga.
Kadang, jengah juga aku dibuatnya. Jengah terhadap waktu
yang terus melaju, jengah pada waktu yang hanya mau berteman dengan segelintir
orang. Dan aku bukanlah termasuk kedalam segelintir orang itu. Aku mulai
bermusuhan dengan waktu, karena satu ketika datang padaku satu peristiwa yang
tak bisa kulupa.
Langkah
kakiku tenang, aku yakin dengan ketenangan aku bisa berfikir lebih lurus, lebih
jelas. Sehingga tak mungkin pula rasanya aku melakukan kesalahan dalam setiap
putusan, ataupun tindakan. Aku yakin dengan itu, karena dengan ketenanganku
lah. Aku bisa menyelesaikan masalah ekonomi keluargaku dikampung halaman.
Karena ketenangan pikiranku pula lah aku bisa pergi ke kota, kemudian merantau
mencari kerja disana. Dan pulang kampung setiap idul fitri tiba.
Tapi kepulanganku kali ini, lebih dari sekedar
silahturahhim dengan sanak keluarga yang ada di kampungku. Lebih dari itu,
karena kepulanganku kali ini. Dibumbui keinginan tuk mempersunting seorang
wanita yang elok rupanya, elok perangainya, santun dalam pikiran, perkataan,
juga perbuatan. Seorang wanita yang kukenal sejak aku masih berseragam putih
abu-abu, hingga sekarang sudah masuk keumur yang ke 22.
Setahun lalu, kami berdua telah saling mengikat janji.
Atau lebih tepatnya, aku yang berjanji padanya. Bahwa aku akan menikahinya,
apabila tahun depan aku pulang kampung. Aku berfikir begitu, karena apabila
benar hitung-hitunganku tentang saldo tabungan yang ada dibank. Barulah tahun
depan aku bisa mencukupi modal tuk menikahinya.
Walau tradisi suku kami, sebuah pernikahan akan
dilaksanakan, termasuk ditanggung biayanya oleh pihak wanita. Tapi kutau, tak
sebegitu pula keluarga wanita yang kucinta ini. Keluarganya tak jauh berbeda
dengan keluargaku yang serba tak berpunya. Maka mau tak mau, aku juga harus
memikirkan biaya tuk melangsungkan pernikahan dengannya. Harus mau saling
membahu dalam membiayai pernikahan kami.
Seperti aku yang berjanji akan menikahinya ketika aku
pulang kembali ke kampung. Ia pun berjanji padaku bahwa ia mau menungguku waktu
itu. Sekarang aku menepati semua janji padanya, dengan kedatanganku kembali di
tahun ini. Sekali lagi, lewat ketenaganku. Aku bisa menyelesaikan masalah yang
cukup sulit buat kebanyakan orang. Masalah percintaan, dan masalah biaya
pernikahan.
Langkahku masih tenang, kususuri jalan berukuran besar
yang belum diaspal. Untuk menuju rumahnya, menuju rumah gadis pujaanku. Untuk
tujuan membicarakan rencanaku padanya. Membicarakan, bahwa aku sudah siap untuk
menikahinya. Dan kapan ia siap aku lamar. Ketika ia siap tuk kulamar, akan aku
bawa seluruh anggota keluargaku. Aku akan datang bersama keluarga, juga
mamak-mamak, serta beberapa tetua desa tuk datang melamarnya.
Senja masih saja gamang, ketika awan mulai kegelapan
menutupi cahaya mentari sore yang telihat kemerahan. Aku masih terduduk disini,
mengutuki waktu yang terus melaju, tanpa mau repot-repot menunggu. Mengutuki
waktu yang hanya mau berteman dalam perjalan beberapa orang, dan menawarkan
kabut dalam laju kehidupan banyak orang, termasuk aku.
Jantungku berdetak tak menentu, melanggar aturan detak
jantung tingkat normal. Terlintas dalam pikiranku, beberapa prasangka jauh dari
baik. Tapi berkat ketenanganku, aku masih sanggup berfikir, dan meneruskan
langkahku, tuk lebih dekat melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi di
kediaman Sakinah. Ketika tak jauh lagi langkahku, mendekati rumah Sakinah.
Rumah wanita pujaanku. Yang elok rupanya, elok perangainya, santun dalam
pikiran, perkataan, juga perbuatannya.
Hilir mudik orang, baik yang pergi ataupun yang baru
datang kekediaman Sakinah. Membuat batinku makin bertanya-tanya jadinya. Ingin
rasanya aku bertanya pada salah satu diantara mereka yang datang, ataupun yang baru
pergi meninggalkan kediaman Sakinah. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Tapi
diantara mereka tak ada yang kukenal. Dan anehnya, ketenanganku yang selama ini
aku banggakan. Yang biasanya membuatku, dapat berfikir logis karenannya. Seakan
hilang tak bersisa, tak berani aku bertanya pada salah seorang diantara mereka
yang berjalan menjauh, atau mendekati rumah Sakinah. Yang terus berlalu
melangkah dariku.
Ketenanganku benar-benar tergoncang, pikiranku kelu, tak
normal. Detak jantungku yang jauh dari normal sedari tadi, sekarang makin mengetuk-ngetuk
tak menentu. Pikiran-pikiran yang tak baik, seakan berubah nyata. Ketika tiang
dimuka rumah Sakinah, tergantung lambang hati, yang terbuat dari karton. Dengan
bertulisan Ando dan Sakinah.
Langkahku gontai, tak tegap badanku berjalan. Ingin
rasanya aku pulang kembali ke rumah. Lalu mengemasi barang-barang, dan segera
pulang kembali ke Bandung. Meninggalkan kampung halaman, yang sekarang hanya
menawarkan kesedihan. Tak perduli, akan apa yang terjadi diperjalananku pulang
kembali ke Bandung nanti. Yang penting aku harus jauh-jauh dari tempatku
berdiri sekarang. Dari tempat aku memandang rumah Sakinah, yang dulu jadi
tempat paling sering aku dan kawan-kawan bekerja kelompok sewaktu SMA. Tempat
awal aku menyatakan perasaanku pada Sakinah. Tempat dimana kurasakan cintanya
yang tulus, dan halus sewaktu masih bersama. Juga tempat dimana ia setuju akan
menungguku kembali, sudi menungguku menikahinya. Walau itu sekarang hanya
kebohongan.
Kukumpulkan ketenanganku kembali. Kuhirup nafas panjang,
di tempatku berdiri sekarang ini. Setelah kuhirup nafas panjang, jantungku
perlahan tapi pasti kembali ketingkat normal denyutannya. Pikiran-pikiran buruk
yang tadi melintas dalam benakku, tak aku perdulikan. Toh pikiran-pikiran itu,
sekarang sudah jadi kenyataan?
Perlahan, dengan tenang. Aku melangkah menyusuri jalan
besar yang tak beraspal, menuju kekediaman Sakinah. Yang sekarang ini sedang
mengadakan pesta pernikahan. Pesta pernikahan Sakinah, dan juga suaminya yang
aku tak kenal. Aku lewati kerumunan tamu yang sekarang sedang duduk-duduk di
kursi, sambil menikmati hidangan pesta pernikahan. Kemudian semakin dekat
kepada dua mempelai, aku kembali melewati lagi antrian tamu yang sedang
menunggu giliran mencicipi hidangan.
Dari pelaminan, Sakinah yang melihatku datang mulai salah
tingkah. Aku terus menatap matanya, sementara ia terus menghindar tuk
melihatku. Memilih melayangkan pandangannya kearah lain, asal jangan kearahku.
Kedua orang tuanya, yang pastinya tau kalau putrinya sudah cukup lama menjalin
hubungan yang lebih dari teman bersamaku. Seakan tak percaya dengan
penglihatannya. Sehingga terus melotot, tanpa bisa berkedip.
Sampai di pelaminan. Aku menyalami kedua orang tua
Sakinah, mereka menebarkan senyum tak biasa. Entah apa yang sedang mereka
pikirkan tentang keberadaanku ditengah pesta putri mereka? yang pasti aku tak
perduli dengan pikiran mereka. Ketika menyalami mempelai pria, aku tersenyum
ramah. Dan ia melemparkan senyum yang sedari tadi terus ia sebarkan keseluruh tamu
yang datang. Tiba giliranku menyalami Sakinah, ia terdiam. Mulut Sakinah tak
lagi tersenyum, seperti saat ia menyalami tamu lain yang menyalaminya sebelum
aku. “Semoga keluargamu sakinah, mawaddah, warohmah ya dik.”
“Makasih bang.” Pelan suaranya seperti berbisik, masih
tak berani melawan tatapan mata yang kutawarkan.
Dan
disinilah aku sekarang. Di hari senja. Di saat jelas pembatas antara keriangan
siang, dan kesunyian malam. Masih mengutuki waktu yang terus melaju, tanpa mau
menunggu. Berteman dalam perjalan beberapa orang, dan jadi musuh dengan
menawarkan kabut di kehidupan banyak orang lainnya. Termasuk dalam kehidupanku.
Andai aku pulang kampung, bukan saat lebaran? Andai aku tak usah berjanji
setahun lagi aku akan melamar Sakinah, melainkan sebulan lagi? Andai…?
Bandung,
19 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar