Saat
aku menghampirinya, ia sedang menangis. Tak terdengar suara isakan dari
mulutnya. Tapi linangan air mata sudah lebih dari cukup membuatku tuk tau,
kalau sedang ada luka yang menghinggapi benaknya. Perlahan kudekati ia,
wajahnya yang penuh keriput diusia senjanya. Pagi ini terpaksa dibasahi air
mata yang sebelumnya tak pernah kulihat ada di kedua matanya. Sekarang ini, sang
penyelamatku tengah menangis. Dan aku tak tau mengapa itu terjadi?
Sekitar
tujuh bulan lalu, Mbok Mira begitu aku menyebutnya. Menyelamatkanku dari
kejamnya jeratan hidup jalanan, menghentikan kebiasaanku mabuk-mabukan, ngelem,
juga pekerjaan yang sering tak mendapatkan hasil disana. Mbok Mira sudah tua,
tapi walaupun renta. Semangatnya untuk menyelamatkan orang-orang, teman-teman
yang mengalami nasib tak jauh berbeda denganku tak pernah hilang. Beliau
menampung kami semua disini. Dipanti asuhan miliknya. Panti asuhan yang
didirikannya, dari semua uang tabungannya selama bekerja menjadi pembantu rumah
tangga di rumah majikannya dulu.
Selain
kami, anak-anak jalanan. Disini Mbok Mira juga mengasuh anak-anak yang lainnya.
Anak-anak yang tak punya ayah, lalu mereka dititipkan ibunya disini dengan
berbagai alasan yang tak mampu ditelan logika. Dengan tangan terbuka iklas diterima
Mbok Mira. Anak-anak yang dititipkan Ayahnya, karena Ibunya entah kabur dengan
siapa. Juga diterimanya dengan tangan terbuka. Anak-anak yang tak punya Ayah
juga Ibu. Atau bayi-bayi mungil yang merengek nangis di depan pagar panti, kala
pagi hari. Akan segera beliau urus, dan juga beliau didik di sini. Beliau didik
kami semua, seperti anaknya sendiri. Mbok Mira tak punya anak, aku pikir beliau
juga tak punya keluarga karena tak pernah sekalipun kulihat Mbok Mira
dikunjungi orang selain para penyumbang panti asuhan.
Selama
aku mengenalnya. Mbok Mira lebih sering tersenyum, daripada murung. Setiap
apapun yang kami perbuat, karena adab kami yang tak teratur. Ia selalu
tersenyum. Ia benar-benar menerapkan penyampaian baik, adalah penyampaian yang
dilakukan secara benar. Tanpa emosi, tanpa amarah, cacian, bukan juga seprotan
bicara yang tak kunjung usai. Percuma saja menyampaikan sesuatu yang baik,
dengan amarah. Hasilnya hanya salah, karena setan ikut disana. Sehingga bila
Mbok Mira memberi nasehat kepada kami, ia lakukan dengan senyuman, tanpa ada
kata-kata kasar yang menohok kesudut hati.
***
Itulah
Mbok Mira, Mbok yang lebih sering tersenyum dari pada murung. Tapi pagi ini, ia
bukan hanya murung. Ia sampai menangis. Penasaran, dengan langkah pelan, aku mendekatinya.
Mencoba mencari tau apa yang sedang dirasanya, hingga muram menghiasi wajahnya.
“Mbok…” suaraku menyapanya.
Wajah
itu menatapku. Matanya yang tua, wajahnya yang renta, melihat lekat kedalam
mataku, kurasakan ia tengah masuk kedalam hatiku. Mencari tau apa yang sedang
kurasakan, juga pikirkan. “Ada apa Nak?” tanyanya berusaha terlihat tersenyum,
sembari repot mengusap air mata yang deras meluncur di pipi.
“Mbok
nangis ya? Kenapa Mbok nangis?” kurangnya aku mengenal kedua orang tuaku.
Membuatku menggangap Mbok Mira keluargaku, orang tuaku sendiri. Tak perduli
dari rahim wanita mana aku dilahirkan, sekarang Mbok Mira adalah orang tuaku.
Dan melihatnya bersedih, jelas mengusik batin ini. Tangannya menepuk-nepuk
tempat duduk disebelah tempat duduknya. Memberikan isyarat agar aku duduk disana.
“Mbok kenapa sedih?” aku bertanya lagi.
“Nggak
apa-apa Nak.”
“Mbok
jangan bohong. Kan Mbok sendiri yang ngomong kalo bohong itu nggak boleh. Dosa.”
Beliau
kembali menyeka air matanya yang kulihat makin deras mengalir dari pelupuk
matanya, masih belum menjawab pertanyaan yang kuberikan. Setelah asik menyeka
air yang keluar dari pelupuk matanya, Mbok menarik nafas dalam. Kurasa beliau
sekarang sudah mulai siap untuk bercerita.
Awal
mula cerita dari kesedihan beliau adalah karena hari ini adalah tanggal 30
September. Di tanggal yang sama berpuluh-puluh tahun yang lalu. Ada sebuah
cerita kelam yang mewarnai kehidupan, serta keberlangsungan bangsa ini dimasa
itu, sekarang dan yang akan datang. Itu pernah kubaca dari buku-buku sejarah
yang ada di perpustakaan panti.
Saat
itu Mbok Mira masih berumur 16 tahun. Masih sangat belia. Belum banyak mengerti
tentang pergolakan politik yang terjadi, tapi entah mengapa biar tak mengerti
apa yang terjadi. Beliau harus terpaksa menerima akibat dari apa yang belum ia
mengerti itu. Aneh kupikir, kalau belum mengerti mengapa tetap menerima
akibatnya? Tapi kata Mbok Mira itu adalah politik, dan begitulah yang dinamakan
politik di negeri ini.
Disuatu
sore, tiga orang tentara datang kerumah Mbok Mira. Setelah dibukakan pintu,
mereka tanpa salam langsung masuk dan langsung menggeledah rumah Mbok Mira.
Saat itu hanya ada Ibunda Mbok Mira juga Mbok Mira sendiri didalam rumah.
Sementara Ayah dan seorang kakak laki-laki Mbok Mira sudah beberapa hari tidak
pulang. Tak tau kemana.
Salah
seorang tentara meminta Mbok Mira untuk membuatkan para tentara itu minum. Mbok
Mira masuk menuju dapur, sedangkan ibunda Mbok Mira diruang tamu berbicara
dengan dua orang tentara yang lainnya. Setelah dibuatkan minum, Ibunda mbok
Mira sudah tak ada di ruang tamu. Belum sempat Mbok Mira bertanya, ia langsung
dinaikan kedalam mobil yang membawa tiga tentara tadi. Ia bertanya dimana
ibunya, tapi para tentara itu bungkam. Sampai salah seorang dari mereka berkata
cepat, “Ibumu sudah duluan pergi. Sekarang kau harus ikut.”
Mbok
Mira dibawa kedalam suatu bangunan, yang disana berisi banyak perempuan. Ada
yang seumuran dengannnya, ada yang seumuran dengan Ibunya. Saat itu Mbok Mira
tak tau tempat apa yang sedang didatanginya ini, sampai di malam pertama ia
tinggal disana bersama para perempuan itu. Seorang tentara memanggilnya,
“Kamu.” Ucapnya tegas. Setelah itu mengajak Mbok Mira masuk kedalam satu
ruangan lain yang lebih sempit. Mbok Mira meolak, tapi tubuh kecil Mbok Mira
tak berarti apa-apa buat mereka. Maka dengan terpaksa, Mbok Mira masuk kedalam
sana.
Cukup
lama berselang, masuklah beberapa tentara. Mereka tanpa basa-basi sebelumnya
mulai mengerayami tubuh Mbok Mira. Perlahan-lahan tangan-tangan itu masuk
kebalik pakaian Mbok Mira. Panik, Mbok Mira berteriak. Mencoba meminta tolong
kepada siapun yang mendengarnya. Tapi setelah lama berteriak, barulah ia merasa
apa yang dilakukannya adalah percuma. Dua orang tentara itu mulai memberikan
rasa perih yang dalam pada Mbok Mira. Tubuhnya yang saat itu masih belia, telah
luluh lantah di tikam nafsu binatang para pria didalam sana. Terus meronta,
Mbok Mira tetap saja merasa tak akan ada bantuan dari luar.
Sisa-sisa
hari-harinya setelah itu tak jauhlah berbeda. Entah mengapa lama kelamaan, ia
mengerti apa yang sedang terjadi. Apa yang dinamakan politik, juga akibat
politik itu kepadanya. Dari mulut para perempuan lain disana. Beliau tau alasan
kenapa Ayah dan Kakak laki-lakinya tak pulang-pulang kerumah. Kenapa keluarga
lain tak sedikit yang mengalami hal yang sama. Ia tau kira-kira kemana
Ibundanya pergi.
“Kemana
Ibunya Mbok Mira?” tanyaku menyela cerita Mbok Mira.
“Ke
tempat yang sama dengan Mbok, tapi letak yang berbeda.”
Dibalik
pengetahuannya itu. Rasa perih setiap hari makin terus ia rasa, makin lama
makin dalam rasa perih itu padanya. Tubuhnya kini menanggung perih tak terkira.
Tapi jauh didalam tubuh itu, jauh dibalik tubuh yang telah terjamah oleh banyak
pria itu. Ada perih yang dalam, malah mungkin sangat dalam. Perih itu tersemat,
tertanam, tak sudi ia mencabutnya. Perih itu terletak di hatinya.
“Terus
apa hubungannya sama tanggal 30 September Mbok?” penasaranku mencuat.
“Soalnya
tanggal itu yang dikenang sama bangsa ini.”
“Itu
yang tahun 65 itu, yang banyak jenderal di…”
“Iya
benar Nak.” Diantara derai tangisnya yang memuncah tak berhenti, disela isak
tangisnya kala menuturkan cerita masa lalunya. Sebersit senyum hadir di bibir
Mbok Mira. Walaupun singkat, senyum khas Mbok Mira itu jelas kulihat. Senyum
yang telah menyelamatkan aku dari jalanan yang kejam. Senyum Mbok Mira, senyum orang
tuaku, senyum penyelamatku.
Bandung,
1 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar