Kini
kita, aku dan kamu adalah dua individu yang berbeda. Walaupun memang hakikatnya
kita berdua berbeda, tapi dahulu kita pernah menyatu. Setidaknya kita pernah mencoba
mempersatukan dua hal yang berbeda ini, dalam sebuah ikatan pernikahan. Mencoba
menyatukan dua hal berbeda ini, di dalam satu atap yang sama, satu kamar yang
sama, dan satu ranjang yang sama. Tapi benar tak pernah kusangka, bisa juga
usaha mempersatukan dua hal berbeda itu berakhir kini.
Usaha lama sejak sembilan tahun yang lalu telah kita
jalani. Hari ini benar-benar runtuh, berserakan menjadi keeping-keping bentuk
yang tak utuh. Rupanya yang kita lakukan beberapa tahun ini, hanya mencoba
untuk mempersatukan badan kita dalam satu tempat, satu atap, satu kamar, dan satu
ranjang. Belum benar sampai mempersatukan dua hati manusia dalam cinta.
Apakah aku terlalu melankolis dengan mengatakan cinta?
Bercerita tentang cinta? Apa benar memalukan membahas tentang cinta disaat
seharusnya telah benar aku mengerti tentang cinta? Atau memang cinta itu tak
bisa dimengerti? Tak bisa kupahami? Aku tak tau, dan tolong beri tau aku
tentang cinta itu wahai cintaku. Walaupun sadar benar diriku, semua telah
terlambat.
Ruangan tempatku berada sekarang berpendingin ruangan, dan
entah mengapa rasa gerah tak hilang jua kurasakan. Gerah setiap aku mendengar
pengakuanmu tentangku. Pengakuanmu, yang berisikan penilaianmu tentang diriku.
Ingin aku berteriak, dan berkata yang kau ceritakan itu bukanlah aku. Yang kau
katakan itu adalah bohong besar cintaku. Aku tak seperti yang kau katakan, dan
aku yakin semua itu bohong belaka. Aku tau kau pernah mencitaiku, sangat besar
kau mencitaiku, dan sampai detik ini masih kuyakin akan hal itu. Tapi mengapa
kau sekarang harus berbohong? Merangkai kata-kata menjatuhkan diriku? Apa
maksudmu wahai cintaku?
Tak jua kau hentikan semua kebohonganmu itu. Setiap orang
dengan pakaian berwibawa itu bertanya padamu, kau selalu menjawabnya pertanyaan
para hakin itu dengan dusta dari mulutmu. Mengumbar dusta tentang diriku
adanya.
Ingin
aku berteriak, hingga semua orang yang hadir disini. Orang-orang yang
didalamnya ada keluarga kita berdua, dan teman-teman sepekerjaan, juga
sahabat-sahabat. Mengetahui bahwa apa yang kau katakan adalah kebohongan, tapi
aku tak bisa melakukannya. Aku tak sanggup membuatmu malu didepan mereka semua.
Maka inilah yang kubisa lakukan untukmu wahai cintaku. Diam tanpa kata,
sedangkan kau terus mengumbar dusta yang kau rangkai sendiri lewat kata.
***
“Mau kemana kamu?” tanyaku saat disuatu malam kau pergi
lebih dari jam delapan. Bila kau pulang jam delapan malam, tentunya hal wajar
bagiku. Tapi bila kau baru akan pergi jam delapan malam. Jam berapakah kau kiranya akan pulang? Jam
Sembilan malam? Telah larut malam? Atau ketika pagi menjelang?
“Ada urusan dulu.” Jawabmu singkat padat, seakan tak
ingin membuang banyak waktu sekedar untuk menjelaskan tujuanmu padaku. Padaku
yang masih suamimu.
“Jam berapa pulangnya?”
“Nggak tau. Kalau mau tidur duluan, tidur aja. Kunci
duplikat udah aku bawa.” Pintu tertutup, dan kau menghilang dari pandanganku.
Aku tak tau kau mau kemana? Tapi yang jelas sedari dulu aku selalu percaya
padamu, pada wanita bermata indah yang dulu kujumpa. Hingga akhirnya aku jatuh
cinta jadinya.
Pertama kali kita jumpa, usia kita masih muda. Baru genap
sembilan belas tahun usiaku kali pertama bertemu denganmu, sedangkan kau tujuh
belas tahun saat kita bertemu. Perjumpaan kita yang pertama adalah saat kau
daftar ulang kekampus. Sedangkan aku bertugas sebagai penjemput setiap mahasiswa
yang baru daftar ulang, untuk kemudian diantarkan kegedung fakultas. Tujuannya
agar mengerti tentang segala hal mengenai kegiatan Ospek yang akan dilaksanakan
seminggu setelah daftar ulang dilakukan.
Aku
kagum kepadamu, saat matamu yang tenang, sayu, dengan sorot indah itu
menyergapku. “Maaf mas. Mau nanya, kalau daftar ulang fakultas teknik dimana
ya?”
“Disini.” Sahutku gugup, terkesan sombong. Tapi bukan
karena aku benar-benar sombong, aku tak bisa mengendalikan diri saat matamu
menatap mataku. Tak tau apa yang harus aku lakukan, berwibawakah? Tenangkah?
Atau malah harus salah tingkah? Dan akhirnya kesan sombonglah rupanya yang
keluar dariku.
“Kalau loket untuk jurusan Elektro yang mana?”
“Oh yang itu.” Aku menunjuk salah satu loket dengan warna
orange terpampang diatasnya.
“Makasih ya Mas.” Ucapmu lalu berlalu dariku, segera
menuju loket daftar ulang jurusan. Setelah aku tau kau jurusan elektro yang kau
masuki. Makin kagum saja aku dibuatmu, aku kagum dengan kecantikanmu, dengan
fisikmu. Tapi figur dan fisikmu terlalu sempurna untukku lewatkan, hingga
akhirnya aku menunggumu selesai dengan segala prosedur daftar ulang.
“Hai…” sapaku ragu.
Kau menengadahkan kepala, melihatku tajam. Tiba-tiba
diluar dugaan, kau tersenyum, membuat matamu makin bersinar, dan rasa kagumku
makin meruncing. “Boleh kenalan?” tanyaku cepat. Dari senyum, raut wajahmu
berubah cepat menunjukan curiga. Tatapan matamu yang bersinar, berganti oleh
tanda tanya. “Nama saya Ilham.” Belum kau jawab pertanyaanku, tapi naluri
lelakiku telah lebih dulu meninggalkan logika yang ada sepertinya.
“Indah.” Singkat kau jawab salam perkenalanku. Indah,
rupanya cocok benar nama itu tersadang olehmu wahai cintaku.
***
Setelah perkenalan kita yang pertama, aku makin gencar
mendekatimu. Statusku yang senior membuatku sangat leluasa untuk dekat
denganmu. Dan statusmu sebagai junior, mahasiswa baru, tak memberikan ruang
padamu untuk menolak setiap ajakanku. Sedikit egois memang diriku kala
mendekatimu, tapi cinta mungkin memang bisa membuat orang jadi egois. Bukakah
cemburu itu bentuk keegoisan? Dan cemburu itu tandanya cinta? Jadi tak ada
cinta, tanpa egosi? Benarkah? Aku bertanya padamu cintaku.
Kita
satu jurusan, aku setahun diatasmu. Karena sekampus, sefakultas, dan sejurusan
inilah banyak waktu yang memaksa kita tuk bertemu. Waktu yang berlalu, terus
melaju itu menciptakan hubungan hangat antara kita terkeruk makin dalam. Tujuh
tahun lamanya kita berhubungan dekat lebih dari sekedar teman.
Dan
ketika aku sudah memiliki pekerjaan tetap, aku melamarmu. Melamar wanita yang
begitu setia mendampingiku selama tujuh tahun lamanya. Kita menikah. Setelah
dua tahun lamanya menikah barulah keluarga kita makin lengkap. Seorang anak
lahir dari rahimmu, tampan dan gagah benar ia. Aku bangga pada diriku, dan aku
makin sayang padamu.
Usia
pernikahan kita sayang, rupanya tak selama hubungan pacaran kita dulu.
Begitulah adanya, karena setelah tiga tahun bahtera ini berlayar di tengah
samudra kehidupan kita. Dan sekarang bahtera itu harus terpaksa menepi di sebuah
dermaga. Aku tak setuju bila dikatakan bahtera ini karam sebelum sampai tujuan.
***
Kau tau sayang bahtera kita kini telah menepi, dan
perjalanan kita harus dihentikan. Tapi yang semakin membuatku terluka bukan
hanya itu. Hatiku bertambah perih karena sedari tadi kau terus berdusta
mengenai diriku pada hakim yang terhormat itu.
Sejenak
aku jadi berfikir tentang apa yang pernah kudengar lewat beberapa kawan
kantorku yang mengatakan kau sering pergi bersama dengan atasanku. Apa benar
kau telah berdusta padaku, pada suamimu ini? Berdusta padaku mengenai
hubunganmu dengan atasanku? Karena hakim yang terhormat saja tega kau bohongi?
Apakah aku juga ternyata kau bohongi? Atau jangan-jangan saat malam pertama kau
juga berbohong tentang alasan, mengapa kau tak dipenuhi bercak darah saat aku
menerobos keperawananmu sayang?
Sayang
aku masih belum mengerti cinta? Atau kau yang selama ini berdusta padaku? Aku
mohon kau sudi kiranya menjawab pertanyaan-pertanyaanku padamu. Walaupun
akhirnya kini, atap kita telah berbeda, rumah kita tak lagi sama, kamar kita
berada di dua tempat yang berbeda. Dengan jiwa yang telah terpisah, atau
mungkin memang tak pernah sempat menyatu.
Bandung,
7 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar