Aku
masih terduduk disini disebuah bangku disudut terminal, masih menunggu damri
yang tak kunjung tiba. Dengan terus mengedarkan pandangan kesekeliling tempat
yang hampir lima tahun ini jadi saksi perjalananku menuntut ilmu kekampus.
Melihat suasana terminal, yang makin lama makin akrab saja denganku.
Nyaris tak ada yang berubah dari terminal ini, dari mulai
kepalaku masih botak bekas ospek, sampai sekarang mulai ada keriput-keriput
halus yang menghiasi wajahku. Para pengamen sekarang ini, masih sama dengan
para pengamen yang dulu mementaskan nyanyiannya di atas bis damri pertama yang
kunaiki. Tukang asongan, berkulit gelap, berkeringat di atas dahinya. Hanya
bertambah beberapa saja dari awal aku mengenal terminal ini. Begitu pun dengan
para kondektur, dan supir damri. Tak ada wajah baru yang mengisi waktu lima
tahun lalu. Beginilah terminal, semuanya hanya singgah sebentar, lalu pergi.
Tapi kompenen pengisi di terminal tetap akan setia di sini.
Sudah satu jam berlalu kugunakan untuk menunggu. Beberapa
mahasiswa lain yang ingin pulang menggunakan damri. Makin lama makin membludak,
bisa kupastikan kurang dari setengahnya yang bisa duduk nanti saat damri tiba.
Dan mungkin hanya tiga perempatnya, atau kurang yang nantinya bisa diangkut
oleh damri yang akan datang.
Disaat menunggu inilah, aku melihatnya. Seorang gadis
dengan manis dengan tatapan sendu menenangkan itu, adalah seorang gadis yang
dulu pernah kukenal. Rasa bosan yang teramat tinggi, menjalari benak ini. Hingga
akhirnya, ditengah kebosanan menunggu. Mulai kudekati ia, yang nampak sendiri
saja menunggu damri.
“Vi…” ucapku ragu, takut-takut ia telah lupa pada diriku.
Bisa saja waktu menghilangkan ingatan tentang diriku dari benaknya, atau
mungkin ia memang sengaja menghilangkan seluruh kenangan tentangku dalam
pikirannya. Entahlah.
Matanya yang tadi berpaut, dengan alis yang menukik
tajam. Muka yang cemberut. Menoleh kearah sumber suara, ia membalikan wajahnya.
Terdiam sejenak, dan tak lama ia tersenyum. Kulihat senyum itu. Masih sama
seperti sedia kala, tetap indah senyum miliknya. Tetap tenang tatap matanya,
manis benar gadis ini.
“Andi…” tanyanya bimbang. Ternyata benar dugaanku, waktu
yang berjalan, pelan perlahan. Sedikit banyak menghapuskan kenangan yang terekam.
Atau ia dengan sengaja menghapuskannya, karena perih hati yang tak bisa
ditangguhkan perasaannya.
“Sehat?” basa-basi murah, yang setiap orang bisa
mengeluarkannya. Sekarang akhirnya aku gunakan juga.
Ia tersenyum, menggangukan kepalanya. “Alhamdulillah.
Kamu gimana? Sehat?”
Aku mengganguk cepat, kulihat senyumnya dan masih sama
seperti dahulu. Senyum sayu nan lugu. Senyum itulah senyum yang pernah
benar-benar menaklukan hatiku, sempat aku melindungi senyum itu. Hingga satu
kesalahan besar, membuat senyum itu benar-benar menghilang dari hari-hariku.
Ibarat ikan asin diberikan kepada kucing. Jelas tak akan
bisa kucing itu menolaknya. Begitulah yang terjadi padaku. Dan bodohnya, aku
tak bisa mengendalikan diri karenanya. Disaat Via dan aku tengah merasakan
puncak kehangatan orang berpacaran. Seorang wanita lain hadir didalam hatiku,
ia singgah dalam sedikit ruang hati yang lapang.
Aku rasa aman-aman saja bila aku memiliki dua kekasih,
dan tak ada salahnya. Selagi muda. Hingga akhirnya gadis yang bernama Mona itu
benar-benar menarik hatiku. Membuatku memiliki dua kekasih sekaligus. Via, juga
Mona. Sangat aman semua rencana yang kujalankan. Mona teman sejurusanku, adik
kelasku tepatnya. Jadi aku dan ia hanya bertemu digedung fakultas, dan
bermesraan di dalam kelas. Sementara Via adalah wanita yang menemaniku saat
berangkat kampus, juga pulang kampus. Selama kurang lebih enam bulan lamanya.
Aku bisa menjalani rutinitas baru ini, lancar, tanpa banyak kendala yang ada.
Jadwal kencan pun sudah kuatur sedemikian rupa. Dan kalau
rencana itu berjalan semestinya. Maka tak mungkin pula aku hancur jadinya. Tapi
ingat kawan, sepandai-pandai tupai melompat, satu waktu pasti dia akan jatuh
jua. Lalu aku benar-benar jatuh. Sangat sakit, dan tak pernah bisa kulupakan kesakitan
itu. Disaat kencan dengan Mona, Via yang sedang berjalan-jalan bersama
teman-temannya. Memergokiku tengah bermesraan dengan Mona. Tak ada cacian, atau
tamparan seperti di film-film saat kejadian itu berlangsung. Via masih
tersenyum, saat ia melihatku bermesraan dengan Mona. Walau mata merahnya, jelas
menyiratkan sebuah luka dalam hatinya. Ia pergi bersama teman-temannya,
sedangkan aku masih terpaku. Mona tak curiga dengan apa yang terjadi.
Setelah
Via menghilang dari pandanganku. Sebuah pesan singkat benar-benar membuat
hatiku kelu. Aku tak tau, seberapa kelu hati Via saat itu. Yang jelas, pastinya
ia merasakan kelu hati lebih dari yang kurasa. Aku yakin itu. Ingin kujelaskan
semua yang terjadi, tapi apa bisa aku mengelak, memberikan alasan dari semua
gerakan tanganku pada Mona? Bahkan orang iseng saja tau, gerakan tanganku
dengan Mona sudah sangat mesra. Sudah tak bisa dikatakan hanya berteman,
terlalu berlebihan dikatakan sahabat. Maka kurelakan Via pergi, dari perjalanan
waktuku. Tak ingin aku membohongi gadis manis nan baik hati ini, sampai dua
kali.
Dengan Mona, jujur kukatakan tak seasik dengan Via. Dan
puncak tak asiknya Mona adalah, ketika aku sengaja datang kekosannya kemudian
mendapatinya tengah duduk berpelukan dengan seorang pria. Disana aku
benar-benar mengawan, membayangkan sebuah perasaan yang pernah menghinggapi
benak Via. Aku tau alasan mengapa ia hanya bisa tersenyum saat melihat aku
bermesraan dengan Mona. Itu campuran rasa sakit, kecewa, marah yang tak bisa
diungkapkan. Aku berlalu, dan semenjak itu. Tak terlalu sering aku bertemu
dengan Mona. Walaupun kami satu jurusan, kesibukan, juga hubungan kami yang
hanya teman tak memaksa kami tuk berjumpa.
Terminal ini masih aku datangi setiap pergi dan pulang
kuliah, saat aku ke kampus. Sesekali aku berharap bisa bertemu dengan Via.
Ingin kuucapkan maaf padanya, akan langsung ku tatap mukanya. Bila ia ingin aku
berteriak keras ditengah hari, saat terminal sedang penuh-penuhnya. Hanya untuk
memohon maafnya. Akan kulakukan, bila itu bisa membuatku menerima maafnya. Tapi apa dayaku, tanpa ada janji sebelumnya.
Sangat kecil peluang kami bisa bertemu di terminal, dan benar saja. Tiga tahun
berlalu, biarpun kami satu kampus, juga menggunakan Bis Damri untuk pergi
kuliah ke kampus. Tak sekalipun kami bertemu. Seharusnya aku benar-benar ingat
akan kata orang tua dari daerahku. Sebelum mencubit orang, harusnya aku
mencubit diriku sendiri. Bila sakit yang kurasa, begitu juga orang adanya.
“Maaf ya Vi.” Suaraku parau, kuyakin pasti tak terdengar
jelas ditengah kebisingan terminal seperti sekarang.
“Maaf kenapa?” heran Via memandang mataku, seperti sedang
menyelidik, lalu mencoba mencari sesuatu yang kusembunyikan di balik dua bola
mataku.
“Soal yang dulu.”
“Iya… udah aku maafin dari dulu kok. Nggak usah dibahas
lagi ya Ndi.” Jawabnya tersenyum, mengulas sebuah senyum juga di bibirku.
Sejenak ingin ku katakan, bahwa aku menyesal. Dan aku
berjanji tak akan mengulanginya lagi, aku akan memohon diberi kesempatan sekali
lagi. Itu masih rencana, dan hampir terlaksana andai saja tak ada seorang
lelaki yang memanggil nama Via.
“Eh Ndi udah dulu ya.” Via berlari mendekati lelaki tadi.
Saat tubuh mereka sudah berjarak dekat, sang lelaki mengulurkan tangannya. Dan
dengan cepat Via meraihnya. Mereka berdua menuju sebuah warung diterminal, lalu
duduk berdua ditempat duduk didepan warung tersebut. Dari bahasa tubuh mereka
berdua, aku tau hubungan mereka lebih dari teman, sangat tak bisa dikatakan
sahabat. Bahkan orang iseng saja tau. Maka dengan berat hati aku kembali
menunggu bis damri di salah satu sudut terminal. Duduk disalah bangku yang ada
disana, dengan penyesalan terdalam.
Waktu berlalu melaju, tak pernah ia mau menunggu. Semua
yang ada berganti, tak jarang yang bergantian itu tak kita inginkan. Tapi karena
waktu terus melaju, tak ada pilihan untuk kita selain menjalani semua yang ada,
mengambil seluruh inti sari dari perjalanan tersebut. Walaupun damri tetap saja
belum datang.
Bandung,
1 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar