Terang cahaya menghampiriku secara
tiba-tiba, ketika angin malam masih bertiup dingin dimuka malam yang telah
menggelap. Cahaya itu berputar-putar cukup lama dikepalaku. Tempurung kepalaku
yang sekarang hanya sedikit ditumbuhi oleh rambut, terasa hangat olehnya. Ada
desir ketenangan ditengah kehangatan yang cahaya itu tawarkan. Ada pencerahan
kurasa, dibalik terang cahaya yang membuat gang tempat ku berjalan. Yang
tadinya remang, jadi terang benderang. Makin lama cahaya itu berputar, makin
tenang aku dibuatnya. Cahaya itu, seakan menghipnotisku. Membuatku sejenak tak
sadarkan diri karenanya.
Aku berniat mengunjungi saudara
sepupuku malam ini. Dengan tujuan, menyampaikan satu pesan yang tadi sore baru
saja kudapat dari salah satu saudara sepupuku yang lainnya. Kabar itu, tentang
pamanku yang makin hari hidupnya makin tak baik. Menurut sepupuku itu, adik
kandung terakhir dari ayahku ini. Diumurnya yang sudah tak muda, masih saja
sering mabuk-mabukan. Masih saja sering pulang malam, entah dari mana ia?
Dalam keluargaku, aku semacam penyampai
pesan, dari satu mulut ke mulut yang lainnya. Dari satu telinga saudara,
menyambung ketelinga saudara yang berbeda. Begitulah rutinitasku beberapa tahun
ini, semenjak aku pensiun dari pekerjaanku sebagai seorang pegawai negeri
sipil.
Tapi karena cahaya yang
berputar-putar diatas kepalaku sekarang ini, karena cahaya yang memberikan
kehangatan ini. Langkahku terhenti tuk sementara, atau bisa dibilang fokusku
telah berganti. Dari yang tadinya ingin menyampaikan pesan, sekarang terkesima
karena cahaya yang terang benderang.
Cahaya itu, setelah berputar-putar
cukup lama tepat diatas kepalaku, akhirnya berhenti juga. Berhentinya tak jauh,
masih tepat diatas kepalaku. Bisa kulihat cahaya itu makin turun, membuatnya
makin dekat saja dengan tempurung kepalaku. Tiba-tiba, setelah cukup dekat.
Kecepatannya turun sulit tuk diikuti mataku. Cahaya itu masuk kedalam kepalaku.
Kehangatan yang tadi cahaya itu tawarkan, berganti jadi rasa gerah yang tak
bisa kutahan. Ingin ku berteriak, tapi seakan tak bisa mulutku mengeluarkan
kata-kata.
Pikiranku, bercabang. Tak jelas,
sekarang apa sedang bersliweran dalam benakku. Karena semenjak cahaya tadi
masuk kedalam batok kepalaku. Mataku yang ku tau sekarang sedang tertutup, hanya
melihat lesat-lesat cahaya yang bergerak begitu cepat. Seperti saat kita sedang
memacu mobil di jalan bebas hambatan. Dengan kecepatan lebih dari 220km/jam.
Membuat pemandangan disekitar kita, hanya sekilas tampak.
Kurasakan tubuhku masih terdiam, mataku
masih tertutup, mulutku masih terkatup. Tapi aku bisa bergerak, bisa melihat,
dan bisa bicara disini. Apa ini mimpi?
“Apa benar itu Sul?” suara Raka,
kakak tertuaku. Dan aku sekarang berada dirumahnya. Kulihat kesekitar, dan
benar ini adalah rumahnya Raka.
“Mengapa aku ada disini?” batinku
bertanya, tak tau pada siapa. Lalu cahaya tadi, yang berputar-putar diatas
kepalaku, yang masuk kedalam kepalaku. Yang membuat mataku tak terbuka, juga
mulutku tak bisa bicara. Sekarang muncul didepanku. Seakan membaca rasa heran,
dari mukaku. Cahaya itu seperti mengajaku tuk mengikutinya. Ketika cahaya itu
masuk kedalam ruang tamu, tempat dimana baru saja kudengar percakapan Raka
entah dengan siapa. Aku terkejut dibuatnya. Disana ada diriku, tengah duduk
tepat didepan Raka. Tengah merokok, duduk bersila diatas sofa.
“Iya benar. Kak Ridwan itu semakin
kurang ajar saja. Ia telah membuat keluarga kita terhina karena kelakuan
sialannya. Pulang malam, beres mabuk-mabukan.” Mendengar kalimat yang barusan,
aku melihat sosok diriku yang sebentar ini berbicara. Kejadian ini baru kuingat
berlangsung minggu kemarin, karena aku mendapati Ridwan sedang berjalan seperti
orang mabuk ditengah malam. Aku tak benar-benar tau apakah ia mabuk, atau
tidak. Karena aku tak mendekatinya ketika melihat jalannya yang sempoyongan.
Tapi aku memang sering mendengar dari warga sekitar, kalau Ridwan memang sering
jalan sempoyongan ketika larut malam. Maka kupikir harus secepat mungkin aku
sampaikan berita ini pada Raka, pertama karena Raka adalah kakak tertua kami,
dan kedua karena aku memang seorang penyampai pesan untuk seluruh keluarga.
Tiba-tiba rumah Raka bergoncang
hebat. Aku tak tau apa yang terjadi. Cahaya terang tadi masih disebelahku, tapi
aku tak bisa bertanya padanya. Karena dia hanya cahaya, tak bisa bicara. Lagipula
mulutku terkunci, jadi apa yang bisa kuperbuat?
“Apa kamu yakin Sul? Aku tak percaya
kalau Lasmi seperti itu?” Ridwan berteriak ketika sebuah kabar tak mengenakan
tentang istrinya aku sampaikan ketelinganya.
“Aku dengar kabar ini dari temanku
yang kerja satu kantor dengan istrimu.” Sekali lagi aku lihat sosokku tengah
berbicara. Padahal sedari tadi aku sadar benar, kalau aku masih disini. Lalu
siapa itu? Siapa yang berani-beraninya menyamar menjadi aku?
“Kau yakin itu Sul? Apa kau yakin
istriku telah berselingkuh?” sosok itu, sosok yang menyerupaiku mengangukan
kepalanya. Seulas senyum khas kepunyaanku ia keluarkan. Membuatku kembali
teringat, kalau aku benar-benar telah menyampaikan berita tentang Lasmi yang
telah berselingkuh dengan teman sekantornya kepada Ridwan. Beberapa bulan lalu.
Satu peristiwa keperistiwa yang
lainnya, hanya dipisahkan oleh sebuah goncangan. Semua peristiwa itu, peristiwa
yang pernah kualami. Semuanya adalah peristiwa tentang berita yang kuterima
dari siapa saja. Asal berita itu berkaitan dengan sanak keluargaku, aku akan
menyampaikannya kepada mereka. Karena memang itulah pekerjaanku, setelah pensiun.
Menyampaikan semua berita yang kudengar, kepada keluarga lainnya. Aku rasa
hanya ini yang bisa kulakukan, setelah tak punya pekerjaan.
Lebih baik aku yang menyampaikan
berita ini, daripada sanak keluargaku mendengar berita-berita itu dari orang
lain. Akan bertambah banyaklah semua bumbu yang dimasukan dalam sebuah berita,
bila orang lain ikut mulut dalam menyampaikannya.
Entah sudah berapa tempat, dan
kejadian yang ku datangi. Berapa banyak masa yang kuulang kembali, untuk
sekedar mendengar, melihat kembali semua berita yang pernah aku sampaikan. Rasa
penasaran, makin menumpuk dalam batinku. Ingin rasanya kubertanya, tapi mulutku
masih tak bisa bergerak mengeluarkan kata-kata. Dan kalaupun bisa aku berkata,
mengeluarkan suara. Aku hanya bisa bertanya pada sebuah cahaya yang sedari
tadi, ngetem di sebelahku. Dan pastinya ia juga tak mungkin bisa menjawabnya,
ia hanya sebuah cahaya. Hanya terang yang bisa ia keluarkan, bukan suara,
apalagi bicara.
***
Dua orang duduk disebuah sofa,
didalam sebuah rumah yang kukenal baik. Ini kediaman Raka. Disana duduklah dua
orang. Dan setelah cukup banyak aku mengulang kembali setiap kejadian dalam
menyampaikan berita. Ini pertama kalinya, sebuah sosok yang mirip denganku tak
hadir didalam sebuah pembicaraan. “Paman mau sampai kapan begini? Apa nggak
malu paman sama umur? Mau kapan paman tobat?” kulihat Raka berbicara dengan
halus, pelan, dan tertata baik. Nampak ia tak ingin menyinggung hati paman yang
sudah tua.
“Kamu bicara apa Nak?” muka paman,
mendadak bingung. Kulihat duduknya diatas sofa empuk itu tak lagi nyaman,
sedari tadi pantatnya bergeser-geser tak jelas.
“Paman jangan bohong lagi. Sebuah
berita sampai pada saya, dan berita itu mengatakan kalau paman sering pulang
malam dengan keadaan mabuk? Apa paman nggak mau berhenti mabuk-mabukan seperti
itu?”
Mata pamanku melotot kearah Raka,
“Siapa yang menyebarkan fitnah itu? Paman sudah lama tidak pernah menyentuh
lagi barang haram itu?” sentak paman darah tingginya kambuh.
Aku tak ingat kejadian ini. Tapi apa
maksudnya aku harus datang kedalam kejadian ini, sementara aku tak pernah
berada, atau mengalaminya? Ditengah rasa penasaranku, untuk yang kesekian
kalinya, goncangan hadir didalam keseriusanku mendengar pembicaraan antara Raka
dan paman. Setelah cukup banyak mengalami goncangan seperti ini, aku sekarang
tak terlalu terkejut ketika goncangan itu datang.
Goncangan itu semacam gerbang antara
satu kejadian dengan kejadian lainnya. Dan setelah goncangan ini berakhir, aku
yakin akan muncul di dalam sebuah kejadian, dilokasi dan waktu yang lainnya.
“Dasar kamu wanita jalang.” Teriak
Ridwan terlihat emosi, istrinya yang baru pulang bekerja, dan masih nampak
letih. Disungkurkannya kelantai. Lasmi istrinya, yang tak kuat menahan dorongan
dari suaminya, terduduk tak berdaya. Dengan wajah kesakitan, karena punggungnya
baru saja terbenntur tembok. “Tega kamu berselingkuh dariku.”
“Apa yang mas bicarakan?”
“Agghh jangan pura-pura bodoh kamu? Pastinya
kamu ngerti sama maksud omonganku. Kamu sudah berselingkuh kan? Dengan teman
kantormu kan?”
“Demi Allah mas, saya nggak pernah
melakukan itu. Siapa yang sudah mengirimkan berita fitnah itu pada mas?”
sesunggukan Lasmi mulai terdengar, haru, sendu.
Aku diajak melihat satu peristiwa ke
peristiwa lainnya. Semua begitu muram, tak sedikit hasil kabar yang sudah
kusampaikan pada saudara-saudaraku, pada sanak keluargaku. Berakhir pada
tangisan, kemarahan, juga pertengkaran. Dalam batinku, aku menangis. Tapi
mataku tak bisa mengeluarkan tetes air mata dari dalamnya. Mataku tak bisa
terbuka sedari tadi, kusadar ia tertutup cukup lama. Semua yang kulihat, seakan
hanya dalam pikiran. Benar-benar seperti mimpi, tapi begitu nyata.
“Sudah terbukakah batinmu Samsul?”
kulirik cahaya yang sekarang masih ada disebelahku. Meyakinkan diri, apa benar
suara barusan berasal darinya. “Tak sadarkah kau? Telah banyak berita tak jelas
yang kau sampaikan, tapi dengan semua dampak yang jelas bisa dirasakan?”
rasanya ingin aku mengomentari semua kejadian. Tapi bibirku tetap bungkam,
masih tak mau menurut dengan perintah pemiliknya. Ingin rasanya kumenyesal
dengan semua kelakuanku yang telah lalu. Dengan semua hal yang kuanggap baik,
tapi tak kulakukan dengan benar. Bukankah jelas yang benar itu tetap benar,
sedangkan yang baik belumlah tentu benar.
“Semoga waktu yang terus melaju, membuat
kau sadar akan bahaya dari sebuah berita. Semoga.” Mendadak semua yang ada
disekitarku berubah terang, setiap yang kulihat mengantarkan cahaya. Dan
seperti sebuah perjalanan yang tadi sempat kualami, sekarang terulang lagi.
Tubuhku yang diam, seakan sedang bergerak dengan kecepatan sangat dahsyat.
Semua yang ada disebelahku, tak terlihat jelas. Belum lagi cahaya yang terus
melesat-lesat, membuat aku seperti melaju dalam jalan cahaya.
“Pak Samsul.” Suara Damar, satpam
komplek mengagetkanku.
“Eh kamu Mar, lagi jaga?” aku
berbasa-basi, aku tak tau sudah berapa lama ia ada disekitarku.
Damar menggangukan kepalanya, “Iya
pak. Pak Samsul mau kemana?”
“Ah nggak mau kemana-mana, iseng aja
cari angin. Bandung sekarang agak gerah ya Mar.”
Bandung, 17 Agustus
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar