Matahari
pagi menyorot masuk dari sela-sela jendela kamarnya yang tak tertutup gorden.
Membangunkan Raka, dari perjalanan singkat semalam kealam mimpinya. Perlahan
matanya terbuka, serot tajam cahaya matahari, serasa tak mampu ia tepis sampai
bisa menguncang kesadarannya. Setelah matanya terbuka sepenuhnya. Dari posisi
tidur, tubuhnya ia paksa agar bisa terduduk. Hanya duduk diatas tempat tidurnya.
Tak bergerak, atau berucap sepatah katapun. Seakan sedang mengumpulkan nyawanya,
yang semalaman sempat tak sadarkan.
Ruangan dengan berpendingin ruangan, juga kasur yang
empuk, serta banyak furniture bermerk. Komponen dari kamarnya. Sebagai seorang
anggota dewan, plus masih bujangan. Raka bisa dengan sangat mudah mengeluarkan
uang untuk segala yang dibutuhkannya, yang diinginkannya. Masih asik
mengumpulkan nyawa diatas kasurnya, mendadak Raka teringat sebuah janji
pentingnya dengan beberapa orang beposisi penting di negeri ini. Cepat ia
melangkah kedalam kamar mandi, bisa kacau semua yang ia rencanakan bila datang
tak tepat pada waktunya.
Mandi, telah selesai. Dengan pakaian yang modis, dinamis,
seperti kebanyakan anggota dewan yang lainnya. Raka siap pergi ketempat
pertemuan, siap menantang dunia di hari ini. Sejenak berkaca di cermin
kamarnya, tak terlalu sulit rasanya untuk mengatakan. Bahwa Raka memang
menawan, selain sedikit tonjolan dibawah mata yang berwarna gelap. Tak ada hal
lain, yang dapat membuat tampilannya jadi kurang menarik. Lagi pula tonjolan
dibawah kelopak matanya itu, karena kurang tidur. Dengan tidur yang cukup di
ruang rapat anggota dewan, atau nanti malam. Esok hari bekas seperti itu sudah
pasti hilang dari wajahnya. Kalau tak hilang juga tinggal perawatan, apa
susahnya? Aku seorang anggota dewan, lajang, dengan jumlah tabungan, juga uang
yang tak sedikit jumlahnya. Apa susahnya? Pikirnya.
Mobil BMW berwarna hitam, menyapu jalanan ibu kota.
Kecepatan sedang, dipacu Raka menuju tempat pertemuannya. Sesekali dilihatnya
jam tangan bermerek yang melingkari pergelangan tangan kanannya. Masih cukup
waktu untuk bisa sampai ditujuannya. Pertemuannya itu dijadwalkan jam 9,
sedangkan sekarang baru jam 8. Kemacetan ibu kota, tak bisa membuatnya
terlambat sampai ditujuan.
***
Sampai disebuah bangunan tinggi menjulang, Raka
memarkirkan mobilnya. Langkahnya berirama, seakan sedang berdansa dengan detak
setiap detik yang tersuar dari jam tangan dipergelangan tangannya. Lift yang
berada tepat disebelah parkiran, ia masuki. Disana beberapa wanita muda, dengan
rok mini yang mendaki tinggi sudah lebih dulu berada didalamnya. Rok mereka bak
bendera di tengah upacara senin pagi sedang dikerek naik oleh anggota paskibra.
Sempat terlintas dalam benak Raka, bagaimana kalau rok mini itu sengaja ia
angkat seperti biasa ia lakukan dengan semua wanita cantik yang pernah
dijamahnya. Dan pikiran itu lenyap, saat wanita-wanita berok mini itu tersenyum
kearahnya. Raka membalas senyum mereka, lewat kewibawaan yang ia punya.
Ruangan yang sedang ditujunya, sudah biasa ia datangi. Di
sepanjang langkahnya keruangan tersebut, orang-orang di sepanjang jalan.
Menggangukan kepala mereka, lalu tersenyum. Raka membalas semaunya, wajahnya
mendadak jadi dingin. Pikiran kotor yang sempat tersemat dalam benaknya sewaktu
di lift, sudah ia hilangkan. Sekarang pikirannya harus fokus pada urusan, yang
akan ia bicarakan dengan beberapa orang berposisi tinggi di negeri ini.
Sampai diruangan, orang-orang penting itu sudah datang
duluan. Ia umbar senyumnya, keseisi ruangan. Mereka yang telah hadir duluan,
membalas senyuman Raka dengan antusias. Bagaimana tidak, ia adalah otak,
sekaligus yang berwenang dalam urusan yang akan dibicarakan.
“Wali menteri belum datang?” tanya Raka saat ia tidak
melihat orang paling penting di negeri ini, berada didalam ruangan itu.
“Tidak.” Seorang wanita cantik, juga mengenakan rok mini
menjawab pelan.
“Apa Wali Negeri sakit?”
“Tidak. Hanya saja, Wali Negeri merasa akan terlalu
mencolok bila beliau hadir juga dalam pertemuan ini. Pantauan pihak-pihak
pemberantas korupsi sedang gencar-gencarnya. Akan sangat berbahaya bila Wali Negeri
sebagai Dewan Pembina partai ikut hadir juga.” Jelas wanita tadi melanjutkan
bicaranya.
Semua orang yang sudah berkumpul, duduk disebuah bangku
dengan meja bundar yang cukup besar. Beberapa wanita, dengan rok mini datang
menyuguhkan minuman dimeja satu persatu hadirin yang datang. Rapat ini rapat
orang penting. Bisa dilihat dari semua yang hadir, beberapa anggota dewan, dan
tak lupa beberapa menteri kabinet yang baru saja dibentuk oleh Wali Negeri.
Mereka semua adalah para anggota dari partai pemenang pemilu, sehingga cukuplah
rasanya dikatakan kalau rapat ini bertaraf sangat penting, dan diisi oleh
orang-orang penting.
“Jadi bagaimana perkembangan proyek ini?” ketua para
anggota dewan bertanya pada semua anggota partai yang hadir, yang terdiri dari
beberapa anggota dewan, juga menteri itu.
“Proyek ini rencananya senilai 500 miliyar. Setelah
beberapa bawahan saya, melakukan survei. Kita bisa memanipulasi biaya semuanya,
sampai menjadi 3 triliunan.” Ulas Raka sebagai orang paling berwenang dengan
proyek yang dibicarakan.
“Apa nggak bisa digedein lagi?”
“Nggak bisa, kalau lebih dari 3 triliunan. Pengawas pemberantasan
korupsi bakalan curiga, tentunya partai kita terancam bila itu sampai terjadi.”
Jelas Raka mengeluarkan alasan.
“Persentase pembagiannya bagaimana?”
“Seperti biasa. Seperti waktu proyek pengadaan sarana
olahraga itu.” Biarpun terbilang muda, dan belum lama jadi anggota dewan.
Pikiran Raka terkadang, lebih licin, licik, dan briliant dari para seniornya
yang telah lebih dulu berada di jajaran anggota dewan. “Nanti setelah semua
anggaran cair, saya akan menyuruh orang saya untuk mengantarkan komisi
masing-masing ke rumah. Tapi semuanya harus berusaha sekuat tenaga, agar proyek
ini benar-benar teralisasi. Agar proyek ini bisa disetujui.” Lanjut Raka lalu
tersenyum.
“Pasti.” Ucap para anggota rapat, yang terdiri dari para
Menteri, dan beberapa anggota dewan itu bersamaan.
“Lumayankan buat tambahan.” Suara anggota rapat yang
lainnya, bernada bercanda. Membuat senyum tersembul dari para anggota rapat.
***
Proyek yang direncakan oleh beberapa anggota partai
pemenang pemilu, yang terdiri dari para anggota dewan juga para menteri itu. Akhirnya
disetujui. Banyak usaha yang mereka lakukan, dari mulai lobi-lobi politik.
Maupun memberikan pelicin kepada pihak-pihak berwenang, guna menyukseskan
pengelembungan anggaran yang telah mereka rencanakan.
Dan orang yang berada dibelakang itu semua, tokoh
intelektual yang bergumul dalam lumpur borok korupsi itu adalah Raka Ananda.
Maka tak berlebihan rasanya, beberapa anggota partai pemenang pemilu, yang
terdiri dari beberapa menteri juga anggota dewan itu. Membuatkan pesta
keberhasilan atas usaha Raka ini.
Ruang rapat partai, yang berada disalah satu lantai sebuah
gedung tinggi menjulang di ibu kota itu. Berhasil disulap jadi tempat asik buat
hang out beberapa anggota partai, yang terdiri dari beberapa menteri juga para
anggota dewan itu. Lengkap dengan beberapa wanita cantik mengenakan rok mini hadir diantara mereka.
Semua hiruk pikuk itu berjalan riuh. Hingga terdengar
tubuh seseorang yang terjatuh ke lantai. Bunyinya tak begitu keras, tapi cukup
memberi goncangan di seisi ruangan. Mengakibatkan orang mulai bergerak mendekati
kearah sumber suara. Mereka yang adalah beberapa anggota partai, yang terdiri
dari menteri, juga beberapa anggota dewan. Mengerumuni sesosok tubuh yang
tergulai lemas dilantai barusan dengan wajah panik. Karena setelah diperhatikan
dengan seksama. Tubuh itu tak bernafas, tubuh itu tak bergerak sedikitpun.
Yanti, sang sekertaris dari tubuh yang tergulai lemas di
lantai. Merasa kepanikan lebih dari pada apa yang dirasa oleh orang-orang
lainnya. “Sayang… bangun sayang. Kamu kenapa?” tak bisa ia sembunyikan mimik
wajah paniknya. Terus ia guncang-guncangkan tubuh yang dirasanya sudah tak
bernafas tadi. Berharap tubuh orang itu hanya pingsan karena keletihan, karena
mengurus proyek yang digadang-gadang bernilai triliunan. Berharap sang ayah
dari jabang bayi yang tengah ia kandung itu, menepati janji untuk segera
menikahinya. Ketika komisi dari proyek yang sedang ia kerjakan, telah
diterimanya.
“Pak Raka… bangun pak Raka.”
“Cepat
bawa pak Raka kerumah sakit!” beberapa koleganya berteriak panik. Entah panik
karena kondisi Raka yang tak sadarkan diri, atau panik karena bayangan tak jadi
menikmati hasil korupsi? Entahlah.
Bandung,
1 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar