Rani
mengemudi mobilnya menuju kantor. Perjalanan yang dekat, serasa berlalu dengan
lambat. Mobil yang dikemudikannya terjebak macet di pagi hari, kemacetan yang
rutin terjadi di setiap hari. Matanya yang masih tajam melihat, meskipun telah
memasuki kepala empat. Membuatnya terus melempar pandang, dan tak mau diam. Selalu
memandang kesana kemari, memandang di tengah kemacetan yang terjadi.
Karena
hanya dengan melakukan itu, ia dapat menghilangkan rasa bosan, karena masih
berada di kemacetan. Pandangannya tiba-tiba terhenti, saat melihat sosok
seorang wanita tua yang ada disebelah jalan. Sosok seorang wanita tua yang terlihat
kesusahan, sewaktu memunguti sampah.
Dari
wajah, dan tubuhnya, Rani memperkirakan wanita itu pastilah sudah berumur 50
atau 60 tahunan. Jalannya yang bungkuk, merupakan indikator bahwa seharusnya ia
sudah tak lagi bekerja. Entah alasan apa yang membuat ia masih saja bekerja, di
usianya yang mulai renta.
Tak menunggu lama, Rani mengarahkan
mobilnya ke sisi jalan yang sedang di laluinya. Rasa penasaran pada sosok wanita
tua yang barusan dilihatnya, membuatnya melakukan itu. Setelah mencari tempat
tuk memarkirkan mobil Mercy mewahnya itu. Dan memastikan mobil itu terparkir dengan
benar. Ia beranjak dari kemudi mobil, dengan gerakan yang cepat. Tujuannya
hanya satu, ingin sesegera mungkin menghampiri wanita tua yang dilihatnya tadi.
“Ibu.”
Ucap Rani sopan, saat sosok wanita tua tadi sudah sedemikian dekat dengannya. Wanita
tua itu sedikit termenung melihat Rani yang menghampirinya secara tiba-tiba.
Entah kaget, atau malah tak percaya dengan apa yang sedang terjadi padanya.
Dalam kehidupannya sebagai pemulung, tidak pernah ia sengaja dihampiri oleh
orang yang stelannya semewah Rani saat ini.
“Ada
apa Nyonya?” Ucap wanita itu sopan. Sekarang Rani yang nampak kebingungan.
“Mau
apa tadi aku menghampiri Ibu tua ini?” Ucapnya dalam hati, kebingungan setelah
sadar responnya, ternyata sudah mendahului pemikirannya.
“Nyonya?”
“Ehm
iya Bu. Ibu tau Jalan Kopo itu kearah mana nggak Bu?” Ucap Rani tak hilang
akal. Sedikit banyak, pengalamannya bertemu dengan orang yang berbeda-beda
dalam pekerjaannya. Telah membantunya menghadapi kondisi yang di luar dugaan,
seperti apa yang sedang di alaminya sekarang.
“Jalan
Kopo ya Nyonya?”
“Tak
usah panggil Nyonya Bu! Panggil saja saya Rani.” Sela Rani halus.
“Lurus
aja Nak Rani, terus ada belokan ke kiri. Itu udah masuk Jalan Kopo.” Wanita itu
mengangguk, lalu menjelaskan sambil mengarahkan telunjuknya. Rani sebenarnya
nyaris tak memperhatikan apa yang dikatakan oleh wanita tua itu, ia sudah tau kemana,
dan dimana jalan Kopo itu berada. Bahkan ia sudah tau seluruh jalan yang ada di
Bandung. Perhatiannya tertuju pada sosok wanita yang sekarang berada tepat
dihadapannya. Mendadak ia jadi teringat sosok seseorang, sewaktu memperhatikan wanita
tua yang ada dihadapannya.
***
Rima masih terus menderita. Semenjak
tiga belas tahun yang lalu, ia ditinggalkan oleh suaminya, suaminya yang pergi
ke kota dengan niat tuk mencari kerja, tapi tak pernah kembali ke hadapannya.
Sejak saat itu, dia lah yang mengambil alih urusan menjadi kepala keluarga, dan
berurusan dengan masalah mencari nafkah untuk ia, dan anak semata wayangnya.
Rani.
Di pagi hari, ia akan begumul dengan
lumpur yang ada di sawah. Menanam padi, menyemainya, kemudian memanen apabila
sudah cukup waktunya. Di sore hingga menjelang Maghrib, waktu kerja wanita ini
belum juga akan berhenti. Ia masih akan mencari batangan kayu bakar, yang
terdapat di antara semak belukar di dalam hutan. Tujuannya untuk dijual kepada
warga kampung yang sedang membutuhkan kayu bakar. Kalau tak ada warga kampung
yang mau membelinya, kayu bakar itu akan ia pakai sendiri, untuk keperluan
memasak di rumah.
Sesekali. Ketika ada warga kampung,
para tetangganya yang lebih beruntung. Memintanya tuk membantu mereka
membereskan rumah, Rima akan dengan senang hati membantunya. Pekerjaan seperti
memasak, mencuci piring, atau menyetrika pakaian akan dengan senang hati ia
lakukan. Karena itu dapat menambah pemasukannya.
Sering para petani lain, menyarankan
agar ia mengajak Rani untuk mau ikut serta membantu bekerja di sawah. Mengingat
kondisinya yang sudah tak muda lagi, teman-teman petaninya prihatin dengan
kondisi Rima, yang makin memburuk seiring bertambahnya waktu. Tapi semua saran
dari teman-teman sepekerjaannya, hanya dibalas senyum di bibirnya, tanpa ada
kata-kata yang keluar.
Dalam
pikirannya, ia hanya ingin Rani bersekolah. Tak usah ia harus letih berfikir
tentang segala macam rupa pekerjaan Ibunya. Ia tak ingin Rani harus berhenti
bersekolah, hanya karena sibuk membantunya di sawah atau pun mencari kayu bakar
di hutan.
Rima sangat percaya, wanita yang
bersekolah akan lebih berharga di dalam hidupnya. Walaupun mereka memang harus
ke dapur, saat mereka berkeluarga nanti. Memang mereka harus mengurus anak, dan
segala kecakapan rumah tangga, serta rumah mereka. Tapi pendidikan akan
membedakan mereka dari segi pikiran, serta wawasan yang ada di kepala mereka.
Ia percaya itu. Karena Kartini sudah
lebih dulu membuktikannya. Beliau, sudah lebih dulu ada. Sudah lebih dulu
tiada, di bandingkan ia. Tapi beliau telah membuktikannya, membuktikan bahwa
wanita yang bersekolah jelas akan berbeda. Walaupun itu memang tak nampak jelas
di luar, tapi isi aneh didalam kepala mereka benar-benar membuktikannya. Alasan
kuat yang akan ia perjuangkan, sebisanya, semampunya. Bukankah manusia memang
diwajibkan untuk berusaha, dan kemudian baru menyerahkan hasilnya pada Yang
Maha Kuasa?.
***
“Rani
besok nggak mau datang ke sekolah Bu.” Ucap Rani singkat, pada Rima sewaktu
membantu Ibunya menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Wajah pias Rima,
jelas tak bisa ditutupinya, ia nampak pucat mendengar hal yang paling
dihindarinya, yang malah keluar dari mulut anaknya. Dari mulut buah hati, yang
terus mengisi hari-harinya, dari mulut pelita di jalan gelap hidupnya. Dengan
cepat Rima memeluk anak kesayangannya itu, di dekapnya Rani anaknya, sambil
terus berusaha menahan keluar air mata.
“Kenapa
kamu ngomong kayak gitu Nak?” Tanya Rima, dengan hati yang kecewa.
“Ani
mau bantu Ibu aja di sawah, Ani nggak mau sekolah lagi.” Pertahanan Rima bobol
sudah. Air mata yang selama ini terus berusaha tuk ditahannya, agar tak pernah
keluar. Kali ini tumpah, bak air bah. Menenggelamkannya dalam kesedihan, yang
ia pun sudah lupa kapan terakhir kali merasakannya. “Ibu kenapa nangis? Ani
nggak pernah liat Ibu nangis? Ibu marah ya sama Ani?” Tanya Rani pada Ibunya,
yang tengah medekapnya erat.
“Mulai
dari sekarang, jangan pernah keluarkan kata-kata seperti itu lagi kepada Ibu ya
Nak!”
“Kenapa
Bu? Apa nggak boleh Rani membantu Ibu?”
“Kamu
mau membantu Ibumu ini Nak?” Tanya Rima, dengan suaranya yang masih terdengar
tak jelas, karena diselingi dengan isak tangis.
“Iya
Bu, Rina mau ngebantu Ibu.”
“Mau
ngelakuin yang Ibu minta? Untuk ngebantu Ibu?” Rina menganguk seyakin-yakinnya.
“Kalau begitu sekolah lah yang baik! Lulus lah SMA! Dan berkuliah lah!” Jawaban
Rima, mengagetkan anak satu-satunya itu. Rina yang gadis desa, tak pernah
berfikir tuk kuliah. Bahkan pendidikan SMA yang sekarang tengah dienyamnya,
sudah termasuk tinggi untuk ukuran gadis-gadis di desanya tempat tinggalnya. Yang
rata-rata mereka hanya bersekolah sampai tingkat SD. Tak pernah terlintas
dipikirannya, Ibunya yang wanita dusun, tak pernah sekolah, tak bisa baca, dan
tak bisa menulis. Tapi beliau bisa memiliki cita-cita setinggi itu. “Sekolah
itu salah satu jalan untuk kita bisa masuk surga Nak. Jalan terbaik untuk
berbahagia di dunia, dan berbahagia di akhirat. Jangan pernah lupa itu Rani.”
Perbincangan, dan pelukan hangat Ibu dan anak ini, berakhir sudah. Dengan tanda
tanya besar, yang berada dibenak Rani.
***
“Bu
aku pulang.” Sorak Rani sesampainya ia dirumah, setelah lima tahun tinggal di
kota. Lima tahun ia tak pernah pulang, karena memang dilarang oleh Ibunya. Rima
Ibunya, selalu mengatakan hal yang sama saat Rani berfikir tuk mengunjunginya
di desa.
“Lebih
baik, uang yang akan kamu pakai buat pulang itu. Kami simpan untuk keperluan
kuliah! dari pada digunakan untuk keperluan foya-foya seperti pulang kampung.
Pulanglah kamu bila telah kau selesaikan kuliah mu itu anakku.”
Selama berkuliah, Rani memang tak
pernah mengharapkan uang kiriman dari Ibunya. Tapi Ibunya tetap saja
mengiriminya uang walaupun sudah dilarangnya. Keaktif Rani menulis cerpen,
puisi, atau meresensi buku yang baru selesai dibacanya, sangat membantu
keuangan Rani. Karena dari honor tulisan-tulisan itulah dia bisa setidaknya
aman dalam segi keuangan. Apalagi sedari kecil, Rima sudah menerapkan pola
hidup hemat kepada anaknya ini. Membuatnya tidak terlalu sulit dalam mengelola
keuangannya.
Sebenarnya, sudah beberapa bulan ke
belakang. Rasa Rani tuk pulang makin besar. Kiriman uang dari Ibunya, yang
biasanya datang di setiap bulan. Beberapa bulan kebelakang tak kunjung datang,
hal itu seakan jadi pertanda buruk untuknya. Tapi semua niat untuk pulang,
terbendung saat ia mengingat kata-kata Ibunya. Saat Ibunya juga tak membalas
surat undangan tuk datang pada hari Wisudanya. Rasa ingin pulang itu akhirnya
sudah tak terkendali. Membuatnya risau dengan keadaan Ibunya.
“Ibu… Ibu… Ibu…” Ucap rani sesampainya ia di
dalam rumah itu.
“Ibu…
Ibu…” Kembali ia memanggil, tapi masih tak ada jawaban dari dalam rumah. Ia
mengarahkan pandang ke sekeliling rumah yang tak begitu luas. Setelah merasa Ibunya
sedang tak berada di rumah. Kakinya berlari menuju ke rumah Mbak Sari, tetangga
terdekat yang sering membantu Ibunya.
“Mbak
Sari…”
“Eh
Rani, kapan kamu pulang?”
“Barusan
Mbak. Oh iya mbak, mbak tau Ibu dimana nggak?” Mendengar pertanyaan Rani, wajah
Mbak Sari terlihat sedikit gugup karenanya. Rani membaca perihal keganjilan ini,
ia mencoba bertanya, tapi tak berani untuk berhadapan dengan kenyataan yang
akan ia dengar.
“Ibumu
udah pergi duluan Rani.” Tak ada air mata, atau kristal-kristal kecil penghias
bola mata Rani. Hanya ada sepi, senyap, mereka berdua terdiam. Tidak terlintas
satu katapun dari mulut Rani, atau Mbak Sari. Kesedihannya yang terlalu dalam,
membuat Rani bahkan tak tau harus berbuat apa sekarang.
***
“Nak
Rani.” Satu suara mengagetkan Rani.
“Eh
iya Ibu ada apa?”
“Kenapa
ngelamun?”
“Nggak
Ibu, nggak kenapa-napa.”
“Ya
udah, Ibu ngelanjutin kerja lagi ya Nak.” Ucap wanita tua itu halus. Tubuhnya
melewati Rani, sedangkan Rani hanya terdiam.
“Tunggu
sebentar Bu.” Seru Rani spontan, sambil membalikan badannya. Guna memanggil wanita
yang barusan telah berlalu darinya. Wanita itu terperanjat, terdiam, tapi
padangan matanya sangat menyejukan. “Ibu, saya lagi butuh orang yang mau
bantu-bantu di rumah. Ibu mau nggak bantu-bantu saya di rumah?” Sebelum wanita
itu sempat menjawab, Rani langsung mengajaknya naik ke dalam mobil.
Sampah-sampah yang ada dikarung, yang dari tadi sudah dikumpulkan wanita tua
itu. Ditaruh Rani kedalam bagasi mobil Marcinya. Ia seakan tak perduli, mobil
mewahnya itu bisa jadi bau macam-macam, karena sampah-sampah itu. Yang ia
perduli adalah sosok wanita itu mengingatkannya pada sosok orang yang paling
dicintainya. Sosok Ibunya.
“Ibu
kenapa masih mau kerja aja Bu. Apa nggak cape Bu? Kan sampah-sampah itu pasti
berat?”
“Hati
saya lebih berat lagi kalau anak-anak saya pada nggak bisa sekolah Nak Ran…” Wanita
itu tak berani melanjutkan pembicaraanya, karena sadar sosok yang ada di
sebelahnya sekarang. Merupakan sosok majikannya di esok hari.
“Panggil
aja Nak Rani Bu, enak kok saya dengernya. Emang anak Ibu masih sekolah ya Bu?” Wanita
itu menganggukan kepalanya. “Kelas berapa aja Bu?” Tanya Rani lagi
“Ada
yang udah kuliah satu orang, dua orang masih SMA.”
“Ibu
semangat banget ya nyekolahin anak-anaknya.” Balas Rani kagum.
“Menurut
Ibu, sekolah itu salah satu jalan untuk kita bisa masuk surga Nak. Jalan
terbaik untuk berbahagia di dunia, dan berbahagia di akhirat nanti, Nak Rani.”
Hati Rani tersengat, pikirannya teringat sebuah kata yang pernah ia dengar
sebelumnya. Tanpa ia sadar, air mata deras mengalir di sela-sela pipinya.
“Kenapa Nak Rani? Ibu salah ngomong ya?”
“Nggak
Bu. Ibu nggak salah ngomong. Ibu benar sekali.” Ucap Rani, masih terisak.
Bandung, 10 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar