Negeri
indah ini bernama Indonesia, sebuah negeri yang letaknya di tengah-tengah garis
khatulistiwa. Khatulistiwa adalah sebuah garis imajiner yang memotong bagian
timur dan bagian barat bumi. Salah satu kegunaanya untuk memperkirakan iklim
yang mempengaruhi setiap tempat yang ada di bumi. Karena tepat berada di tengah
garis khatulistiwa, membuat negeri ini beriklim tropis. Sehingga suhu di negeri
ini tidak terlampau dingin atau tidak terlampau panas, siapapun akan betah
berada disini. Matahari pun sudi menyinari negeri elok ini hampir di sepanjang
tahun. Hujan dan panas datang silih berganti secara teratur, serba pas tak
berlebihan. Tanah mereka subur, yang bahkan potongan kayu konon bisa jadi
tanaman bila kita tancapkan ia di tanahnya. Negeri ini benar-benar indah bukan
buatan, tanpa dihiasi dengan aksesories yang tujuannya untuk memperindah pun,
negeri ini sudah indah duluan.
Selain
keindahan alam, dan kekayaan melimpah yang ada di dasar laut dan di atas daratnya.
Masyarakat Indonesia juga terkenal sangat ramah. Kata orang-orang di luar
negeri sana, bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat elok perangainya.
Keluargaku
dari dahulu kala sudah ada di Indonesia. Keluargaku senang tinggal di
Indonesia, karena orang-orang Indonesia berteman akrab dan mau menerima
kehadiran kami di negerinya tanpa pikir panjang, dan tanpa syarat apapun.
Suatu
hari Kakek pernah bercerita padaku. Sebuah kenangan kelam yang memilukan untuk
Bangsa Indonesia.
“Ada bangsa lain yang
pernah menjajah Indonesia, mereka menjajah bangsa Indonesia sampai tiga ratus
lima puluh tahun lamanya, ada juga yang cuman menjajah selama tiga setengah
tahun. Sebelum itu juga ada bangsa- bangsa lain yang telah lebih dulu menjajah
Indonesia. Tapi mereka tetap tak berubah sedikitpun, bangsa mereka tetap
menjadi bangsa yang bijak, ramah, harmonis, dan menghargai satu sama lain. Suatu
ciri dari sebuah bangsa yang besar.”
Tapi,
sepertinya saat ini semua itu telah berubah, semua telah berbeda. Apa yang
digaung-gaungkan dan sampai ke telingaku, lenyap semua tak bersisa. Seakan itu
semua tak pernah ada di negeri ini. Cuman legenda, atau hanya mitos yang menyebar
diantara bualan omong kosong bangsanya sendiri.
Pikirku,
kakek pasti telah kena tipu. Ketika aku berada di negeri ini, ku lihat bangsa
ini begitu kacau, anak muda mereka telah jadi apatis, tak perduli, tutup
kuping, tutup telinga, tak mau tau sama sekali dengan keadaan bangsanya.
Sementara orang tua mereka juga tak kalah parah kerusakannya. Orang tua seakan
tak mengerti, tak tau bagaimana mereka harus bersikap. Nyaris tak nampak apa
yang pernah kakekku ceritakan padaku tentang Bangsa dan Negeri Indonesia.
Menurutku.
Tak akan lama lagi, bila benar mereka tidak mau berubah. Bangsa ini, hanya akan
tinggal namanya saja, karena telah lebih dulu hancur di dalam lubang galian
mereka sendiri. Sadar berada di sebuah lubang galian, lubang galian yang mereka
gali sendiri. Bukannya berhenti untuk mengali lubang, bangsa ini malah makin
asik, dan rajin serta bersemangat meneruskan mengali lubang itu. Yang cepat
atau lambat hanya akan membuat mereka terkubur didalamnya, dalam keadaan hidup-hidup,
setengah hidup, hidup-hidupan, atau raga hidup tapi hatinya telah mati.
***
Aku
menyesal datang ke Indonesia, aku menyesal karena telah dengan mudah termakan omongan
kakek. Aku menyesal, karena datang ke Indonesia aku harus berpisah dengan
kekasihku. Aku tak bisa diterima di negeri ini, sementara kekasihku sudah
sedari lama menjadi musuh buat banyak pemimpin di negeri ini.
Letih mencari tempat tinggal yang layak dinegeri ini. Sejauh
perjalan yang ku tempuh, hampir tak ada tempat yang bisa menerimaku. Terus
mengapa mereka dulu bisa menerima seluruh keluargaku?. Mengapa bangsa ini,
sekarang seperti ini?. Kemana perginya bangsa mereka yang dulu?.
“Mengapa sekarang
mereka tidak bisa menerimaku?” Gerutuku di sela-sela pencarian tempat yang
layak. Yang membuatku teringat kata-kata terakhir dari kekasihku sebelum aku
pergi meninggalkannya.
“Datanglah ke
Indonesia, dan mustahil kau akan dengan mudah mendapatkan tempat yang layak
untukmu.” Ucapan itu masih terngiang di telingaku. Sejenak aku berfikir,
mungkin benar dengan apa yang dikatakannya. Tapi aku masih belum ingin menyerah
sampai disini. Aku yakin di Indonesia, masih ada tempat untukku. Aku akan terus
mencari tempat layak untukku, tempat yang layak untukku di Indonesia. Dan perjumpaanku dengan guru-guru sejarah di
Indonesia, membuat keyakinanku masih bisa menyala.
Dari
mulut guru-guru itu aku tau, dahulu kala bangsa Indonesia tak begini rupa, dan akhirnya
aku tau kalau apa yang aku dengar dari kakekku memang benar-benar pernah ada
disini. Mereka dulu adalah sekumpulan orang di dalam bangsa yang besar, bangsa
yang memerdekakan dirinya sendiri dari tangan para penjajah yang terus datang
ke negerinya. Para penjajah itu datang, ingin menguasai seluruh kekayaan yang
dimiliki bangsa ini.
Bahkan
ada bangsa penjajah yang menjajah mereka sampai tiga ratus lima puluh tahun,
bayangkan! tiga ratus lima puluh tahun. Bangsa yang menjajah mereka sampai
karatan itu ada di negeri mereka, tapi mereka tetap berjuang. Ada yang cuman tiga
setengah tahun saja, tapi kejamnya minta ampun. Dan mereka masih tetap
berjuang. Tujuan mereka cuman satu, mereka hanya ingin merdeka. Merdeka, kuat
berdiri di kaki sendiri, dan bebas berusaha untuk memajukan bangsanya kearah
lebih baik. Karena penjajah itu hanya bisa merusak bangsa ini, memperbudak
semua rakyatnya. Awalnya kemerdekaan itu manis rasanya, sampai lupa diri
akhirnya menghinggapi hati mereka setelah merdeka, mereka lupa bahwa bukan
hanya penjajah-penjajah itu saja yang menjadi musuhnya.
Mereka
lupa, musuh mereka yang nyata dan yang sebenar-benarnya ada di bangsa ini, di
bangsa besar Indonesia. Tidak lain dan tidak bukan, adalah diri mereka sendiri.
Dan sekarang lihatlah! Lihatlah kehancuran bangsa ini malah lebih parah dari
apa yang pernah dibuat oleh penjajah manapun. Bangsa mereka telah menjajah
bangsanya sendiri. Mungkin raga yang melayang tak sebanyak apa yang disebabkan
oleh bangsa lain yang menjajah. Tapi lihatlah hati yang mati itu, aku yakin
pasti lebih banyak dari pada hati yang mati karena penjajah.
Hati
yang mati karena dijajah oleh bangsa lain, bukan jadi halangan buat bangsa
besar ini. Tubuh mereka boleh saja dijajah bangsa lain, tapi hati mereka tetap
besar, dan merdeka. Tapi lihat hati bangsa ini sekarang!, hati yang hancur,
karena sadar penjajah saat ini adalah bangsanya sendiri. Raga mereka merdeka,
tapi hati mereka mati. Aku yakin pasti hati yang mati, lebih banyak dari pada
apa yang disebabkan oleh penjajah-penjajah itu. Mereka telah lupa bahwa setan
itu bukan hanya merasuki hati para penjajah-penjajah kejam itu. Setan juga bisa
merasuk ke dalam hati mereka, kedalam hati bangsa ini.
Kembali
kulayangkan pertanyaan pada kakek, kali ini untuk berdiskusi tentang
hipotesisku barusan. “Kek kenapa negeri ini sekarang jadi begini, apa benar
ketamakan, munafik, telah benar-benar menguasai mereka? Apakah masih ada bangsa
Indonesia yang sesungguhnya saat ini?” Setelah apa yang aku katakan kepada
kakek. Kakek masih saja berfikir bangsa ini adalah bangsa yang besar.
“Kau hanya melihat
seratus atau seribu orang yang ada di Indonesia. Coba kau lihat ratusan ribu,
atau jutaan orang lainnya yang ada di Indonesia. Kau akan sangat betah berada
di sini. Menghargai bagaimana bangsa ini masih bisa terus berdiri, di tengah-tengah
keadaan yang kadang tak pernah menghiraukan hati nurani.”
Setelah
mendengar ucapan kakek, aku berpetualang kesana kemari, kepelosok negeri ini. Ternyata
memang ada tempat-tempat yang bisa menerimaku. Walaupun jumlahnya memang tak
begitu banyak. Tetap ku bersyukur karena masih ada tempat untukku, tempat yang
bisa menerimaku. Tempat-tempat semacam rumah ibadah, kampus, daerah-daerah
pedesaan, dikolong-kolong jembatan, di rumah-rumah keluarga miskin, yang selama
ini di anak tirikan para pemimpin. Ternyata masih bisa menerima kehadiranku,
tapi hanya sedikit, sangat-sangat sedikit jumlah orang yang mau menerimaku.
Ini
semua pasti akibat banyaknya tempat di negeri ini, telah lebih dulu dikuasai
oleh kerakusan dan kebohongan. Kesenangan para pemimpin-pemimpin mereka yang
berteman akrab dengan kebohongan, munafik, korupsi, kebijakan tak pro rakyat,
membuat tempat-tempat yang merupakan kantor pemerintahan selalu menolak keras
kehadiranku.
Coba
saja kerakusan dan kebohongan belum hadir disana. Bangsa Indonesia yang ada di kantor-kantor
pemerintahan pasti akan menerima kejujuran-kejujuran semacam aku ini sebagai
teman mereka. Sehingga bisa rakyat mereka hidup di atas negeri mereka dengan
damai dan tenang hati.
***
“Kek sekarang aku
benar-benar menyerah untuk berada di negeri ini.” Ucapku kepada Kakekku. Kakek
tersenyum, dan berkata setengah berbisik.
“Kau, harus tetap
berada disini. Kejujuran-kejujuran seperti kita ini harus terus berusaha untuk
ada di Negeri Indonesia. Kalau kejujuran-kejujuran seperti kita pergi dari
Negeri Indonesia. Terus, apa kata dunia?”
“Tapi banyak diantara
mereka, hatinya telah mati.” Aku mengeluh sedikit menahan emosi, dan rasa kesal
dengan keadaan bangsa Indonesia.
“Ingat, orang yang kau
temui itu hanya sebagian. Masih banyak tempat ibadah, kampus-kampus,
sekolah-sekolah, desa-desa kecil, desa-desa tertinggal, desa-desa ditinggal,
yang sangat membutuhkan kehadiran kita disana. Menurut kakek, kau tidak perlu
meninggalkan negeri ini. Biar kau tidak terlalu sakit hati, kau tidak perlu
datang-datang lagi ke gedung-gedung pemerintahan. Disana banyak orang-orang
yang lebih senang untuk berteman dengan kemunafikan, iri, dengki, kebusukan,
keserakahan, dan jelas kebohongan. Kejujuran-kejujuran seperti kita hanya jadi
musuh untuk orang-orang yang ada disana.” Masih bingung aku tuk mengerti apa
yang disampaikan kakek, kakek kembali menasehatiku. “Dan jangan pernah membawa
kekasihmu ke Indonesia ya cucuku!. Kekasihmu yang keadilan, tak lebih seperti kotoran
di negeri ini. Kau pastinya tidak ingin, kekasih yang sangat kau cintai. Yang
keadilan itu, diperlakukan seperti kotoran di negeri ini kan?”
Bandung,
1 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar