Raka
siap tuk bergerak meninggalkan rumahnya. Setelah merasa semua kunci pintu, juga
jendela rumah ditutupnya dengan rapat. Sehingga tak akan ada orang yang bisa
masuk kedalam rumahnya. Ia mulai melangkah kedepan rumah, menunggu taksi yang
sebelumnya telah ia pesan. Statusnya yang masih lajang, membuat rumahnya tak
berpenghuni kala ia sedang bekerja. Menuntutnya harus berhati-hati saat akan
pergi keluar dari sana.
Menunggu
taksi di depan rumah. Ia mulai merogoh saku bajunya, sekedar mengambil bungkus
rokok. Untuk kemudian mengeluarkan satu batang dari dalam sana lalu
menghisapnya. Tapi baru saja ia ingin mehirup hisapan kedua dari batang rokok
yang ia selipakan di bibir. Pemandangan tak biasa tiba-tiba menyergapnya.
Pemandangan yang kurang mengenakan bagi pandangan mata di pagi hari, kala
mentari belum cukup sampai di poros tengah hari.
Dilihatnya
beberapa ibu yang sedang berbelanja sayuran di sebuah warung dekat dengan
rumahnya, menggunakan baju, tanpa mengenakan celana. Atau penutup bagian bawah
paha sampai ke kakinya. Mereka disana tampak santai, dan tak berdosa, seperti
sudah biasa melakukannya. Terus asik bercengkrama satu dengan yang lainnya,
entah sedang membicarakan apa?
Tak
mau ambil pusing dengan pemandangan yang baru saja dilihatnya. Raka menaiki
taksi berlambang burung biru, yang menjemputnya. Tubuhnya ia sandarkan di jok
mobil yang empuk. Matanya ia coba pejamkan sejenak, sambil menghirup nafas
dalam-dalam. Sepertinya pemandangan yang baru saja ia lihat, membuatnya jadi
shock berat.
Cukup
lama menutup mata, sudahlah ia merasa lebih tenang jadinya. Mulai lagi ia
larikan pandangannnya kearah luar jendela. Satu bangunan, dan bangunan lainnya.
Ia lalui, biasa saja. Di sebuah bangunan, yang tengah berdiri di area tanah
sangat luas. Di bangunan salah satu kantor milik pemerintah. Batinnya terhentak
kembali. Merasa ada keganjilan, ia segera mengucek matanya, cepat, sampai
matanya terasa pedih karenannya.
Sekali
lagi, tak bisa lagi ia sembunyikan rasa herannya. Pemandangan di warung sayur dekat
rumah, dengan ibu-ibu yang tak mengenakan bawahan, baik celana, ataupun rok.
Sekali lagi ia lihat dengan mata telanjang. Disana, para pegawai yang hendak
masuk kerja ke kantor. Berjalan, juga ada yang berlari. Ada yang jalan
sendirian, ada yang datang ke kantor bersama dengan temannya. Mereka semua
bekerja tanpa menggenakan celana. Atau apapun bawahan pakaian mereka. Sehingga
bisa ia lihat bokong, dari beberapa pegawai pemerintah. Hanya beberapa diantara
mereka yang mengenakan bawahan, guna menutupi aurat mereka. Mereka berpakaian
seragam lengkap. Sedangkan yang lainnya, dengan jumlah lebih banyak. Bekerja
tanpa mengenakan bawahan, bertelanjang paha saja.
Raka
kembali menarik nafas panjang. Merasa masih belum bisa percaya dengan apa yang
baru saja dilihatnya. Sadar dengan kegelisahan yang sedang dialami Raka, supir
taksi yang dinaiki Raka. Melihat pelanggannya, dengan menggunakan spion dalam
mobil. “Ada apa pak? Kok keliatannya gelisah sekali.”
Cepat
Raka melarikan pandangannya menuju kearah supir taksi itu. “Bapak emang nggak
lihat, pegawai-pegawai pemerintah itu kerja. Pake baju, tapi nggak pake
celana?” jawab Raka spontan.
Sang
supir diam, tak langsung mengeluarkan suara dari mulutnya. Matanya masih serius
melihat jalan yang sedang dilalauinya. “Lah emangnnya begitu ya biasanya?”
“Maksud
bapak?” heran Raka mendengar jawaban supir taksi barusan.
“Pegawai
pemerintahkan banyak yang nggak tau malu. Maunya digaji, tapi kerjanya kacau.
Itu udah rahasia umum pak, tapi toh masih aja banyak yang nggak malu. Berarti
sama aja kan pake baju tapi nggak pake celana? Nggak tau malu pak.”
Sejenak,
biar tak terlalu terlihat jelas. Tapi Raka menggangukan kepalanya, ia cukup
sependapat dengan argument dari supir taksi itu. Pandangannya kembali dilemparnya
kearah luar, sambil diliputi satu perasaan was-was. Takut-takut, ia kembali
melihat pemandangan yang merusak paginya lagi. Dan benar saja. Ketika taksi
yang sedang dinaikinya, berjalan melintasi sebuah gedung milik salah satu media
cetak di Indonesia. Ia tercengang, untuk yang kesekian kali. Matanya kini
membelalak, cukup lama matanya seakan lupa cara buat berkedip.
Di
depan kantor media cetak itu, di muka kantor yang katanya selalu menghadirkan
kejujuran dalam pemberitaan. Banyak dilihatnya, orang-orang. Entah pegawai kantor
media cetak itu, atau bukan. Tapi yang jelas, banyak diantara mereka.
Mondar-mandir, bergerak seakan dikejar waktu. Berlari menuju satu orang ke
orang lainnya. Tanpa menggunakan celana, atau rok untuk menutupi bawahan
mereka. Mereka juga bertelanjang paha.
Kalau
di depan kantor pemerintahan tadi. Bisa ia sependapat dengan supir taksi, yang
menyetir taksi yang sekarang dinaikinya. Tapi mengapa di kantor sebuah media
cetak, yang konon mengabarkan kejujuran dalam setiap pemberitaan. Bisa juga
para pegawainya, bekerja tanpa menggunakan celana?
Lantas
mengapa di warung sayur depan rumah. Ibu-ibu bercengkrama, saling berbicara,
menjalin komunikasi. Membeli sayur, atau bumbu masakan. Juga tanpa menggunakan
celana, atau bawahan penutup pakaian. Kenapa mereka semua harus bertelanjang
paha?
“Ada
apa lagi pak?” supir taksi didepannya, bertanya ramah.
“Enggak
ada apa-apa pak?” jawab Raka singkat. Ia tak ingin, kembali mendengar satu
argumen. Yang bisa membuatnya sependapat dengan pikiran seorang supir taksi.
***
Semakin
lama taksi yang ia naiki, semakin dekat pulalah ia ketujuannya. Tak lagi
dihiraukannya mengenai orang-orang yang dari tadi bertelanjang paha sewaktu
mereka berada dikantor tempat mereka bekerja.
Tak
terhitung lagi oleh Raka, berapa banyak kantor yang pegawainya bekerja tanpa
menggunakan celana. Yang sudah dilaluinya selama perjalanan ke tempat kerja. Hampir
sampai ditujuan. Raka coba melihat argo taksi yang ia naiki. Sampai sebuah
pemandangan yang dari tadi sudah banyak dilihatnya, kembali menghampiri. Supir
taksi, yang tadi berkomentar tentang bagaimana pegawai pemerintahan. Bekerja
dengan mengenakan baju, tanpa mengenakan celana. Dan yang sekarang ini
dilihatnya. Adalah sang supir taksi yang bekerja, mengenakan baju, tanpa
mengenakan celana.
“Kenapa
Pak?” suara supir taksi itu, mengagetkan Raka.
Mata
Raka, sangat cepat mengalihkan pandangannya. “Ah nggak apa-apa Pak.” Jawab
Raka, sedikit gelagapan. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya mengapa semua ini
bisa terjadi. Mengapa banyak orang pakai baju, tapi tak pakai celana? Apa
mereka semua tak malu bertelanjang paha seperti itu? Dilihat banyak orang,
mereka berpakaian tak lengkap? Lalu bagaimana dengan mereka yang memiliki badan
indah, tubuh yang halus, dan wajah yang cantik? Apa mereka tidak sayang mengobral
keberhargaan mereka di depan banyak orang. Dengan cara mengenakan baju, tanpa
mengenakan celana?
Silih
berganti pertanyaan berseliweran dalam benaknya. Nalurinya, telah secara
alamiah membuatnya berpikiran kritis untuk setiap kejadian. Berfikir logis,
tentang setiap kemungkinan. Mencari jawaban dari setiap persoalan. Mengomentari
setiap kebijakan yang ganjil negeri ini. Tanpa itu semua, ia tak mungkin
mendapatkan kerja. Tak mungkin ia diundang ke berbagai stasiun televisi untuk
dimintai pendapat, mendebatkan suatu masalah yang sedang terjadi di negeri ini.
Ia adalah harapan negeri ini, saat tak ada lagi yang bisa dipercaya untuk
mengontrol para penyelenggara negara. Dengan komentar-komentarnya, baik di
media elektronik, ataupun cetak. Pemerintah akan disorot lebih dalam lagi,
sehingga ia merasa mustahil kebenaran bisa disembunyikan.
“Pak sudah sampai.” Ucap supir taksi, mengagetkan lamunan
singkat Raka.
Matanya
melihat supir taksi itu, “Berapa Pak?”
“Dua
puluh lima ribu Pak.” Sahut supir taksi itu halus. Gerak tangan Raka, spontan
mengarah kearah bawah. Ingin ia mengabil dompet di saku celanannya. Tapi
setelah ia arahkan tangannya ketempat biasa ia menyimpan dompet di saku
celananya, bukannya saku celana yang dipegangnya. Melainkan yang lain. Matanya
cepat melihat kearah bawah, dan betapa terkejutnya ia ketika sadar tentang
celananya. Yang sedari tadi rupanya tak ia kenakan.
Bandung,
1 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar