Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap
bulan ramadhan menjelang, aku akan membantu ayah dikiosnya. Menjual baju anak.
Setidaknya sampai hari lebaran datang inilah yang kunamakan kesibukan. Dan dipagi
ini, kira-kira seminggu menjelang lebaran. Aku datang lebih awal, lebih pagi
dari hari-hari sebelumnya. Pengunjung yang datang ke pasar seminggu menjelang
lebaran, memang jauh lebih banyak dari hari-hari kemarin. Lewat asumsi inilah,
aku berfikir akan banyak pembeli yang mencari baju bedug buat anaknya.
Membuatku memutuskan buka toko lebih awal jadinya.
Sampai dimuka toko, aku lakukan
rutinitas biasa. Membuka roling door toko, untuk kemudian memajang semua barang
dagangan, berharap para pengunjung bisa melihatnya. Sehingga mau singgah, atau
malah berniat membeli baju anak yang ada di toko ayah.
Selesai dengan segala urusan, membuka
roling door, memajang pakaian, menyusun barang, serta beberapa kewajiban
membersihkan toko. Seorang pembeli menghampiri datang ke toko ayah, ia seorang
bapak tua yang berpakaian lusuh. Kumisnya tumbuh tak rata, karena dipangkas
bukan dengan alat cukur. Rambutnya kering, sedikit pirang karena kepanasan.
Melihat penampilannya, pikiranku tak
bisa kukendalikan agar tak meremehkan pengunjung pertama toko yang sekarang ada
dihadapanku ini. Sekilas aku berfikir tak ada gunanya, melayani pembeli yang
maunya cuman merepotkanku dengan segala pertanyaannya berkaitan harga satu
pakaian, dengan pakaian lainnya. Membandingkan barang dagangan yang ada ditoko
ayah, dengan toko lainnya. Atau malah meremehkan barang yang dijual toko ayah,
karena menurutnya harga pakaian ditoko ayah terlalu mahal buat barang yang kurang
bagus.
Tapi itu semua lenyap saat ayah memberi
isyarat buat melayani bapak itu. Maka dengan berat hati, masih ogah-ogahan. Aku
paksakan tuk bertanya, “Boleh pak baju anaknya.” Ucapku cukup terbiasa. “Baju
anak buat umur berapa pak?” lanjutku menawarkan. Tak ada jawaban dari bapak
yang ada didepanku ini, matanya masih melihat barang yang dipajang di toko
ayah. Aku berfikir dia sedang memilih-milih pakaian yang kira-kira akan ia
berikan pada anaknya. “Anaknya cewek-cowok pak?” tanyaku kembali, merasa tak
ingin lebih lama lagi waktuku terbuang.
“Yang itu berapa ya bang?” suaranya
keluar, sambil menunjuk kearah etalase pakaian yang ada dibelangku. Disana
tersusun deretan baju yang dikenakan pada patung-patung plastik, berukuran
setengah badan anak-anak.
“Yang mana pak?” aku membalikan badan
juga kepala, memfokuskan pada arah telunjuknya.
“Yang merah itu.” Jawabnya tetap
menunjuk kearah deretan pakaian anak yang dipajang dibelakangku.
“Yang ini?” tanyaku, ikut mengarahkan
telunjuk pada salah satu pakaian anak berwarna merah, dihiasi motif tanda hati
diseluruh bagiannya.
Bapak itu mangut-mangut cepat, “Iya yang
itu harganya berapa?”
Tanpa menunggu pertanyaan selanjutnya,
aku meraih baju yang dipilih bapak itu. mengambil baju yang dikenakan patung plastik,
lalu menaruhnya keatas meja. “Yang ini seratus dua puluh ribu.” Kuberitahu
harganya cepat.
“Bisa kurang.” Bapak itu menawar. Aku mengganguk.
“Kalo yang itu berapa?” belum menawar. Ia kembali menunjuk kearah salah satu
pakaian yang dikenakan patung plastic yang dietalase.
Aku kembali membalikan badan, “Yang itu
sembilan puluh ribu.” Langsung kuberitahukan harga barang yang ia inginkan.
Kemudian hal yang sama, aku lakukan. Kuraih patung plastik yang sedang
mengenakan pakaian yang bapak itu inginkan. Aku lepas pakaian itu dari
patungnya. Lalu menyodorkan barang itu padanya.
Ia melihat, serta meraba pakaian yang
baru saja ku sodorkan. Lalu mencoba melepaskan pakaian yang dikenakan patung,
yang sebelumnya telah aku turunkan. Lewat gerakan yang terbiasa. Aku meraih
patung itu, lalu melepaskan pakaian yang dikenakannya. “Biar saya aja pak.” Selaku
seramah mungkin.
Baju yang didominasi tanda hati itu
masih dipegannya. Dan baju kedua, sekarang mulai ia raba-raba juga. Setelah
cukup lama meraba kedua pakaian itu. Ia letakan keduanya kembali kemeja. “Dua
ini seratus ribu ya bang.” Tawarnya singkat, tapi dengan daya kejut yang tak
bisa kusembunyikan diraut wajahku. Ternyata penilaian awalku tentang orang ini,
benar adanya. Ia tak hendak membeli, hanya ingin membuat aku kerepotan dengan
hal remeh yang sedang ia rencanakan. Atau malah ia ingin membeli, barang yang
mahal dengan harga murah? Itu sama saja dengan menghina barang daganganku. Dan
aku malas untuk terus melayaninya.
“Wah belum bisa pak.” Aku mulai ketus.
Bapak itu, kembali melihat serta meraba
dua pakaian yang barusan ia pilih. Tapi setelah itu, tangannya seakan memberi
pertanda kalau ia memang sangat menginginkan dua baju pilihannya ini.
Gerak-gerikanya membuatku jadi curiga, jangan-jangan ia adalah maling yang
berpura-pura ingin membeli. Bukan sekali dua kali, aku mendengar hal itu
terjadi.
Ini adalah pasar, dan segala bisa
terjadi disini. Orang niat baik, niat jahat. Bisa ada disini. Orang dengan
banyak uang, atau malah bermasalah dengan keuangan menyatu tak bisa dipisahkan.
Pasar bukan hanya, tempat bertemunya penjual juga pembeli. Lebih dari itu,
pasar adalah arena orang melakukan hal-hal yang tak bisa diduga. Menawar,
membeli, mencuri, atau cuman cari angin bisa orang lakukan disini. “Berapa dong
bang pasnya?”
“Paling kalau bapak mau beli dua, saya
kasih dua ratus ribu.”
Tak ada sahutan dari bibir bapak itu,
tangannya terus mengelus-ngelus pakaian yang ada didekatnya. Terus
memperhatikan dua pakaian itu secara seksama. Seperti takut, ada cacat yang
terdapat dikedua pakaian tersebut. “Seratus lima puluh ribu aja ya bang?”
“Dua ratus ribu udah murah pak? Ini
barang import, kalau barang lokal mungkin bisa segitu.” Sahutku, menjelaskan.
Karena sejak pasar bebas mulai diberlakukan. Bisa dibilang segala hal, termasuk
pakaian yang masuk kenegeri ini datang dari luar negeri. Tak terkecuali pakaian
anak didalamnya.
“Seratus enam puluh ribu ya bang?”
Aku melihat kembali kearah bapak itu. Pengunjung
yang belum terlalu ramai datang ke toko. Membuat aku bisa lebih fokus melayani,
calon pembeli didepanku saat ini. “Kalau bapak benar mau, saya kasih dua ini
seratus sembilan puluh ribu. Gimana?” Ucapku bernada menekan, sambil meraih dua
pakaian yang tadi masih ada dalam gengaman, serta diperhatikannya.
“Seratus delapan puluh aja ya bang?”
nada memelas, sekaligus strategi tawar menawar mulai ia keluarkan.
Sigap aku melihat kearah ayah yang
sedang melayani pembeli yang lainnya. Harga pas tuk kedua barang baru ini,
belum benar-benar aku ketahui. “Yah… ini dua seratus delapan puluh ribu?”
sorakku pada ayah.
Yang dijawab dengan sorakan balik. “Lima
ribu lagi bang.”
“Seratus delapan puluh ribu lah pak.”
Bapak tadi masih berusaha menawar.
“Gimana yah?” tanyaku lagi. Setelah ada
anggukan kepala, dipembicaraan kami. Barulah aku mulai membungkus dua pakaian
barusan. Satu persatu aku masukan, kedalam plastic bening. Baru kemudian
kumasukan kekantung plastic hitam, dengan nama, serta alamat toko tercetak dikedua
bagiannya. “Pak, mau dibungkus juga yang ini?” Ucapku halus, setelah pakaian
pertama selesai aku bungkus, dan sedikit tersendat tuk membungkus pakaian kedua
karena masih saja dipegang olehnya.
“Oh iya, maaf bang.” Balasnya halus,
memberikan pakaian anak yang dipegangnya kearahku.
“Buat anaknya ya pak? Emang berapa
anaknya?” isengku bertanya padanya, sambil membungkus dua pakaian yang sudah
terbeli itu.
“Iya, buat anak didesa. Besok saya mau
mudik.”
“Oh… kerja dimana pak?”
“Disini. Jadi tukang parkir.” Jawabnya,
mengeluarkan sebuah bungkusan dengan suara bergemericik dari dalamnya. Mulai ia
keluarkan beberapa lembar uang pecahan seribuan, dan lima ribuan dari dalamnya.
Ia rapihkan satu persatu, lalu menghitungnya. Yang tak pernah kuduga adalah
beberapa uang recehan seakan tak ingin kalah tuk ia keluarkan. “Maaf receh ya
bang.” Aku menggankuk pelan. Entah ada satu perasaan hangat, dari pembeli
pertamaku ini. “Maaf bang, kurang lima ratus perak.” Suaranya setelah semua isi
bungkusan itu ia keruk seluruhnya.
“Nggak apa-apa pak.” Jawabku cepat. Dua
pakaian yang sudah kubungkus, kusodorkan kearahnya. “Ini pak.”
“Makasih bang.” Senyum yang sebenarnya
biasa, tapi tak bisa kutolak untuk merasa bahagia karenannya. Muncul ketika ia
beranjak pergi sambil terus melihat-lihat isi katung plastic berisi pakaian
yang barusan dibelinya.
Bandung, 19 Agustus
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar