Jika
sekarang sudah datang malam takbiran, esok hari pastilah lebaran. Tapi esok
hari tak mungkin bisa kulihat sosok kakak yang telah pergi dari kampung ini
tiga tahun lalu. Kemarin lusa, telah kutanyakan kabar beritanya, kutanyakan tentang
kepastian apakah dia akan pulang? Atau tidak lebaran tahun ini? Tapi rupanya
jawaban yang tak ingin kudengar malah sampai masuk ketelinga.
“Maafkan abang dik, belum ada rupanya uang buat abangmu
ini pulang.” Begitulah suara kakak ketika kutanyakan tentang kepastian kepulangannya
kembali kekampung ini, kembali kerumahnya ini.
“Sabar nak, begitulah lelaki suku kita kalau sudah besar.
Merantau, dan susah pula rupanya untuk pulang. Pastilah banyak keperluan
lainnya, daripada dipakainya untuk mudik uang perolehannya diperantauan.”
Sambung ibu, ketika telepon dari kakak sudah putus. Air matalah yang sekarang
memenuhi wajahku. Menghiasi bagian bawah kerudungku sampai basah jadinya.
“Kenapa harus pula abang merantau ibunda?”
“Untuk mencari kerja yang lebih baik di negeri orang
sayang.” Balas ibuku dengan suaranya yang menenangkan, lembut, dan syahdu benar
aku dengarkan.
“Apa tak bisa abang mencari kerja disini?”
Sejenak tak ada suara jawaban dari mulut ibuku, entah
apakah beliau kebingungan dengan jawaban yang akan dikeluarkan, atau mungkin
memang ibu tak tau jawaban apa yang harus dikeluarkannya guna menghiburku.
Suara takbir menyelimuti langit malam ini, setiap surau
menyuarakan gema indah itu. Beberapa kali kudengar suara takbir diselingi suara
tawa, juga sedikit suara berbisik. Pastinya yang barusan bertakbir adalah anak
laki-laki, mereka seperti pada umumnya anak-anak kecil. Mengumandangkan takbir
sambil bergurau dengan temannya, pikirku.
Suara
takbir seperti yang baru kudengar, membuatku teringat masa kecilku bersama
kakakku satu-satunya. Bersama saudara kandungku satu-satunya. Ayah dan ibuku,
ku yakin benar adalah warga Indonesia yang taat. Sehingga anjuran pemerintah
untuk melaksanakan Keluarga Berencana, mereka taati dengan sebenar-benarnya. Dua
anak cukup. Itu kakakku, dan juga aku.
Saat
itu di malam yang sama, malam takbiran. Tanggal 1 Syawal tepat. Selayaknya
anak-anak kecil yang lainnya. Yang sangat merasa bergembira ketika lebaran
tiba, tak berbeda rupanya aku dan kakakku. Dan malam takbiran adalah awal dari
kegembiraan kami berdua.
Selepas
solat Maghrib, kemudian berbuka puasa. Kami berdua melaksanakan solat berjamaah
Isya di surau. Selepas itu, kami siap menggemakan suara takbir bersama
kawan-kawan lain. Biasanya aku akan menggemakan takbir sampai bisa tertidur
disurau.
Abangku
lah yang selalu menggendongku, mengantarkan aku sampai kerumah saat aku
tertidur di surau. Lepas mengantarkanku, ia secepat kilat berlari kembali
kesurau. Sampai sekarang aku tak tau alasan mengapa abangku selalu lari
cepat-cepat untuk kembali kesurau. Sewaktu ia sudah mengantarkanku pulang.
Pernah kupikir, bisa saja dia takut kalau perjalanan kesurau digunakanannya
dengan berjalan kaki. Jadi larilah yang ia pilih untuk menjadi usahanya kembali
ke surau. Maklum saja, kampung kami ini belum sepenuhnya teraliri listrik.
Banyak daerah yang malah gelap, bahkan sinar bulan dipasksa terhalang rimbunya
daun-daun pepohonan di sepanjang jalan.
“Aku
ini anak pemberani dik. Jangan kau samakan diriku dan dirimu. Alasanku
satu-satunya kenapa aku berlari untuk kembali ke surau, karena aku ingin segera
mungkin kembali mengumandangkan takbir. Taukah kau?” jawab abangku, sewaktu
kali aku iseng bertanya padanya.
“Benarkah
itu abang?” selidiku memandang kearah matanya. Karena dari mata bisa diketahui,
apakah yang dibicarakannya dusta atau apa yang sebenarnya.
“Tentulah
iya, apakah kau pikir abangmu ini pandai berdusta?” balasnya diselingi lirikan
mata yang tak fokus. Tanpa memperpanjang pertanyaanku, aku sudah tau
jawabannya. Tentu aku tau, bagaimana abangku. Selain karena kami lahir dari
rahim yang sama, cukup lama juga kami melalui waktu disatu atap, di satu rumah
yang indah.
“Lisa…”
suara ibu menggema dari luar kamarku. Segera aku menghampirinya, tak ingin
mendengarnya memanggil namaku lagi untuk yang kedua kalinya. Jarang ibuku
berteriak, apabila bukan hal penting yang akan disampaikannya.
“Iya
ibunda.” Seruku melangkah tergopoh-gopoh menghampiri ibu dan ayahku yang sudah
nampak rapih.
“Apa
ananda tak ikut ayah dan ibu ke surau untuk Isya berjamaah?” ayah
menggigatkanku, setelah beliau melihat kalau aku masih mengenakan pakaian
rumahku, tanpa berkerudung. Jelas benar tak rapih.
Cepat
aku berlari masuk kembali kedalam kamar, pikiranku yang rindu kepada abangku
membuatku tak memperhatikan kalau barusan adzan Isya baru saja memanggil dari
surau kampung. “Dari tadi abak lihat sepertinya hari ini Lisa sering melamun,
ada apa lagi bu? Apa ada masalah dengan dia?” terdengar sebuah tanya terlontar
dari mulut ayahku. Walaupun samar terdengar dari kamar, sedikit suara ayah
masih bisa ku dengar. Tapi jawaban dari mulut ibu, telah hilang terhitung jarak
dari ruang tamu menuju kamar. Apalagi pintu kamarku kututup rapat, kupikir
suara ibu tak mampu merambat. Suara ibu halus, tenang, dan syahdu. Kalau tidak
sengaja berteriak, pasti suara ibu hilang ditelan angin selama perjalanannya
menuju kamarku. Maka tak kuhiraukan apa jawaban ibu. Paling jawabannya.
“Biasalah
yah, anakmu itu kecewa benar karena abangnya tahun ini kembali tak bisa
pulang.” Dengan dibumbui senyum khasnya.
Atau
bisa jadi jawabannya, “Abangnya tak pulang lagi tahun ini. Sepertinya berat
benar ia menerima berita semacam itu kembali tiga tahun berturut-turut.” Lalu
ditutup dengan senyum khasnya kembali.
Terserahlah
apa jawaban ibu. Yang pasti, ibu tau kalau aku benar-benar rindu pada abangku.
Rindu pada abangku yang kadang suka bergurau, kadang suka serius, sering sekali
iseng, tapi yang jelas abangku orang yang menyenangkan. Agar sudi hendaknya
beliau membujuk anak lelaki satu-satunya itu pulang kerumahnya. Pulang kembali
kekampungnya.
Mungkin
kiranya, tak bisalah pulang lebaran tahun ini, lebaran tahun depanpun kalau
masih ada umur jadilah kirannya pulang. Atau tak perlu menunggu lebaran? Bulan
depan? Dua bulan yang akan datang? Atau bulan-bulan lain selain lebaran tahun
depan. Apakah harus menunggu lebaran untuk seorang perantauan, datang kembali
kekampung halaman?
***
Adzan subuh masih berkumandang saat mataku
terbuka dari lelap tidur, suara adzan yang indah dari suara nan tulus, membuatku
teringat seseorang yang kusayang. Perlahan kesadaran yang sempat hilang dari
benaku, bangun kembali seperti semula. Segera ku jauhkan selimut yang semalaman
penuh, telah berbaik hati melindungi tubuhku dari dingin malam. Kakiku satu
persatu turun dari tempat tidur. Aku berjalan menuju kamar mandi, untuk
mengambil air wudhu.
Keluar
dari kamar, kulihat ayah dan ibu sudah mulai bersiap-siap untuk solat Idul
Fitri. Ayah sedang membersihkan kopiah kesayangannya, yang hanya dipakainya
ketika hari raya tiba. Sedangkan kulihat ibu sedang mengemas suatu cairan yang
tak asing lagi untuku. Itu adalah cairan parfum ramuan andalan ibu, sangat luar
biasa, dan terlebih lagi sangat ekslusif. Tak setiap saat aku bisa
menjumpainya. Selain hari raya agama islam, serta hari-hari penting semacam
pembagian raport anak-anaknya. Rasanya sulit melihat ibu meramu parfum itu.
Parfum
ramuan ibu, terbuat dari sari daun pandan, bertangkai-tangkai bunga mawar,
serta beberapa tanaman-tanaman wangi lainnya. Parfum ibu 100% tanpa alkohol.
Sehingga wanginya tak membuat bulu hidung meriang saat menciumnya. Belum lagi
wanginya yang akan terus menempel di baju, sampai baju itu dicuci sebanyak tiga
kali. Itu adalah beberapa kelebihan dari parfum ramuan ibuku.
“Cepat
solat subuh sayang! Ananda solat id kan?” ibu bersuara ketika melihatku
berjalan menghampirinya.
“Iya
ibunda.” Jawabku cepat.
***
Seluruh
warga kampung tumpah ruah menuju surau kampung. Berbaurlah semua keluarga yang
ada dikampung ini. Kulihat beberapa teman-teman kakak yang berkuliah, atau juga
bekerja di lain tempat, sekarang pulang kampung. Sepertinya hanya kakak yang
tidak pulang, dan itu sudah ia lakukan tiga tahun berturut-turut. Tak pernah
pulang sejak kepergiannya.
Duduk
di shaf terdepan wanita, suatu pemandangan membuatku tertegun cukup lama.
Pandanganku menangkap wajah seseorang yang sangat kukenal, tapi tak percaya aku
melihatnya. Jaraknya cukup jauh, karena ia duduk di shaf terdepan lelaki.
Barusan aku melihatnya hanya sekilas, itupun karena dia sebentar berdiri lalu
duduk lagi.
Selepas
solat Idul Fitri, perjalanan menuju rumah langkahku tergesa-gesa, rasanya ingin
aku segera sampai tanpa harus berjalan menyentuh tanah untuk menuju rumah.
Itupun kalau aku bisa melakukannya. Alasan langkahku tergesa-gesa, karena bayangan
orang tadi yang hanya sebentar, dan kulihat dari jarak cukup jauh itu. Membuatku ingin membuktikan bahwa mataku
memang tak salah lihat.
Dan
alangkah… bingung aku dibuatnya. Entah perasaan apa yang ada dalam pikiranku
saat ini, saat aku melihat seseorang yang tengah berdiri tegak mematung didepan
teras rumah. Langkahku yang tadinya tergesa-gesa, melambat secara tiba-tiba.
Aku melihat kearah ibuku, beliau tersenyum, senyum salah tingkah. Aku melihat
ayah, wajahnya tak berubah. Hanya tangannya terus memegang kopiah
kesayangannya.
“Mak…”
orang itu menyalami tangan ibu, tubuhnya yang tegap memeluk ibu penuh keharuan.
Setelah itu, ia mendekati ayah. Tidak terlalu berharu biru, tapi justru inilah
yang sering membuatku kebingungan. Apakah dua lelaki, walaupun ayah dan anak.
Harus saling berusaha menyembunyikan kerinduannya, agar jangan sampai
terungkap. “Lisa.” Kini suaranya membaurkan pikiranku. Mataku dan matanya
bertemu, aku menyalami tangannya. Rasa rinduku sedikit tertahan, karena
keharuan. Tak lupa kehebohanku disepanjang perjalanan pulang, terus aku
sembunyikan, sembari berusaha sebisa mungkin agar air mata yang hendak keluar,
dapat kutahan. “Apakah tak ada pelukan kerinduan untuk abangmu yang sudah jauh
pulang kekampung ini?” lanjutnya sedikit menggodaku.
Dan
setelah ia bicara, aku memeluknya erat. Tubuh tinggi yang lebar itu, aku peluk
erat. Betapa kurindu sosoknya, sosok orang yang sering iseng, sering becanda,
tapi penyayang ini. “Abang jahat.” Bisikku. Sekarang bercampur air mata yang
meluap-luap. “Abang berbohong padaku.”
“Ini
namanya surprise adinda sayang.” Sahutnya bernada bangga. Seharusnya kulihat
saat ia menjawab pertanyaanku tentang kepastiannya akan pulang. Apakah ia
melirik ke kanan kiri? Atau tidak sama sekali? Agar tak berhasil aku di
kelabuinya.
Bandung,
1 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar