Aku
bersedih, karena duka teramat dalam, telah melukai hati ini. Acara tahlillan ayah
membuat ku merasakan sedih ini semakin berat dalam batin, melebihi kesedihan
yang ada di hati Ibu tiri, dan saudara-sadaura tiriku yang lainnya. Aku yakin itu,
karena ayahku bukan apa-apa untuk mereka semua. Ibu tiri dan saudara-saudara
tiriku, hanya membutuhkan uang ayahku. Bukan membutuhkan kehadiran sosok
seorang ayah, di dalam keluarga mereka.
Ayah
yang kusayangi telah pergi untuk selama-lamanya, ia pergi meninggalkan kami
yang mencintainya. Tak akan pernah kembali, karena mustahil itu bisa terjadi.
Hanya mukjizat nabi Isa, dan atas izin Allah lah mampu menghidupkan orang yang
telah mati, menghidupkan kembali orang yang ruhnya telah terpisah dari jasadnya.
Terpisah dari bentuk fana, di tengah-tengah kehidupan yang tak abadi adanya, hingga
rentan pada dosa yang kadang justru di sengaja.
Dan
ayah tidak akan bisa hidup lagi, itu semua tidak akan pernah bisa terjadi, aku
yakin tidak akan pernah bisa terjadi. Semua harapku agar ayah bisa hidup
kembali, hanya sebatas khayalan semata, itu bukan sebuah impian. Khayalan tak
akan pernah bisa terjadi, sementara impian? Aku tak tahu, karena mimpi-mimpiku
telah pergi. Semua impianku raib. Dia pergi, bersama kepergian ayah kami dari
dunia ini. Impian-impian indah tak akan pernah ada lagi, impian-impian indah
benar-benar pergi dari kehidupan kami, pergi dari hari-hari yang mungkin akan kami
lalui tanpa keindahan di dalamnya.
Acara
tahlillan di datangi banyak pelayat, dimata mereka. Ayah adalah sosok seseorang
yang sangat baik, bijaksana, cerdas, soleh, dan dermawan. Semasa hidupnya,
beliau tak pernah sulit untuk mengulurkan bantuan. Sewaktu beliau tau ada warga
kampung kami yang sedang ditimpa masalah. Apalagi kalau masalahnya menyangkut
materi, masalah yang tetap akan sulit diselesaikan, kalau hanya dengan cara
berfikir keras tanpa setetes pun perjuangan. Beliau akan sangat mudah
mengulurkan bantuannya, untuk sekedar meringankan beban dari mereka semua yang
sedang kesulitan.
Tak
terhitung jumlah warga yang sudah pernah dibantu oleh ayah semasa hidupnya,
hampir semua warga kampungku pernah mendapatkan bantuan dari beliau. Pikirku, karena
itulah mereka sampai mau repot-repot datang ke acara tahlillan ayah. Untuk
sekedar melayat ayah, dan dengan mudah berfikir utang mereka semua bisa
langsung lunas karenanya. Padahal ibu tiriku pasti akan menagih hutang mereka
semua, satu persatu. Paling lambat, wanita itu akan melakukannya besok. Aku
berani bertaruh, karena untuk itu lah wanita ini sudi di nikahi oleh ayah. Sudi
dinakahi ayah yang umurnya berentan cukup jauh dengannya. Semua, semata-mata
hanya karena materi saja yang ia kejar, tak lebih.
Selain
sangat dermawan, ayah juga salah satu orang terpandang di kampungku. Beliau
satu-satunya warga kampung yang dapat menikmati indahnya pendidikan sampai ke
perguruan tinggi. Malah sampai bisa meraih gelar Master dari salah satu
perguruan tinggi termasyur yang ada di Jakarta sana. Konon katanya, kakayaan
keluarga ayah tidak bakalan bisa ludes di makan tujuh keturunan. Luar biasa
bukan ayahku?. Cerdas, bijak, dermawan, baik hati, tidak sombong, dan kaya raya.
Itulah ayah kami, ayah yang sangat kami cintai.
Bakda
Isya, tahlillan dimulai. Setelah sebelumnya warga kampung diberitahu oleh
bapak-bapak DKM melalui speaker Mesjid, yang merupakan sumbangan dari ayah. Bahwa
salah seorang warga kampung ada yang telah berpulang kepada Yang Maha Pencipta
sore tadi. Saat mereka mengetahui warga yang meninggal adalah ayah, mereka
semua berbondong-bondong datang ke rumah.
Aku
sendiri, tak terlalu menghiraukan kedatangan orang-orang itu. Tubuhku masih
ingin terus berada di sisi tubuh ayah, yang kini telah begitu kaku, ditutupi
kafan putih pemberian bapak-bapak dari DKM Mesjid. Mereka memberikannya secara
cuma-cuma, karena merasa utang budi kepada ayahku.
Setiap
ayat, dari Surat Yassin yang mereka bacakan, mengantarkan pilu yang agaknya
semakin mengoyak hati ku. Terkoyak seperti kertas yang sudah tak terpakai lagi,
karena saking banyaknya tinta yang mengisi lembaran-lembarannya. Tak terpakai,
kemudian dibuang begitu saja, hanya tong sampah yang mau menerimanya. Semacam
itulah perasaanku saat ini, seperti lembaran kertas bekas yang tak terpakai
lagi.
***
Perasaanku
berbeda ketika kau mulai mendekatiku, perasaan ini berbeda dengan apa yang
pernah kurasakan pada teman-teman lelaki yang sempat jadi pacarku, perasaan
yang tak biasa, tapi entah kenapa aku senang dibuatnya. Perasaan yang kurasakan
padamu, entah kenapa bisa membuat aku benar-benar kehilangan logikaku.
Membuatku mengatakan bengkok, padahal itu lurus. Mengatakan benar, padahal itu
salah.
Mungkin
kau adalah lelaki itu. Lelaki yang teman-temanku semasa SMP bilang cinta
pertama, dan aku yakin kau cinta pertamaku. Cinta pertama dari seorang gadis
yang sedang puber, di usianya yang belasan, dan sebentar lagi akan lulus
sekolah SMA.
Kau
memperhatikanku, memberikan apa yang aku mau dan tak mengharapkan balasanku.
Setidaknya dulu aku berfikir demikian. Tapi semuanya berubah, saat kau mulai
menawarkan petualangan baru untukku. Sebuah petualangan yang singkat tapi
sangat melekat dan hangat ketika ku coba tuk mengingat. Petualangan yang belum
pernah ku dapatkan dari pacar-pacarku, semasa cinta monyet dulu.
Saat
aku lulus SMA dan membuatku harus pindah ke Jakarta, dengan tujuan melanjutkan
pendidikan ke bangku kuliah, kau tak pernah meninggalkan ku. Setiap minggu kau
selalu datang ke tempat kostku, dan mengajakku kembali kepada petualangan
singkat itu.
Aku
sadar, belum lah pantas untuk ku mengalami petualangan yang kau tawarakan
padaku. Usiaku masih terlalu muda untuk memulai petualangan semacam itu. Tapi karena
sangat menarik kurasa petualangan yang kau tawarkan, aku mengiyakan. Pernah aku
coba untuk menolak, tapi setiap aku menolakmu untuk berpetualang bersama, kau
selalu mengatakan.
“Karena
itu aku memilihmu, karena kau berbeda dengan yang lainnya.” Tak kuasa aku
menolak ajakan mu itu, karena aku juga merasakan satu kenikmatan setiap kau
mengajakku untuk berpetualang bersama. Kenimatan yang tak sanggup aku menghentikannya,
walaupun ku tau akan sakit aku dibuatnya.
***
Awalnya
semua terasa indah, namamu Ilham. Benar-benar telah mengilhamiku untuk terus
mencintaimu. Mencintaimu dengan segenap hati, dan menerima segala kekurangan
dan kelebihanmu, apa adanya, bukan ada apanya?.
Tapi
semua berubah ketika aku mengungkapkan fakta menarik padamu. Fakta bahwa aku
sekarang sedang menerima hadiah hasil dari petualangan kita. Hasil dari peluh,
keringat, dan cairan lengket, benyek, yang mewarnai petualangan kita nan penuh cinta
serta nafsu secara bersamaan.
“Itu
tidak mungkin?” Ucapmu setengah berteriak ketika aku telah berkata jujur
padamu.
“Tapi?”
Jawabku ragu.
“Kamu
harus menggurkannya!” Sentakmu padaku, membuatku kebingungan karenanya.
“Tidak
mau.” Jawabku membalas.
“Kau
ingin anak haram ini yang mati? Atau kau yang mati? Pilih saja, sesukamu. Aku
akan melakukannya. Aku akan melakukannya dengan senang hati.” Bisikmu pelan,
mungkin takut terdengar oleh teman kosanku, atau malah takut karena aku berniat
untuk melahirkan bayi hasil petualangan kita ini. Yang pastinya akan merubah
semuanya.
Kau tak
pernah berteriak padaku, semenjak aku mengenalmu, sampai akhirnya kau mendekati
dan mengajakku untuk berpetualang bersama. Tak pernah sekali pun kau berteriak
padaku. Jangankan berteriak, meninggikan nada bicaramu saja tak pernah aku
mendengarnya. Tapi sekarang kau tega untuk membentak, bahkan sampai
mengancamku. Sungguh tak pernah bisa ku bayangkan kau melakukan itu semua.
“Minggu
depan, kamu harus udah bisa memilih.” Katamu ketika selesai emosimu, dan
kemudian mengajakku sekali lagi untuk kembali berpetualang bersama. Untuk
kemudian pergi meninggalkanku yang kebingungan, dan tak tau harus berbuat apa
sendirian.
***
Aku
bertafakur, karena sulit untukku membayangkan bagaimana sulitnya melalui
kehidupan ini, tanpa ada figur seorang ayah disisi. Tanpa ada ayah, kami
anak-anaknya akan menjadi yatim. Tak berbapak, dan hanya memiliki seorang ibu. Ibu
itu pun bukan ibu kandung kami, apalagi dia menikah dengan ayah hanya karena
hartanya saja. Pastilah, dia tidak sudi berbuat baik pada kami. Berbuat baik
pada orang yang bukan tak mungkin akan menjadi saingan beratnya dalam perebutan
harta warisan ayah nantinya. Memikirkan ini, aku rasa semakin lengkaplah luka hati
ini.
Orang
makin ramai datang ke rumah, teman-teman bapak di kantor yang selalu
menyanjungnya karena kebaikan hati, dan sikap bijaknya semasa hidup kepada
sesama rekan kantor. Membuat mereka seakan kehilangan figur yang patut di
contoh tingkah maupun lakunya.
Aku
sendiri masih terus membisu, tak berdaya dan merasa percuma dengan hidupku.
Beberapa rekan ayah, aku lihat mulai duduk didekat ibuku, sepertinya sedang
mencoba menguatkan ibu, yang terlihat begitu terpukul karena ditinggalkan ayah.
Padahal hanya akting belaka. Aku tahu. Kejadian ini pasti membuatnya senang
bukan kepalang, dia pasti berfikir harta warisan ayah akan jatuh kepada dia dan
anak-anaknya. Walau pastinya itu tidak akan mudah.
Salah
seorang teman ayah, mulai duduk didekatku. Beliau Pak Arman, teman seperjuangan
ayah sedari awal masuk kantor, sampai sekarang bisa sama-sama berposisi tinggi
di kantor mereka. Pak Arman, hanya berdiam diri disebelahku. Dia seperti hendak
bertanya, tapi karena aku belum terlihat siap untuk ditanyai. Dia hanya bisa
berdiam diri.
“Apa
sebab Pak Ilham meninggal Nia?” Ucap Pak Arman mulai memberanikan dirinya untuk
bertanya padaku.
“Kata
ibu serangan jantung Pak.” Jawabku sambil repot menyeka air mata di pipi ini.
“Kenapa
dia pergi begitu tiba-tiba, padahal aku baru mau menagih pertangung jawabannya
kepada anakku.” Desis Pak Arman terlihat menahan amarah, dengan wajahnya yang
mulai memerah karena naik darah. Sepertinya dia pikir aku tidak mendengar
desisnya itu. Sambil terdiam, aku tahu dengan sangat jelas maksud dari ucapan
Pak Arman barusan. Tapi aku hanya diam, pura-pura tidak tau. Sambil terus
mengusap perutku.
“Anaku,
ayah kita sekarang sudah mati. Sabar ya anakku.”
Bandung,
30 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar