Sejak satu peristiwa yang kelam menimpaku, aku punya kemampuan untuk melihat mata, lebih dari mata yang bisa dilihat orang pada umumnya. Sampai sekarang aku masih bisa melakukan kemampuan, yang orang-orang tak akan pernah bisa percaya ini. Aku bisa melihat mata, serta bentuk hati yang dipancarkan olehnya. Aku bisa melihat kegembiraan, kesedihan, ketakutan, malu, nafsu, apapun yang ada didalam hati seseorang. Hanya dengan melihat matanya.
Binar mata aku menyebutnya. Satu
titipan rahasia, yang bisa kuketahui. Semua binaran itu seakan meluncur,
mengalir, tak terbendung, tak bisa ditampung. Bila aku sedang melihat mata
seseorang. Kadang aku melihat mata yang dari dalamnya menjulur lidah-lidah api.
Lidah-lidah api itu tidak berwarna biru, tidak berwarna merah. Ia berwarna
kelam. Warnanya perpaduan ungu serta hitam yang disatukan. Selain mata yang
menjulur lidah api didalamnya. Aku bisa melihat mata dengan jarum berwarna
abu-abu keluar dari mata seseorang. Bentukan cahaya itu kuat, benar-benar seperti
jarum. Hanya saja ini tak terbuat dari besi, jarum-jarum itu seperti terbuat
dari cahaya. Ya cahaya, cahaya berwarna abu-abu.
Aku jarang menemukan, mata yang pernah aku lihat
disatu lingkungan yang isinya lebih banyak anak-anak daripada orang dewasa. Waktu
itu bulan, puasa. Aku masih kecil saat itu. Ibu mengajakku ketempat itu, disana
aku bisa melihat mata yang punya cahaya yang berbeda. Dari dalam mata itu
tersebarlah cahaya kesegala arah. Setiap cahaya itu mengenai tubuhku, aku
merasakan ketenangan, kesabaran, serta perjalanan panjang dalam hidup
diberbagai keadaan. Ini mata yang tak pernah aku jumpai sebelumnya. “Kita harus
menyantuni mereka nak. Mereka anak-anak yang kurang beruntung. Mereka anak
yatim piatu.” Ibuku berkata saat kami datang mengunjungi anak-anak yang matanya
punya binar berbeda itu.
Itu masih kujalani setiap bulan puasa bersama
ibuku. Sampai orang bernama Irwan yang sering datang kerumah, membuatku tak
pernah merasakan itu lagi bersama ibu. Sebenarnya ada binaran mata yang tak
pernah kulihat dimata orang itu. Matanya mengeluarkan sesuatu yang ganjil
menurutku. Sesuatu yang cair, encer, dan berwarna hitam dikeluarkan orang itu
dari matanya.
Aku pernah mengatakan apa yang aku lihat ini
kepada ibu, tapi ibu tak pernah percaya. Aku tau itulah yang akan kuterima. Orang-orang,
tak terkecuali ibuku pastinya tidak akan pernah percaya dengan semua ceritaku
ini. Dusta, begitu mereka menyebutnya.
Binaran mata Irwan berubah disaat ada keramaian
terjadi dirumahku. Dari dalam matanya terpancar binaran yang tak bisa aku
rasakan ketenangan didalamnya. Saat cahaya itu menyentuh tubuhku, aku merasakan
panas yang luar biasa. Saat berada didekatnya, aku sangat gerah. Orang-orang
yang memberi tahu, kalau keramaian itu terjadi karena ada pernikahan antara Irwan,
dan ibuku dirumah. Adik-adik, juga kakak-kakak ibuku memberi tahu padaku, bahwa
ibu harus punya pendamping semenjak ayah tiada. Aku lihat binaran mata
ketulusan, tapi berbentuk jarum abu-abu. Dari mata mereka semua.
***
Malam itu angin sedang kencang, kami menempuh
perjalan sehabis pulang dari menginap seminggu lamanya dirumah mbah. Kebiasaan
ini aku, ayah, dan ibuku lakukan setiap lebaran. Sepanjang perjalanan, angin
begitu kencang. Makin lama makin kencang. Dan lama kelamaan turunlah hujan.
Aku ingat saat itu aku sedang tertidur dipelukan
ibu, sementara ayah terus mengemudi mobilnya. Sampai sebuah bunyi tubrukan
membuatku tak sadarkan diri. Setelah itu aku tak tau apa lagi yang terjadi.
Yang aku tau semenjak itu aku bisa melihat binar mata orang yang aku
perhatikan. Bagaimana mata itu, bagaimana binar yang dikeluarkannya, dan
bagaimana perasaan aku saat melihat binar mata. Dan yang jelas, aku tak pernah
melihat ayah lagi setelah aku bisa melihat binar mata.
***
Kata ibu, Irwan lelaki yang baik. Itu yang
selalu ibu bisikan padaku, sambil diselingi isakan dari mulutnya. Aku tak tau
apa yang terjadi pada ibu. Karena semenjak Irwan tinggal dirumah kami, ibu
makin sering terisak saat berbicara padaku.
Selain sering terisak, gelas, sendok, dan
peralatan dapur lainnya. Makin sering kudengar jatuh kelantai seperti
dibanting. Irwan bukan pulang disaat diluar sedang ramai, ia pulang saat diluar
sedang sepi. Suara jangkrik yang seakan mengantarkannya pulang. Dan bila ia
datang, akan kudengar suara pintu yang ditendang. Disusul seseorang yang lari
tergopoh-gopoh kearah sumber suara. Belakangan aku tau, kalau orang yang
berlari itu adalah ibu.
Tak tau mengapa ibu harus tergopoh-gopoh
mendekat kearah pintu yang seperti baru ditendang itu. Yang jelas kutau, kalau ibu
tidak tergopoh-gopoh mengarah kepintu. Akan terdengar suara tamparan yang sumbernya tak
jauh dari pintu rumah.
Sejak Irwan tinggal dirumah kami, mata Irwan
kulihat semakin tak jelas. Binar matanya mengeluarkan kerak berwarna hitam,
setiap dia memandang. Apalagi kalau dia sedang menonton acara-acara yang
ditayangkan malam hari. Kerak-kerak hitam itu akan semakin banyak, serta
semakin hitam keluar dari matanya. Bila ia melihat ibu, setelah menonton acara
di televisi itu.
“Kau jangan ngomong aneh-aneh nak!”
suara ibuku nyaris seperti berbisik, dan pastinya diselingin suara isak tangis.
Saat aku mengatakan kembali apa yang aku lihat.
Kamar Irwan letaknya disebelah
kamarku. Itu dulunya adalah kamar tamu, dan walaupun kamar itu sering ditempati
Irwan. Kamar itu masih digunakan buat kamar tamu. Karena dari kamar disebelah,
aku sering mendengar suara Irwan sedang berbicara dengan seseorang. Yang diajak
berbicara oleh Irwan itu sepertinya wanita. Aku pikir mungkin itu temannya
Irwan yang sedang menginap dirumah kami.
Suara perempuan itu selalu tertawa,
lalu setelah beberapa lama tertawa. Suaranya berganti jadi suara seperti orang
sedang sesak nafas, kadang suaranya berganti jadi suara kuda, kadang malah
seperti orang kesakitan.
“Saat ada tamu datang kerumah, kita
harus bersikap baik. Dan berusaha seramah mungkin karena kita adalah tuan
rumah.” Kata ayahku dulu.
Sehingga, walaupun tidur siangku
sering tergangu karena suara tertawa, suara sesak nafas, suara seperti kuda,
atau suara kesakitan yang dikeluarkan oleh tamu Irwan. Aku tak pernah marah,
karena aku harus menjadi tuan rumah yang baik untuk seorang tamu. Sepertinya
ibuku juga berpikiran seperti itu, sebab ibuku juga selalu membiarkan tamu
Irwan mengeluarkan suara-suaranya tanpa pernah menegur Irwan sekalipun.
***
Aku senang sekali sekarang-sekarang ini. Karena
aku tak harus memandangi binar mata Irwan yang mengeluarkan bongkahan keras
berwarna hitam. Malah binar mata Irwan yang menakutkan itu, sekarang sudah
berganti menjadi binaran-binaran mata yang menyejukan, menghadirkan ketenangan,
juga kesabaran. Dari mata anak-anak disini.
Beberapa hari yang lalu, aku mendengar suara
gelas yang pecah. Lalu pintu yang ditendang. Setelah itu munculah suara orang
bercakap-cakap. Suara tiga orang, suara ibu, suara Irwan, juga suara tamunya
Irwan.
“Kamu mau apa?” itu pertanyaan yang berasal dari
suara Irwan.
“Aku tak mau lagi menampung lelaki penzina
sepertimu dirumahku, aku menyesal telah memilihmu jadi suamiku. Kalau saja
anakku bisa melihat, pasti dia akan bersedih tau nasib ibunya seperti ini.”
Teriak ibuku lantang menantang.
“Jadi sekarang kamu mau apa? Membunuhku? Dengan
pecahan gelas itu kau mau menusukku?”
“Kalau kau mau aku melakukan itu?” suara ibu
garang, diselingi suara isak tangis dalam. Setelah itu, yang kudengar hanya
suara teriakan Irwan. Suara tangisan ibuku. Dan suara orang sesak nafas yang
biasa dikeluarkan oleh tamunya Irwan.
Bandung, 2 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar