Brutalitas Rezim Zionis Israel terbaru
ke Jalur Gaza ternyata tidak didukung oleh media massa rezim ilegal
ini. Media-media massa Israel di serangan terkini Tel Aviv ke Gaza
tidak seperti perang 22 hari tahun 2009 rezim ini ke Gaza. Menjelang
perang 22 hari ke Gaza antara 27 Desember 2008- 18 Januari 2009, media
massa Israel aktif mempropagandakan motif perang rezim Tel Aviv.
Sejak awal perang 22 hari yang
dimulai dengan koordinasi penuh Tel Aviv dan Rezim Hosni Mubarak Mesir,
media massa Israel sibuk menabuh genderang perang. Media massa Zionis
kala itu juga menurunkan berbagai artikel yang menjustifikasi agresi
Israel ke Gaza. Koran seperti Maariv, Yediot Aharonot, Haaretz,
Jerusalem Post, Radio Militer, Suara Israel dan Radio Nasional Israel,
Kanal 2 dan 10 televisi Israel menjadi pelopor pembantaian massal warga
Palestina.
Mesin pencari internet terkait hal
ini banyak menyimpan informasi lengkap ulah media massa Zionis
menciptakan kejahatan lain di tahun 2008-2009 dan dengan mudah
informasi ini didapat. Tak hanya itu, media massa Zionis pasca perang
22 hari Gaza bersedia mengorbankan apa pun dan berusaha keras mencegah
dirilisnya laporan Richard Goldstone, ketua Tim Pencari Fakta perang
Gaza di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Di sisi lain, kelompok muqawama
Palestina di perang 22 hari selain menunjukkan semangat berapi-api di
medan tempur juga meraih pengalaman penting di bidang media yang belum
pernah mereka raih sebelumnya. Gerakan terorganisir media-media visual
Palestina termasuk televisi al-Aqsa, al-Qods dan Ramattan di samping
media regional seperti al-Alam, al-Manar, Syria al-Akhbaria dan Press
TV aktif meliput perang 22 hari sehingga perang ini pun mendapat gelar
perang antarkamera televisi.
Poros aktivitas jaringan televisi
ini menfokuskan upaya membongkar kejahatan Rezim Zionis Israel terhadap
warga Gaza kepada opini publik dunia. Aktivitas media ini pun berujung
pada skandal internasional bagi Israel di hadapan opini publik
internasional. Skandal ini juga berhasil mengetuk rasa solidaritas luas
internasional terhadap penderitaan bangsa Palestina. Hal ini juga telah
memaksa Richard Goldstone mencantumkan Israel sebagai penjahat perang
di laporannya.
Pengiriman konvoi kemanusiaan darat
dan laut ke Jalur Gaza, aksi mogok dan demonstrasi, seminar dan
konferensi anti Israel di seluruh dunia hanya secuil dari pengaruh
media massa muqawama ketika perang 22 hari di Gaza atau setelahnya.
Peristiwa kecil dan detail dari kejahatan Israel yang dipublikasikan
media muqawama pada akhirnya menguntungkan bangsa Palestina.
Kini kita tengah menyaksikan
gelombang baru agresi Israel ke Jalur Gaza dan yang paling mencolok
adalah sikap pasif media massa Israel. Tercatat hanya beberapa media
Israel yang aktif meliput serangan terbaru rezim ini ke Gaza seperti
Koran Israel al-Youm, Radio Militer Israel dan Kanal 7 televisi rezim
ini yang dekat dengan kabinet Benyamin Netanyahu. Adapun media massa
Israel lainnya bukan hanya tidak berusaha mempersiapkan opini bagi
perang baru, bahkan mereka sejak awal serangan malah mengajak opini
publik Zionis untuk siap menggalang gencatan senjata dengan para
pejuang Palestina.
Laporan terbaru Koran Maariv,
Haaretz, Yediot Aharonot serta sejumlah media lainnya termasuk Kanal
10 dan 2 televisi Israel dengan baik menunjukkan upaya tersebut bahwa
perang bagi Israel bukan solusi untuk lolos dari kehancuran. Laporan
yang mengutip statemen rival-rival Netanyahu di pemilu parlemen
mendatang menuntut dihentikannya agresi baru dan perang di Gaza.
Manuver media-media Israel ini
dapat juga dicermati sebagai imbas dari kondisi internal rezim ini,
khususnya dalam satu tahun terakhir. Koran Maariv, Haaretz, Yediot
Aharonot, Jerusalem Post serta Kanal 10 dan 2 televisi Israel juga
teracam bangkrut ketika rezim ini menghadapi krisis internal dan
keretakan masyarakat Zionis akibat krisis ekonomi serta sosial. Bahkan
Koran Haaretz, salah satu koran terlaris di Israel akibat kritikannya
atas kinerja kabinet Netanyahu di bidang ekonomi dan sosial terpaksa
menjual sebagian sahamnya kepada salah satu investor untuk tetap eksis.
Suplemen koran ini juga tidak lagi
diterbitkan dan lembaran utama pun dari 18 halaman dikurangi menjadi 12
halaman. Apa yang dialami Koran Maarev dan Yediot Aharonot juga tak
lebih baik dari kondisi Haaretz. Kedua koran ini pun terancam bangkrut
dan gulung tikar akibat terlilit masalah ekonomi. Kanal 10 dan 2
televisi Israel juga mengalami kondisi yang sama dengan media rezim
ilegal ini. Apalagi hal ini disusul dengan disahkannya undang-undang
baru yang melarang media mengkritik pemerintah kian membuat kebebasan
media semakin sempit.
sumber
Saya suka http://www.catatanemak.com/2018/07/5-kriteria-kartu-kredit-yang-paling.html
BalasHapus