Gerbang istana yang ada dihadapannya. Begitu
besar, tinggi, berdiri dengan teguh, kukuh, sekaligus angkuh. Menimbulkan
sedikit tindihan intimidasi siapa saja yang berdiri dihadapannya. Menunggu
dimuka gerbang, Khadir akan menuju ketempat dimana ia pernah sekali bertemu
dengan orang yang paling dihormati dinegerinya. Disana, didalam sana ia pernah
bertemu seseorang yang paling dihormati di negerinya. Beliau adalah Raja dari
negeri tersebut, Raja Abdurahman namanya.
Kabar kembalinya Khadir dari perasingannya yang
tujuh tahun lamanya, tersebar dari mulut ke mulut, dari satu telinga merambat
ketelinga yang lainnya. Hingga akhirnya berita kembalinya Khadir itu diketahui
oleh sang Raja. Ini yang jadi alasan Khadir datang keistana siang ini. Semua
karena Raja Abdurahman mengundangnya tuk menghadiri makan malam bersama.
Sebelumnya Khadir memang pernah mendapatkan undangan
serupa, dari Raja. Khadir yang waktu itu dijuluki sebagai orang tersopan
dinegerinya. Karena keramahan, serta kesopanannya dalam bersikap, juga
bersosialisasi dengan orang disekitarnya. Suatu hari, mendapatkan kehormatan
dari kerajaan. Berupa undangan keistana guna menghadiri sebuah acara makan
malam bersama Raja. Walaupun acara itu terpaksa diakhiri lebih cepat dari
rencana, karena satu kesalahan yang tak disengaja telah dilakukan Khadir
dihadapan sang Raja. Sebuah kesalahan yang tak pernah ia bisa lupakan. Sebuah
kesalahan yang secara dramatis telah mencoreng nama Khadir, dari daftar orang
tersopan dinegerinya. Satu kesalahan yang tak mungkin bisa dimaafkan karena
dilakukan dihadapan orang yang paling agung dinegerinya, dihadapan Raja
Abdurahman.
Dalam benak Khadir saat ini,
pertanyaan terus saja berseliweran, berpaut, berkutat tak bisa pergi dari
kepalanya. Mengapa Raja mengundangku ke istana? Sementara aku pernah berbuat
memalukan dihadapannya? Apa aku akan masuk kedalam rentetan orang tersopan
dinegeri ini lagi? Atau malah Raja Abdurahman ingin balas dendam karena aku
pernah membuat malu didepannya?
***
Ia melangkah bagai tak berjiwa, badannya gamang
diterpa kenyataan yang bahkan tak pernah berani tuk ia impikan. Begitulah
keadaan Khadir saat ini. Semenjak sebuah berita datang padanya kemarin, Khadir
seakan hidup didunia lain. Hidup di dunia yang tak bisa ia percaya, walaupun
masih nyata tuk ia dirasa. Berita dari seorang pesuruh istana itu pangkal awal
yang membuat Khadir jadi begini rupa. Sebuah berita undangan makan malam dari Raja
Abdurahman untuknya.
Khadir tak menyangka, atau malah ia
tak pernah sampai berani bermimpi untuk bisa diundang makan malam oleh Raja.
Oleh orang yang memerintah negeri tempat dimana ia menetap, bekerja, menikah,
juga membina keluarga. “Aku hanya seorang petani, jadi alasan apa yang membuat Raja
Abdurahman mengundangku makan malam bersamanya?” tanyanya sewaktu pesuruh kerajaan,
menyampaikan titah Raja Abdurahman padanya.
“Hamba hanya menyampaikan undangan
ini saja tuanku.” Sahut pesuruh istana itu halus.
Khadir termangu. Dari penampilan, juga mungkin
pendapatan. Jelas pesuruh istana yang ada dihadapannya sekaran ini, jauh berada
diatasnya. Tapi mengapa ia terlihat begitu hormat pada Khadir yang hanya
seorang petani miskin yang tinggal jauh dari pusat pemerintahan istana?
Dimakan kebingungan. Tapi tetap saja kenyataan
seburuk apapun harus diterima dengan lapang dada, begitupun dengan kenyataan
yang baik itu juga harus diterima dengan suka cita. Maka disinilah sekarang Khadir,
dimuka gerbang istana untuk bertemu seseorang yang tak pernah ia berani impikan
bisa dipertemukan dengannya yang hanya seorang petani miskin.
“Siapa anda? Dan ada perlu apa datang ke
istana?” suara penjaga gerbang istana lantang berwibawa, badannya yang tegap
menambah kesan angkuh dalam sosoknya.
Badan Khadir gemetar, mendengar suara penjaga
yang lebih mirip seseorang yang tengah mengintrogasi daripada bertanya. “Saya Khadir,
mau keistana karena diundang baginda Raja Abdurahman untuk makan malam
bersamanya.”
Sang penjaga gerbang yang tadi tegap tak
bergerak, hanya ekor matanya yang melihat kearah Khadir. Tiba-tiba membungkuk kearah
Khadir yang ada didepannya. Setelah kembali mengangkat wajahnya, ia sengaja
memberikan senyuman terbaik yang ia punya. Setelah itu cepat memberi sebuah
tanda pada orang yang berada diatas gerbang, agar ia segera membuka gerbang.
Seakan tak ingin tamu didepannya, terlalu lama menunggu tuk masuk. “Silahkan
tuanku.” Katanya mempersilahkan, setelah gerbang istana terbuka sepenuhnya. Khadir
tersenyum, berjalan melewati penjaga gerbang barusan.
Sampai didalam istana, Khadir merasa seakan ia tengah
berada disuatu alam yang berbeda. Pemandangan tanaman yang hijau, dengan
pohon-pohon penghias saling mengisi seluruh taman istana. Pemandangan seperti
ini tak pernah dapat ia bayangkan sebelumnya. “Apakah ini yang selama ini orang
bilang istana?” bisiknya kepada diri sendiri.
“Selamat siang tuanku.” Seorang wanita muda
menyambutnya ramah, cepat mata Khadir mengarah pada wanita itu. Walaupun itu
berarti ia harus menghentikan sejenak kekagumannya akan suasana taman istana,
yang baru saja menyambutnya. “Mari ikut hamba. Baginda Raja Abdurahman sudah
menunggu tuanku sedari tadi.”
Khadir mengikuti wanita muda yang sekarang
berjalan didepannya. Masuk kedalam istana, sampai didalam kekagumannya rupanya belum
mau berhenti. Lepas dari taman, serta lorong-lorong istana yang begitu asri
dengan pohon-pohon yang saling menyilang disisinya. Saat ini mata Khadir mulai
disergap cahaya keemasan yang berasal dari dinding-dinding ruangan, tempat ia
berjalan menuju ruang utama istana.
Langkahnya terhenti disebuah ruangan yang begitu
besar, dengan dinding yang dilapisi emas. Didalam ruangan itu ada sebuah meja
panjang yang mungkin muat untuk makan sampai dua puluh orang, walaupun bangku
yang disediakan hanya dua saja.
Cukup lama menunggu, akhirnya Raja Abdurahman
menemuinya. Beliau berjalan dengan sangat pelan perlahan ketika menghampiri Khadir
yang sedang duduk. Melihat ini, cepat-cepat Khadir berdiri, tuk menunjukan rasa
hormatnya pada Raja dinegerinya. “Silahkan duduk Khadir.” Ucap Raja Abdurahman
sedikit kata, walau dengan penekanan disetiap suku kata yang dikeluarkannya.
“Kau pasti bingung alasan apa yang membuat aku
mengundangmu ke istana bukan?”
“Iya benar baginda.” Suara Khadir ragu.
“Aku dengar kau adalah orang paling sopan
dinegeri ini. Apakah itu benar?” Khadir tak menjawab, ia keliatan kebingungan
dengan apa yang hendak disampaikanya. “Apakah itu benar?” ulang Raja Abdurahman
bertanya sekali lagi padanya.
“Jujur, hamba tidak terlalu memikirkan itu
baginda. Walaupun hamba banyak membantu, ramah, serta baik kepada orang-orang
disekitar hamba. Hamba tak memikirkan penilaian seperti itu.”
Raja
terlihat sangat kagum atas jawaban Khadir. Matanya tertutup, anggukan kepala
perlahan menunjukan itu semua. “Aku senang dengan jawabanmu.”
Semua berjalan lancar, Raja terlihat begitu
terkesima dengan jawaban yang diutarakan Khadir guna menganggapi
pertanyaan-pertanyaan yang meluncur dari mulutnya. Rasa senang jauh didalam
batin Khadir karena apa yang pernah ia dengar tentang Raja memang benar adanya.
Beliau adalah seorang yang bijak, sangat terididik, dan memiliki wawasan yang
luas.
Hingga terjadilah satu kejadian yang amat tak
disengaja oleh Khadir. Selepas makan, iya yang memang miskin sehingga tak
pernah merasakan masakan enak sebelumnya, kali ini makan begitu banyak mungkin
melebihi kapasitas perutnya. Akhirnya orang yang terkenal sopan diseluruh
negeri itu, tak sengaja. “Uaaaggghhh…” bersendawa akibat kekenyangan.
Dari menyantap makanannya, mata Raja Abdurahman
perlahan-lahan terangkat. Tatapannya tajam kearah Khadir. Sedangkan Khadir yang
barusan sudah begitu tak sopan dihadapan Raja, mulai mengeluarkan keringat
dingin dari tubuhnya.
***
“Khadir.” Suara seorang yang berwibawa memecah
lamunannya, membuyarkan pelukan keterpanaan yang barusan membuatnya
terkagum-kagum. Cepat ia menunduk setelah melihat orang yang barusan
memanggilnya itu.
“Baginda Raja.” Sahut Khadir pelan, tapi tegas.
“Sudah berapa lama kita tak berjumpa?”
Khadir langsung mengangkat kepalanya, badannya
ia tegapkan tuk melihat muka Raja yang sekarang sedang memandang kearahnya.
“Hamba malu pernah berlaku tidak sopan dihadapan yagn mulia.”
Tidak menjawab, Raja malah melangkahkan kakinya
untuk mendekati Khadir. Setelah lebih dekat, tangan Raja menepuk pundak Khadir
pelan-pelan. Sebersit senyum tergurat di bibirnya. “Tenang saja, aku sudah
melupakan kejadian kau bersendawa didepanku.” Kepala Khadir makin menunduk
mendengar jawaban Raja barusan. Ada desir sindiran yang tergores dalam
kata-kata yang menjadi kalimat saat Raja berbicara.
Bandung,
2 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar