Waktu melaju bak putaran roda nan mengelinding
dijalan curam, tak terhenti, tak tertunda. Itulah yang kurasakan saat ini.
Waktu itu melaju, sebagian hasil dari waktu itu kuharap hanya mimpi, dan
sebagian lainnya kuingin tak pernah berhenti tuk terjadi. Entah bagaimana
harusnya aku memaknai tentang waktu, mendefinisikan siratan putaran yang tak
berhenti ini.
Ingin rasanya kuulang semua waktu
yang pernah membuatku terlena, dan akhirnya terjerembab dalam lumuran tanya
akan makna dosa. Tapi andai bisa kulakukan itu, apakah mungkin aku berjumpa
denganmu? Apakah mungkin kau menjadi suamiku? Dan jadi teman sejati kala
menjalani hari-hari dihidup ini?
Enam tahun lamanya kau menemaniku,
mengembirakanku dengan semua tingkahmu. Bahkan akupun bisa tersenyum walau
hanya melihatmu ada disampingku. Kau yang menyelamatkanku, dari usahaku
menamatkan waktu hidupku.
Disaat ku tengah ditimpa radang kegalauan yang
teramat akut, kau hadir disana bak terang mentari pagi penganti kelam malam
tanpa rembulan. Sungguh aku bersyukur karena itu, dan aku akan selalu
berterimakasih padamu. Pada cinta tulusmu, kehadiranmu, serta senyum sepet yang
selalu kau berikan sewaktu melihatku merajuk. Sederhana, tapi begitu indah
kurasa.
***
Saat muda, ketika pikiranku belum
terbuka. Sehingga mudah dirasuki setan yang menjalar, dan berbisik ditelinga
hingga akhirnya Parman. Ya itu namanya, lelaki itu bernama Parman. Menggodaku
hingga aku bisa dibuat serasa dibuai satu pengalaman yang menyakitkan tapi begitu
indah. Pengalaman yang belum pernah kurasa, pergumulan dengan keringat, dan
diakhiri senyum bahagia.
Aku rasakan ia benar mencintaiku,
benar tulus menyayangiku. Sehingga setiap ia mengajaku untuk menjalani
pengalaman yang sama, aku tak kuasa menolaknya. Bukan menolak, aku malah makin
tertarik untuk melakukannya lagi… dan lagi…
Itu masih kurasa, masih bisa aku
alami. Sampai disuatu hari aku mengatakan bahwa aku sedang mengandung anaknya,
mengandung hasil perjalan kami, sedang menuai hasil pergumulan kami yang
menyakitkan tapi begitu indah itu.
“Aku akan bertanggung jawab, aku
akan menikahimu.” Masih kuingat semua kata-kata yang dikeluarkannya untuk
menenangkanku.
Ketenanganku itu masih ada. Sampai
sebulan lamanya ia tak pernah hadir lagi dihari-hariku, tak pernah singgah lagi
kerumahku. Atau sekedar menghubungiku lewat handphone. Barulah aku tersadar
kalau ia hanya berdusta, hanya ingin mengambil kesucian yang harusnya aku jaga
sampai tiba hari yang sah aku tuk melakukannya.
Tak pernah habis usahaku untuk mencarinya, tak
hilang semangatku meminta pertanggung jawabannya atas hasil yang telah kami.
Tapi hasilnya selalu sama, nihil. Keluarga, teman-temannya, tak tau juga
keadaannya. Aku tak tau mereka berdusta, atau berbicara kebenaran adanya.
Entahlah.
Karena yang kutau ia bagaikan
menghilang dalam waktu, terselimut bayang hitam dari lontaran sinar bulan yang
menyentuh dedaunan. Tak kutemui jejaknya, walaupun aku terus berusaha
mencarinya. Disaat seperti ini, aku merasa sendiri. Aku merasakan seorang diri
berada dalam putaran waktu yang tak mau menunggu. Seakan waktu sungkan
memihakku walau sebentar. Ia tak sudi memberiku waktu tuk bernafas barang
sejenak. Karena semakin waktu melaju, semakin besar pula perutku karenannya.
“Pergi saja kau dari rumah ini? Anak
harammu telah membuat keluarga kami malu.” Sentak ayah disuatu hari, selepas
seorang tamu menanyakan padanya tentang perihal mengapa ia tak diundang dalam
acara pernikahanku.
“Pergi kau sekarang, tak ada tempat
dirumah kami untuk orang hina seperti dirimu.” Kakaku satu-satunya, dan orang
yang selalu melindungiku sewaktu kecil juga tak mau memihakku. Apakah seperti
ini rasanya, dihinakan seorang pria?
Dengan hati hancur, ku makin merasakan
seorang diri menghadapi didunia ini. Terpaksa aku meninggalkan rumah. Ibu
memeluku erat, seakan tak ada kali kedua baginya bertemu denganku. “Kau tidak
harus pergi Nak.” Suara Ibu diselingi isak tangisnya. Sedangkan Ayah, juga
kakak lelakiku satu-satunya masih tetap memasang muka acuh mereka, guna
mengantarkan kepergianku.
“Mawar cuman bisa bikin Ibu, Ayah, sama Kakak
malu kalau tetep tinggal disini.” Kataku berdusta. Karena sebenarnya, tak ingin
aku pergi jauh dari wanita yang masih memelukku itu. Sudah terlampau banyak
corengan yang kubuat dimukanya, tapi tak pernah sanggup satupun aku hapuskan
darinya. Apa aku tak punya kesempatan tuk menghampus semua coreng itu dengan
usahaku, apa tak ada kesempatan itu?
“Mawar…” lepas sudah pertahanan
terkahir dalam dirinya. Wanita ini menangis tersedu, pelukannya kurasakan makin
erat. Pundaku yang tadi kering, kini kurasakan mulai membasah. Basah oleh
airmatanya.
“Ibu yang sabar ya.” Hanya kalimat
itu yang kuucapkan saat perpisahan kami menjelma jadi nyata.
Masih kulihat tangis Ibu, diselingin
lambaian tangan pengantar kepergian ku dari rumah megah kepunyaan ayah.
Sedangkan ayah, dan kakaku tetap tak menunjukan mimik wajah yang lebih ramah.
Jujur aku kecewa pada mereka. Walau begitu didalam hatiku, aku tetap tak ingin
membenci mereka berdua, semua ini memang kesalahanku. Semua ini memang akibat
nafsuku, yang tak tertahan oleh semua benteng yang pernah ditanamkan orang
tuaku, darimulai aku masih kanak-kanak hingga ku dewasa. Benteng itu roboh,
karena rayuan pria, karena bisikan yang tajam dari pihak ketiga.
***
Waktu itu, setelah lepas
meninggalkan rumah. Aku tak tentu arah, pikiranku sunyi, dengan hati yang
merasa sendiri. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana hari-hari sisa bisa aku
jalani. Sebelum aku pergi hari ini, tadi malam ibu memang membekaliku dengan
semua uang cash yang dipunyainya. Karena tabunganku telah dibekukan bank, atas
perintah ayah pastinya.
Tiba disebuah jembatan tua, tadinya
aku hanya memandang kearah bawah. Melihat deras air sungai yang mengalir bebas
tanpa hambatan dibawahnya. Tanpa bisa kukendalikan, munculah perasaan lemah,
pasrah, dan jelas tekat yang sirna didalam pikiranku. Biarpun hanya sekelebat
pikiran hampa awalnya, tapi makin lama aku melihat deras air sungai itu, aku
makin yakin dengan niatanku. Aku ingin mati, daripada hidup terus seperti ini.
“Eh kamu mau ngapain?” suaramu
mengagetkanku. Membuatku gamang dalam mengambil keputusan, hanya bisa berdiri
ditepian jembatan. Tanganmu menarikku ketepian, untuk menghindarkanku melakukan
bisikan setan yang sebelumnya menggelora dalam batinku yang hampa.
“Kamu siapa.” Kujauhkan tanganmu
yang menarik tanganku, dengan seluruh amukan yang terendap dalam hatiku.
Semenjak aku ditinggal dalam keadaan bernoda oleh Parman, pria yang kucinta.
Dan bagaimana aku dikecewakan, dan merasakan dibuang oleh Ayah dan kakaku. Aku
menganggap semua lelaki adalah bajingan, dan bajingan hanya akan melakukan
perbuatan yang bajingan lainnya lakukan.
Matamu menatapku iba, jauh didasar
hatiku trenyuhku dibuatnya. “Jangan pernah mendahului Tuhan. Masalah kematian,
bukan kita yang menentukan!” Ucapmu halus, walau kutau tanganmu kesakitan
karena sempat tergores kukuku yang lumayan panjang.
“Apa pedulimu? Apa kau mau jadi sok
pahlawan?” sergahku marah. “Kau tak tau apa yang sedang ku alami? Apa yang
sekarang aku rasakan? Jadi mengapa kau harus sok tau didepanku?”
“Aku memang tak tau apa yang baru
kau alami? Apa yang pernah terjadi padamu. Tapi ketahuilah, semua persoalan
pasti ada penyelesaian. Tak bisa kau berfikir pendek dengan cara mengakhiri
hidup.” Aku terdiam mendengar semua perkataanmu. Jelas itu yang sebenarnya aku
harapkan, bisa dikatakan oleh Ayah, dan kakaku. Oleh orang yang selama ini aku
hormati, dan kuharap bisa selalu melindungiku.
***
Seperti kataku, waktu melaju tak terhenti. Dan
begitulah yang kualami. Kau selalu memperhatikanku. Selalu mengatakan hal yang
menenangkanku. Kau merawatku, mencarikan tempat tinggal untuku. Dan yang
sebenarnya tak pernah kuduga kau memintaku untuk menjadi istrimu, setelah
anakku lahir. “Mengandung adalah anugrah yang diberikanNya, kau tak boleh
menutupi anugrah itu! Kau mengerti? Aku ingin menikahimu, tapi bukan untuk
membantumu menutupi segala hal haram yang pernah kau lakukan. Tapi karena aku
memang benar mencintaimu Mawar.”
“Mengapa tak sekarang saja kau
nikahi aku untuk menutup anak haram yang aku kandung ini?”
Kepalamu menggeleng, helaan nafasmu
seakan tanda kalau kau tak setuju dengan perkataanku. “Kelakuanmu, dan
kekasihmulah yang haram. Bukan anak ini.” Ucapmu menunjuk perutku yang sekarang
buncit, tanpa menyentuhnya sedikitpun. “Setiap anak lahir dalam keadaan suci,
tak ada setitik keharaman atau dosapun yang menempel didalam dirinya.”
Tadinya kupikir kau mengatakan itu
semua, hanya untuk mencegahku agar tak melakukan kenekatan seperti kali pertama
kita bertemu. Atau kalau mau aku berfikir negatif, bisa saja kau mengatakan itu
agar emosiku terpengaruh lagi sehingga kau bisa menjajakiku seperti yang pernah
dilakukan Parman padaku.
Tapi semua itu rupanya hanya salah
kiraku tentang dirimu. Kalau boleh aku jujur, sepertinya aku benar-benar belum
mengenalmu. Walaupun cukup lama waktu kita sering bersama. Kau tak pernah
berbicara lama denganku, bahkan walaupun kau sudah memintaku tuk menjadi
istrimu. Kau tetap tak pernah berbuat tak sopan padaku. Sungguh benarkah tulus
cintamu itu, Imam?
Saat anakku berumur tujuh bulan, kau benar-benar
menikahiku. Kau juga yang menyatukan kembali semua kerengangan yang terjadi
antara aku dan keluargaku. Imam kekasihku, andai kau tau aku tak mengerti
bagaimana aku harus menunjukan pengabdianku padamu, pengabdianku agar bisa ku
membalas semua kasih tulus yang kau berikan padaku.
***
“Tok… tok…” suara ketukan membuatku
menjalani waktu yang melaju itu kembali, tersadar dari kenangan lama yang perih
sisakan luka. “Ma… mama… sahur ma…” lanjut suara dari balik pintu berteriak
dengan gaya
anak-anaknya.
“Hoah…” kau tersadar kekasihku,
matamu terbuka perlahan. Dan dengan gerakan cepat kau terduduk. “Mama kenapa?
Kok nangis?” cemasmu membuatku malu jadinya.
“Siapa yang nangis?” sahutku lewat
gelengan kepala. “Orang kelilipan doang kok pa.”
“Tok… tok… tok… ma… bangun ma… udah
bangun belum?” kembali terdengar suara teriakan anak-anak dari balik pintu.
“Masuk nak.” Ucapmu halus.
Membuat seorang bocah berusia enam tahun, mulai
membuka pintu kamar kita. Ia masuk dengan gaya
riangnya. Setelah masuk, ia langsung mengambil posisi duduk diantara kita
berdua. “Kok lama sih ngejawabnya pa?” cetusnya merajuk.
“Ehm… kalo papa sih baru bangun
Parman. Nggak tau mama kenapa lagi? Kayaknya sih mama nggak kuat ngebayangin
muka papa yang unyu-unyu ini kali ya?”
“Dasar kepedean.” Ucapku malu,
karena kau menggodaku oh kekasihku.
“Mama kenapa nangis?” tanya Parman
anakku.
Aku kembali menggeleng, sembari
menghapus sisa-sisa tangis yang keluar karena bayangan masa lalu yang sempat
menghampiriku tadi. “Udah sini. Anak papa, sama mamanya biar papa peluk dah
agh…” kau memeluk kami. Kau memeluk aku, istrimu, dan memeluk Parman yang
walaupun bukan anak kandungmu. Tapi lebih kau sayangi, lebih dari sayangnya kau
pada dirimu sendiri. Terimakasih Imam kekasihku.
Bandung, 2 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar