“Taman yang indah.” Ucapku sewaktu ku berada di
suatu tempat entah dimana. Sejauh aku memandang, daerah ini begitu indah. Apa
aku telah mati? Aku yakin belum. Karena seharusnya ketika aku mati, sesuai
ajaran agamaku akan ada dua malaikat yang bertugas menanyaiku. Menanyaiku
tentang pertanggung jawabanku, adari apa-apa yang telah ku lakukan selama aku
hidup. Tapi ini, tak ada malaikat sama sekali. Tak ada orang satu pun, hanya
aku seorang diri disini. Di taman indah nan luas ini.
Kumbang berkeliaran tak ketakutan,
karena kehadiranku. Mereka menghampiri bunga-bunga yang tumbuh. Mulai
mengerayaminya secara sembarangan, tidak bermoral, tapi mereka memang tak punya
moral, mereka adalah binatang. Itulah kebiasaan yang mereka lakukan. Kumbang
memang diciptakan tuk menggoda, menghisap madu, lalu pergi jauh dari
bunga-bunga itu? Tak beradat istiadat, tak sopan, tak bersopan santun, dan
jelas mereka bukan manusia, yang punyai akal serta aturan dalam bersikap.
Sedari tadi aku hanya mematung. Rasa
takjub melihat pemandangan sekitarku, membuatku hanya berdiam diri. Penasaran,
aku sengaja tuk melangkahkan kaki. Belum jauh ku langkahkan kaki, keindahan
Tuhan yang lainnya langsung ku lihat. Tepat dibawah kakiku, ada segerombolan
semut yang seperti sedang asik mengawasi sarangnya. Kalau saja tak hati-hati
aku melangkah, pasti sarang mereka sudah rusak karena ku injak.
Sibuk melangkah, sembari melihat kesekitar. Aku
benar-benar semakin dibuat takjub sekaligus takut secara bersamaan. Takjub
karena pemandangan seperti ini, tak pernah lagi ku lihat. Itu semua karena di
negeriku semua hutan sudah ditebang orang-orang, tuk dijadikan aksesories
penghias kota. Dari mulai bangunan, mebel penghias rumah, semua berasal dari
pohon-pohon yang ada di hutan. Atau hutan itu dibuka tuk dijamah orang asing,
tanpa mau memikirkan nasib rakyat dinegeri sendiri.
Lama aku takjub, mulai kurasa takut. Takut
karena aku hanya seorang diri disini. Sekarang bukan cuman melangkah yang
kulakukan, aku mulai tuk berlari mengelilingi taman atau mungkin lebih tepatnya
hutan. Walau hutan ini begitu luas, dan indahnya bukan kepalang. Di hutan sunyi
ini, tak aku temui penampakan manusia selain aku. Cemas batinku jadinya.
Selain kesendirianku, yang lainnya masih
terlihat normal, aku lihat pohon-pohon raksasa yang mungkin berumur ratusan
tahun berselang seling dengan pohon yang lebih kecil, ada beberapa kawanan
monyet, dan tupai sedang asik dengan kesibukannya masing-masing yaitu makan.
Anehnya mereka seperti sudah biasa melihat manusia, tak lari, apalagi ketakutan
sewaktu melihat aku berlari melintasi mereka. Mereka malah seperti tersenyum,
saat aku lewat di dekat mereka.
***
“Ndah… Indah.” Terdengar suara ibuku memanggil,
tapi tak ku lihat sosoknya. Seiring dengan panggilan itu, tubuhku berguncang,
semakin lama makin kencang. Dan akhirnya. Perlahan tapi pasti, dapat ku lihat
juga sosok ibuku, yang saat ini tepat dihadapanku.
“Jadi kuliah nggak hari ini Ndah?”
“Eh, iya. Jam berapa sekarang mah?” tanyaku saat
teringat aku ada kuliah jam 11.
“Jam 8.” Terlepas dari mimpi tadi, aku mulai
bersiap menuju kekampus. Perjalanan menuju kekampus seperti biasanya, macet,
selalu saja macet.
Di dalam bis damri aku melihat
kearah kanan, lalu kiri jalan. Ku lihat gedung-gedung pabrik yang tak terlalu
tinggi, dengan luas yang sangat luar biasa. Tak lupa kutemui ada beberapa
bangunan kecil seperti Ruko, Toko serba ada, Super market, Mini market, Toko 24
jam, beberapa Outlet makanan cepat saji juga ada di sekitar jalan, di sepanjang
perjalananku menuju kampus. Begitu banyak gedung di kota ini, inilah bentuk
kemajuan dari suatu daerah. Jumlah bangunan komersil yang ada itu berbanding
lurus, dengan penguatan ekonomi yang ada didalam kota.
Tapi pemandangan ini ironis sekali
untukku, karena hanya beberapa saja ku lihat Pohon menghiasi perjalananku
menuju kampus. Itu pun bukan pohon yang besar, hanya pohon kecil, paling
tingginya cuman 1,5 meter saja. Sementara tinggi beberapa bangunan yang kulihat,
mungkin sampai lebih dari puluhan meter.
Tak seperti, apa yang kulihat di dalam mimpiku.
Yang singkat, tapi terus melekat, di malam tadi. Kota ini seperti bermusuhan
saja dengan alam, mereka bukan ingin bersahaja dengan alam. Tapi malah merusak
alam, untuk kepentingan sendiri, seenaknya saja.
Memang ada Taman Kota di kota ini.
Tapi Taman Kota itu hanya sebagai simbol yang menunjukan bahwa pemerintah
daerah telah memberikan ruang buat alam. Hanya sebatas simbol, dan tak lebih
dari itu. Di mimpiku, pohon-pohon itu tumbuh dengan indahnya. Sementara di kota
ini, pohon ada untuk memperindah cintra kota yang sebenarnya berpenyakit.
***
Bunga-bunga disana masih berkembang, semut, dan
serangga-serangga lainnya masih asik dengan kesibukannya masing-masing. Anehnya,
perasaanku tak sesenang pada saat ku pertama datang kesini. Kali ini, diantara
buaian angin, aku dapat merasakan ada kesedihan yang mendalam. Entah berasal
dari mana, lalu apa penyebab aku merasakannya.
Kakiku melangkah masih tak tau arah. Ia berontak
kepada tuannya sendiri, dan berjalan secara mandiri. Tak dalam kontrol otak,
atau pun keinginanku. Besitan tanya mulai datang, dan mendera pikiranku. Seakan
ada yang menariknya, melawan keinginanku. Tapi kemana, tujuannnya?
Akhirnya setelah cukup lama ia melangkah, kakiku
bisa berhenti juga. Ia berhenti tepat depan sebuah pohon yang lebih besar,
lebih tua dibandingkan pohon-pohon lainnya yang ada di dalam hutan ini. Karna penasaran,
akhirnya ku sentuh pohon itu, ku belai ia dengan lembut. Dan luar biasa,
ternyata ia bisa berbicara. “Kenapa kalian bisa jadi begini?” Aku terkejut, dan
ekspresiku pastinya sudah tidak jelas karenanya. Kakiku melangkah mundur,
menjauh sebisa mungkin dari pohon yang bisa bicara, yang sekarang ada
didepanku.
“Tak usah takut.” Suaranya besar, bergema.
“Kamu bisa ngomong?” Ucapku kaget, kurasa gigiku
gemeletuk tak menentu.
“Alam berbicara padamu, tapi kau tidak pernah
memperhatikannya. Mereka merupakan kumpulan ayat Tuhan juga. Dan aku salah satu
dari bagian ayat itu.” Aku terperanjat tak percaya, terkejut dan jelas masih
sangat takut. Dari mundur, kembali ku coba memberanikan diri, mendekat lagi kearah
pohon itu.
“Apa maksudmu pohon?” aku penasaran.
“Alam juga adalah Ayat-ayat Tuhan, dan mereka
nampak jelas bagi siapa pun yang mau membacanya. Alam telah terlampau lama di
acuhkan oleh kaummu. Kami bisa marah, tapi manusia tak kunjung jera.”
“Maksudmu?”
“Kemurkaan alam, sangat kejam. Kami diacuhkan,
dan direngut hak untuk ada dan hidup.”
“Aku masih belum mengerti?”
“Pohon-pohon sepertiku bisa menyerap udara kotor
yang dihasilkan oleh teknologi kaummu, dan mengeluarkan kembali menjadi oksigen
yang segar untuk kaummu juga. Alih-alih menanam pohon, untuk keseimbangan alam
dan teknologi kaummu. Mereka malah semakin rajin untuk menambah gedung-gedung,
dan mengurangi hak kami untuk berada di dekat mereka.” Aku mengangguk tanda
setuju, “Di sisi pantai, harusnya ada Pohon Bakau yang juga berfungsi sebagai
antisipasi dari abrasi air laut. Bukannya menanam Bakau di tepi pantai, kaummu
lebih mengutamakan bisnis pariwisata disana. Melupakan hak kami, secara
sembrono. Merampas keseimbangan alam, karena hanya berfikir soal uang yang bisa
di hasilkan darinya. Alasan mereka guna menambah Devisa Negara. Tapi nantinya,
nantinya uang itu akan dikorupsi oleh para politisi-politisi yang tidak amanah lagi.
Apa itu manusia?”
“Jadi sekarang apa maumu pohon? Apa kau pikir
semua manusia seperti itu?” tanyaku walau kurasa cukup tak adil menggangap
semua manusia itu sama.
“Aku tidak meminta apa-apa. Hanya meminta
perhatian kalian yang mau memperhatikan kami.”
***
“De… de… de…” suara seseorang memanggilku.
“Eh iya, ada apa Pak?” rupanya yang barusan
memanggilku adalah kondektur bis damri yang kunaiki.
“Udah sampe Ledeng.” Ucapnya mengingatkan.
“Makasih pak.” Sahutku seraya beranjak dari
tempat duduk.
Bandung, 2 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar