Mata sembabnya memandang kearah luar, dari jendela
kamar yang sengaja dibuka. Pandangannya jauh, melewati batas masa, tanpa ada
waktu yang jadi komposisi ingatannya. Tak siang tak malam, pikirannya selalu
menembus waktu. Mengores masa yang berjalan melaju kedepan, atau kadang dipaksa
tuk mengingat mundur kebelakang. Ingatan akan sosok yang paling dicintainya,
selalu membayang. Mewarnai pikiran dengan semua bias warna pengalamannya.
“Nda…” suara pelan, berat, keluar
dari mulut seorang tua yang letih.
“Iya Bu.”
“Mau sampai kapan kau begini Nak?”
“Begini apanya bu?” tanyanya, tanpa
lepas dari memandang keluar jendela.
“Sampai kapan kau mau menunggunya?”
“Entahlah bu.”
“Apa kau tak letih menunggu?”
sekarang bukan hanya suara yang bisa didengar telingannya, ada sentuhan halus
dipundaknya yang bisa dia rasa.
Kepalanya menoleh tuk melihat sosok
yang begitu perhatian yang ada disebelahnya, “Apa ada menunggu, tanpa adanya
letih bu?”
***
Gadis yang baru beranjak remaja itu
bernama Ninda. Seperti gadis-gadis lain seusianya, saat itu perasaanya tengah
bergejolak karna rasa cinta. Dan cintanya itu jatuh kepada seorang pemuda, tampan
rupanya. Pemuda itu pemilik mata sebening telaga, senyum bercahaya bagai
matahari dipagi hari. Dan pemuda itulah yang telah berhasil menundukan hatinya,
memutar balikan segala logika jadi kegilaan berlandaskan cinta.
Berkisah kasih mereka menjalani hari-harinya,
lewat komposisi rayuan, serta tawa renyah saat merasa terhibur. Jendela kamarnya
jadi saksi kisah cinta mereka berdua. Tiap malam, selepas adzan Isya
berkumandang, selalu saja ada suara ketetukan dari luar sana. Bila sudah
mendengar ini, langkah cepat yang akan jadi jawabannya. Tak lupa dihiasi senyum
yang terus menyembul dari bibir pembuka jendela, merasa orang yang ditunggunya
telah tiba.
Ketika jendela itu telah buka, dari sana akan
memperlihatkan sosok nan dirindukannya. Terang bulanlah yang akan menampakkan
wajahnya, walaupun keadaan diluar jendela itu gelap gulita. “Kenapa kau
terlambat?” lewat wajah dibuat ketus, Ninda merajuk pada Rama kekasihnya.
“Ah… baru lima menit.”
“Kau ini.”
Rama akan masuk kedalam kamar itu,
bukan seperti tamu lainnya yang melewati pintu depan rumah. Ia memilih jalur
bebas hambatan, ala maling yang punya rencana mengasak kediaman targetnya.
Melewati jendela kamar salah seorang anggota keluarga, dan selalu jendela kamar
Nindalah yang jadi tempat masuknya kedalam kamar.
Logika yang telah berputar balik itu
begitu mudah dirasuki nafsu yang berkoar ditelinga mereka. Bujuk rayu Rama
padanya, begitu berat tuk ditolaknya. Maka jendela yang tadi terbuka, akan
tertutup rapat setelah Rama memasukinya. Pintu kamar Ninda yang biasa terbuka,
akan ia kunci rapat-rapat. Menghindari ada yang masuk kesana, dan memergoki
mereka.
Saat Adzan Subuh berkumandang, itu
adalah pertanda bahwa perkelanaan mereka harus terhenti. Satu gerakan yang sama
ketika membuka jendela tuk memasukan Rama kekamarnya, dilakukan Ninda kembali.
Tapi kali ini untuk mengeluarkan kekasih hatinya. Begitulah yang terjadi, dari
hari ke hari, yang berganti minggu ke minggu.
***
“Mengapa kau harus pergi?” suara Ninda
meledak saat Rama mengungkapkan sesuatu yang mengejutkannya.
“Aku tidak ingin membuat malu
keluargaku sayang, hanya sebentar dan aku akan kembali. Jika aku tetap disini,
aku hanya penganguran tak punya pekerjaan.”
“Mengapa keluargamu harus malu
dengan itu?”
“Aku tidak bisa begini terus sayang.
Hanya menumpang dirumah, tanpa kerja, tanpa penghasilan.”
“Mengapa harus pergi ke kota? Apa
tidak bisa disini saja mencari kerja?” rintik air mata membasahi pipi Ninda.
Diluar sana, bulan bercahaya terang benderang. Tapi pandangannnya saat ini
entah mengapa begitu kelam.
“Daerah ini tertinggal, dan tak ada
lagi kerja yang menjanjikan disini.”
“Apakau rela meninggalkanku disini
sendiri?”
“Mengapa kau pikir aku sanggup melakukan
itu?” tak ada suara lagi diantara mereka. Hening menelan semua kata-kata,
menampungnya hanya dalam hati dengan semua tanya yang bersemi dipikiran, tak
bisa dikatakan. Hanya gerakan yang sudah terbiasa mereka lakukan dikala malam,
membuat mereka bersuara. Beberapa tawa yang kemudian berubah jadi ringkikan,
atau malah suara seperti orang sedang menginjak tanah becek yang muncul diantara
mereka.
Seperti biasanya, Adzan Subuh adalah
pertanda. Pertanda perjalanan meletihkan mereka harus berhenti, dengan terpaksa
mereka menghentikannya. Rama pergi, sesudah kecupan dikening Ninda membuat
matanya terpejam sementara.
“Kau harus kembali!” ucap Ninda
bernada mengancam.
Sebersit senyum yang bermakna dalam,
begitu tenang Rama keluarkan penanda perpisahan. “Aku berjanji sayang.”
***
Lima tahun berlalu dari waktu
perpisahan itu, jendela kamarnya masih tak berubah. Masih jadi saksi hari-harinya
Ninda. Jadi saksi lamunannya tentang kekasihnya, lamunannya tentang Rama.
Sering ia tanyakan apakah ada yang tau tentang kabar Rama sekarang, tapi
semuanya mengeleng kepala sebagai jawaban. Sekitar tiga tahun dari kepergian
Rama, keluarga Rama juga terpaksa meninggalkan kampung mereka karena rumah
satu-satunya, terpaksa disita oleh rentenir penagih hutang. Entah dimana mereka
sekarang tinggal. Tak jelas juga kabarnya.
Ninda masih menunggu kekasihnya kembali, hanya
berharap. Dilumuri sesal, dan sedih didalam hati. Ia merasa malu membaur dengan
para teman-teman sebayanya, karena tak tau siapa orangnya telah menyebarkan
kebiasaannya yang sering bercengkrama dengan Rama dari malam sampai menjelang
pagi.
Harga dirinya terinjak, keluarganya
dikucilkan dari pergaulan di kampung mereka. Dianggap sebelah mata, dengan
hinaan yang tak terukur perihnya. Rasa cintanya yang sudah memutar logika,
membuatnya bisa melakukan hal yang tak seharusnya ia lakukan. Dan kini, semua
itu hanya menghadirkan penyesalan, dan ritihan tangis disetiap waktunya.
Kecewa yang mendalam, karena
kekasihnya yang dicinta telah menghianatinya, karena telah membohonginya. Mengambar gores dalam batinnya.
Setiap bait kecewa yang menghampiri pikirannya, akan mengarahkannya kedalam
kenangan-kenangan saat Rama memasuki kamarnya, setelah menaiki jendela kamarnya,
lalu menaiki kasur untuk kemudian mengajaknya berpetualang. Bagai desir angin
yang tenang, dan membuat rasa sejuk, bukan kedinginan.
Wajahnya yang bening, mata yang
tenang bak telaga, senyum terang bagai mentari pagi yang bersinar. Menghiasi pikiran,
juga kenangannya. Mengisi hari-harinya. Biar tubuhnya ada dimasa depan,
pikirannya telah terpenjara masa lalu. Terbenam dalam ingatan, tak sadar masa
depan. Terkubur dalam penyesalan.
***
“Ibu. Nenek.” Suara seorang anak yang
menggalihkan lamunannya. Ninda tersenyum, ibunya yang dari tadi terus duduk
disebelahnya juga tersenyum. “Ada apa Rama?”
“Nenek sama Ibu lagi ngapain sih? Kok pada diem
ngeliatin apaan sih disana?” tanyanya polos, yang kini tak hanya dibalas oleh
senyuman sepasang wanita ini. Tanya itu dijawab lewat senyum juga rintikan
tangis yang keluar dari kelopak mata mereka masing-masing. “Nenek sama Ibu
kenapa nangis?”
“Nggak kenapa-napa sayang.” Tubuh mungil itu
kini tak dibiarkannya berdiri, tubuh itu Ninda dudukan dipangkuannya. Elusan
pelan, diatas kepala bocah itu mengalir rasa sayang yang hanya akan dimengerti
oleh para kaum ibu sepertinya.
“Bu…”
“Apa Rama?”
“Kapan ayah pulang ya bu? Kok lama
banget sih perginya?”
Bandung, 6 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar