Kilatan petir saling betautan dilangit sore hari
ini, saling menyilang, terus memancarkan cahaya. Membuat banyak bercak putih
diatas langit yang kelam, yang sekarang ditutupi awan. Tetes-tetes hujan yang
lambat laun mulai jatuh kebumi, rinai air yang turun seakan pertanda bahwa
hujan akan lamban berlalu. Aku masih berteduh dipos satpam bank tempat ku
mengais rejeki sebagai tukang parkir. Kalau sedang tak ada kendaraan yang akan
diparkirkan, aku akan berdiam diri dipos ini. Hari ini nasabah yang menggunakan
kendaraan menuju bank memang lebih sedikit dari hari biasanya. Sehingga aku
lebih banyak menunggu disini. Apalagi diluar sedang hujan, tambahlah alasanku
berada diruang ukuran 2x3 meter ini jadinya.
“Man… Man…” bisik Wawan satpam bank, sambil
menyenggol tanganku. “Parkir tuh!” lanjutnya menunjuk kearah sebuah mobil
Mercedes yang masih menunggu tuk ku parkirkan.
Segera aku menuju kearah mobil tersebut, tak
kuperdulikan rinai hujan yang masih turun. Tanpa jas hujan, aku mendekati mobil
itu. Setalah tepat berada didepan mobil itu, ku mulai menggerakan tangan kanan,
juga tangan kiriku, sebagai tanda agar memudahkan pengemudi yang ada didalam
tuk memarkirkan mobilnya. Ku ikuti semua pergerakannya, agar jangan sampai bodi
mobil mewah itu lecet karena tergores sesuatu.
“Terus… terus… kiri dikit… kiri
dikit… tambah dikit… ooopppp…”
Setelah terparkir, perlahan-lahan pintu mobil
mewah itu terbuka. Sang pengemudi yang keluar dari dalam, menggunakan tangan
kanannya tuk menutupi kepala dari rintikan hujan, sedangkan tangan kirinya
nampak megangkat sebuah koper berwarna hitam. Pintu itu ditutup, ia mulai
berlari-lari kecil, beringsut masuk kedalam bank.
Sementara orang itu berada didalam. Aku
kembali kedalam pos satpam tuk berteduh, sambil menanti kendaraan lain yang
akan diparkirkan selanjutnya. Disela menunggu inilah kulihat pintu bank
terbuka, seseorang keluar dari sana.
Ia adalah sang pengemudi mobil mewah tadi. Ternyata ia tak lama berada didalam.
Pengemudi itu masih sangat muda, badannya juga
tegap, dengan setelan jas hitam menutupi tubuhnya. Ku yakin dia adalah pemilik
dari mobil Mercedes itu, bukan supir atau suruhan atasan yang biasa kujumpai
sedang mengendarai mobil-mobil mewah lain yang diparkirkan dihalaman bank ini.
Setelah ia masuk kedalam mobil mewahnya,
aku mendekati mobil itu tuk melanjutkan jasa pemarkiranku. Tapi bukannya
bergerak, tuk kemudian mengikuti aba-aba yang kukeluarkan seperti sebelumnya.
Pintu mobil itu malah kembali terbuka, pria tadi mengerluarkan sedikit
kepalanya. Lalu melambaikan tangannya, sebagai isyarat agar aku mendekatinya.
Beberapa pengemudi memang sering
memberi uang tip sebelum mobilnya aku parkirkan. Jadi tak ada kecurigaan, atau
pikiran macam-macam sewaktu ia memberi isyarat aku tuk mendekatinya. “Iya Pak.”
Sahutku ramah.
“Bapak butuh kerja?” katanya pelan,
rintik hujan yang bergemericik diatas genting mengaburkan pendengaranku.
“Apa pak?” tanyaku sekali lagi.
“Bapak butuh kerja.” Ulangnya dengan
pertanyaan yang sama. “Saya punya pekerjaan buat bapak, saya yakin upahnya jauh
lebih besar daripada upah bapak jadi tukang parkir.” Tambahnya bernada halus.
Tubuhku menggigil karena air hujan
yang merembes disela-sela pakaianku, tapi didalam pikiranku ada rasa hangat
yang mengalir deras, tak terbendung. “Emang kerja apaan ya pak?” aku mulai
antusias.
“Kalau bapak setuju, besok saya akan
datang kemari untuk bicara dengan bapak.”
“Oh baik… baik…” aku menggangkukan
kepala mengiyakan.
Pengemudi itu meronggoh sakunya, diambilnya
selembaran uang yang tak asing kulihat, walaupun jarang lebaran itu ada
didompetku. “Ini untuk bapak.”
“Nggak ada uang pas pak?” merasa tak ada
kembalian, karena lembaran mata uang yang diberikannya terlalu besar. Aku
mengucapkan apa yang aku pikirkan.
“Itu buat bapak, ambil aja.”
Masih kupandangi lembaran uang berwarna merah
muda yang ada ditanganku, “Seratus ribu pak.” Seruku, nyaris berbisik.
“Iya itu buat bapak, ambil aja.”
“Makasih banyak pak, makasih banyak.” Tangan
pengemudi itu kuraih, kuciumi serampangan. Merasa orang itu sudah sangat baik
padaku, sampai mau memberiku seratus ribu rupiah sebagai tip memarkirkan
kendaraannya.
***
Dipagi ini aku melaksanakan kerjaan
harianku dengan setengah hati. Pekerjaan, entah apa itu. Yang kemarin
ditawarkan seseorang pengemudi mobil Mercedes padaku, telah lebih dulu meraup
hasrat kerjaku buat memarkirkan kendaraan para nasabah bank.
Dan betapa cepat kurasa detak
jantungku, saat kumelihat sebuah mobil Mercedes yang kemarin datang. Mulai
masuk kedalam halaman bank. Cepat kuambil langkah untuk memarkirkan mobil itu.
Pengemudi yang kemarin sudah begitu baik memberiku uang seratus ribu, hanya
karena jasa memarkirkan mobilnya, kulihat keluar dari dalam sana. Tapi sekarang dia tak masuk kedalam
bank, ia mendekatiku yang masih berada dibelakang mobil itu.
“Masih tertarik sama tawaran saya
kemarin pak?”
“Masih pak.”
Kami memilih pos satpam sebagai tempat
pembicaraan. Wawan sang pemilik ruangan, sekarang ini masih setia berdiri
didepan pintu bank. Untuk memberikan senyum selamat jalan kepada para nasabah
yang baru beres bertransaksi didalam sana.
“Kalo boleh tau, pekerjaan apa itu ya pak?” tembakku penasaran.
“Eh iya. Sebelumnya saya perkenalkan, nama saya
Karmin.” Sambil mengulurkan tangannya kearahku.
“Karman Pak.” Tangan kami berjabatan, sebagai bentuk
simbolis dari sebuah perkenalan.
“Hahahaha…” tawanya pecah, entah karena apa.
“Nama kita hampir sama ya pak.” Serunya diselingi tawa dari mulutnya. Aku
mengganguk cepat, juga ikut-ikutan ketawa. “Jadi gini pak, saya punya pekerjaan
buat bapak.” Setalah tawanya selesai, ia menatapku lekat. Aku tak berbicara,
hanya memperhatikan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Pasti
pekerjaan itu bisa bikin bapak cepet kaya.”
“Memangnya pekerjaan apa itu ya pak?”
“Jadi perampok bank pak, gimana?” aku terhenyak,
nyaris tak percaya dengan semua yang barusan dikatakan Karmin padaku.
Pekerjaan yang baru disebutnya, tak pernah
berani aku rencanakan, walaupun sering terlintas didalam pikiran. “Ah bapak ini
becanda ya? Saya mana berani buat ngelakuin pekerjaan seperti itu pak.” Balasku
diselingi nada guyon disana-sini.
“Tapi saya serius pak.” Tak ada raut senyum
dibibir Karmin, “Bapak mau cepet kayak nggak? Kalau mau bapak harus ikut sama
saya!” lanjutnya seperti memerintah.
“Saya nggak berani pak, takut masuk penjara.”
Sergahku polos.
Sesungging senyum, kembali dihadirkannya dalam
pembicaraan kami. “Kamu tinggal pakai masker aja Man! Atau kalau masih kurang,
kamu bisa pakai topeng, atau malah penutup kepala. Gimana? Saat ini saya lagi
butuh orang dalam, buat ngelakuin rencana saya ini.” Bisik Karmin, lalu
menyodorkan bungkus rokoknya kearahku. Aku menolaknya dengan halus, sebatang
rokok ia keluarkan, dan kemudian dinyalakannya. “Kamu orang dalam yang saya
pilih. Gimana?”
“Tapi itu pekerjaan haram.”
“Apanya yang haram?” tanya Karmin cepat,
sesekali menyembulkan asap rokok yang membuat ruangan itu nampak seperti diatas
awan.
“Kerjaan itu.”
“Perampok uang negara juga ngelakuin hal yang
haram, tapi mereka juga pada santai-santai aja.”
“Kamu bisa dihukum, kalo kamu masih mau
ngelakuin itu.” Bisikku mulai mengeluarkan nada mengancam, rasa hormatku pada
orang yang ada didepanku saat ini. Sudah luntur sedari ia memberitau tentang
pekerjaan yang harus kukerjakan, jadi tak perlu kugunakan kata-kata halus tuk
berbicara dengannya.
Karmin mendadak tertawa lagi, mungkin ancamanku terdengar
lucu ditelinganya. Ku liat tak ada bias ketakutan dalam mukannya sesudah
mendegar ancamanku barusan. “Hukumankan kalo kamu ketanggkep. Kalau kamu nggak
ketangkep, kamu nggak bakalan dihukum Man.”
“Tapi kerjaan itu tetep jalan yang salah Min.”
Tambahku nyaris hilang semua sabarku. Ingin rasanya kepalan tanganku ini
bersarang dimuka orang yang sekarang ada didepanku ini, atau mungkin sekedar menyumpal
mulutnya dari semua bualan yang sedari tadi terus dikeluarkannya.
“Salah, dan benar itu masalah ada yang tau atau
nggak. Kalau nggak ada yang tau, ya nggak ada itu yang namanya salah atau
benar.” Sahutnya, sembari mengeluarkan asap rokok dari mulutnya. Aku tak
menjawab penyataannya barusan, aku lebih memilih meninggalkannya dari pada
harus terpancing amarah yang hanya akan menghasilkan keributan. “Mau kemana
kamu?”
“Markir.” Sahutku tanpa menoleh.
***
Beberapa mobil, juga motor nasabah bank sudah
kuparkirkan. Tak terasa hari sudah masuk sore. Gundukan awan gelap mulai
terbentuk diatas langit, disertai angin kencang yang menjalar menebus
tubuh-tubuh mulai kurasakan. Tanda hari mau hujan. Dan benar saja, perlahan
rintik-rintik air yang jatuh dari awan mulai terdengar diatas atap, memaksaku
untuk berteduh kedalam pos satpam.
Sampai dipos satpam, tak kutemui Wawan, entah
kemana ia? Tapi yang jelas sosok Karmin masih ada disana. Aku sendiri nyaris
tak ingat sudah berapa lama aku meninggalkannya didalam pos satpam sendirian.
Mataku melihat kesekitar pos satpam, dan seakan
bisa membaca pikiranku. Karmin mulai bersuara, “Tenang saja. Aku tak main
dengan barang-barang remeh temeh seperti yang ada didalam sini.”
“Sekarang kau menunggu apa lagi? Aku sudah
bilang tak akan menerima pekerjaan yang kau tawarkan.” Kataku duduk didepannya.
“Aku tau, kau sebenarnya tertarik dengan
tawaranku.” Tatap matanya coba menyelidikiku.
Mataku menatap kearahnya, “Jangan asal kau kalau
bicara.”
“Aku tak pernah asal jika bicara. Apa kau pikir
aku tak tau apa ada didalam pikiranmu?” senyum meremehkan, terselip dibibir
Karmin. Membuat perasaanku jadi tak tenang dibuatnya, “Aku tau apa yang kau
pikirkan, karena itulah senjata utamaku dalam pekerjaan ini. Aku harus bisa
mengendalikan pikiran targetku, untuk tau apa yang nantinya akan dia lakukan.”
“Pendusta kau.” Suaraku berteriak, kepalan
tanganku mulai siap tuk menumbuk mukanya bila diperlukan.
Tawa Karmin kembali keluar, hujan rintik-rintik
yang jatuh diatas genting, angin yang masuk dari pintu pos satpam yang terbuka.
Makin membuat semua perasaan tak nyaman menyelimuti tubuhku saat ini. “Tadi kau
bilang pekerjaanku haram, pekerjaan ku salah, dan aku akan dihukum karena aku
melakukan pekerjaanku itu. Dan sekarang kau bilang aku pendusta. Apa kau pikir
kau ini tak terlalu naif Man?”
Omongannya barusan benar-benar merobek semua
batas-batas kesabaranku, dengan suara tinggi aku berteriak kembali kearahnya.
“Kau pergi dari sini, atau aku akan panggil keamanan?”
“Coba saja kau lakukan, itu pun kalau memang ada
yang mendengarmu.”
***
Rasa pening masih kurasakan, badanku, tangan,
kakiku, semua kurasakan sakit saat kugerakan. Perlahan kubuka mataku yang berat
tuk terangkat, dan silau menyergapku. Dengan pandangan yang kabur, aku tau
kalau aku sedang didalam ruangan yang serba putih, ruangan ini hanya diterangi
sebuah lampu neon tepat ditengah-tengahnya. Dua orang wanita berdiri disebelah
kanan juga kiriku. Sedangkan aku masih berada pada posisi tertidur diatas kasur
yang jauh dari kata nyaman.
“Saya dimana?” tanyaku kepada siapapun yang
mendengarnya.
Dua wanita itu melihatku, salah seorang diantara
mereka berlari kearah luar. Sementara yang satunya mendekatiku, “Bapak udah
sadar?” suaranya tenang.
Tak lama, munculah wanita yang tadi berlari
keluar. Serta beberapa orang pria yang mengenakan seragam. Satu orang diantara
mereka memakai seragam berwarna putih, persis seperti yang dikenakan oleh kedua
orang wanita yang ada disebelahku tadi. Pria yang lainnya juga berseragam, tapi
dengan pakaian berwarna agak gelap, dilengkapi dengan topi dan juga emblem-emblem
berwarna emas dipundaknya.
“Gimana dok?” suara seorang pria yang lebih
gagah dari yang lainnya bersuara.
Baru kusadar, saat ini aku sedang berada dirumah
sakit. Makin kufokuskan lagi pandanganku, dan bayang-bayang pria memakai
pakaian berwarna gelap itu ternyata adalah polisi. “Ada apa ini pak?” tanyaku panik. Tubuhku
mulai kuangkat kebelakang, untuk bisa duduk. Mata para polisi yang ada didekat
dokter menjadi awas, sigap memperhatikan setiap gerakan yang kulakukan.
Sementara para perawat wanita tadi, membantuku untuk melakukan niatanku tuk
bisa duduk.
Mataku yang sudah bisa fokus, mulai melihat
kesekeliling ruangan itu. Sebuah cermin yang berada tepat disebelah tempat
tidurku memantulkan bayang diriku. Tapi alangkah terkejutnya aku saat melihat sosok
bayangan yang terpampang dari dalam cermin yang ada diatas meja sebelah tempat
tidurku. “Karmin.” Ucapku saat melihat bayang hasil pantulan cermin yang
sekarang sedang kupandangi.
Bandung, 2 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar