Mata uang yang terpenting untuk bertahan pada abad ke-21 adalah
keahlian. Sebab, itu dapat dijadikan senjata berkompetisi di dunia
internasional.
"Selama Anda punya bakat, Anda bisa bekerja di mana saja. Tidak ada
lagi waktu untuk memikirkan rasisme, karena dalam sebuah perusahaan
semua warna kulit sudah bercampur," kata Duta Besar Indonesia untuk
Amerika Serikat, Dino Patti Djalal pada Konferensi Futurologi
Internasional 2012 di Jakarta, Sabtu (20/10).
Menurut Dino, terdapat tujuh juta manusia di dunia. Lima juta di
antaranya berusia 15 tahun ke atas, dan tiga juta orang membutuhkan
pekerjaan formal. Namun pekerjaan yang tersedia saat ini hanya 1,2 juta
di dunia, sehingga dibutuhkan 1,8 juta lapangan pekerjaan lagi.
Persaingan yang sangat ketat tersebut menuntut peningkatan kompetensi,
terutama di bidang kehalian bahasa. "Tidak hanya cukup bagi kita untuk
bisa berbahasa Inggris, perlu bahasa lain seperti Bahasa Mandarin,
Jepang dan lainnya. Selain itu, kalau Anda ingin bisa tumbuh dan
berkembang, kembangkan hal yang unik," kata Dino.
Dino memaparkan empat hal untuk tumbuh dan berkembang di abad 21.
Selain keahlian, hal yang sama pentingnya adalah konektivitas. Sebab,
konektivitas dapat menjadi kekuatan untuk melebur dengan negara atau
kelompok lain di berbagai belahan dunia.
"Bahkan konektivitas dapat membuat seseorang lebih besar daripada
sebuah negara, misalnya saja telepon genggam Iphone, dahulu produk
tersebut digunakan untuk jaringan keamanan Amerika, saat ini ada di
tangan Anda," kata Dino.
Pada 2011, terdapat 983 situs di internet, jutaan pengguna media sosial
Facebook, enam juta pengguna telepon genggam dan dua juta orang
memiliki email. Hal ini membuktikan betapa pentingnya konektivitas.
Selanjutnya, Dino mengatakan, yang tidak kalah penting adalah tentang
pola pikir. Artinya, pola pikir seseorang akan mendorong orang tersebut
berbuat dan menjadi sesuatu. Namun, kebanyakan masyarakat Indonesia
terperangkap dalam sebuah paradoks mengenai apa yang dipikirkan tidak
sesuai dengan tindakan.
"Misalnya kita ingin unggul, tapi takut bersaing, ingin maju tapi malas
berinovasi, kita harus tolak paradoks tersebut," ujar Dino.
Yang terakhir adalah mengubah strategi dengan lebih banyak bekerja sama
dan terintegrasi dengan pesaing-pesaing yang potensial. Misalnya,
Vietnam dan Myanmar pernah mengklaim bahwa pembentukan Perhimpunan
Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) merupakan negara-negara yang sangat
dekat dengan negara Barat. Namun dengan perubahannya, akhirnya ASEAN
merangkul kedua negara tersebut.
"Kemudian dengan organisasi G7, pada abad 21 sekarang menjadi G20.
Indonesia masuk ke dalamnya dan bekerja sama dengan negara lain dalam
bidang perekonomian," kata Dino.
Dengan demikian, Indonesia membutuhkan apa yang disebut Vitamin M oleh
Dino, yaitu multikulturalisme, meritokrasi dan multilateralisme,
sehingga mampu menuju "hati nurani global".
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar