Senin, 21 Januari 2013

Lalim

“Taman yang indah.” Ucapku sewaktu ku berada di suatu tempat entah dimana. Sejauh aku memandang, daerah ini begitu indah. Apa aku telah mati? Aku yakin belum. Karena seharusnya ketika aku mati, sesuai ajaran agamaku akan ada dua malaikat yang bertugas menanyaiku. Menanyaiku tentang pertanggung jawabanku, adari apa-apa yang telah ku lakukan selama aku hidup. Tapi ini, tak ada malaikat sama sekali. Tak ada orang satu pun, hanya aku seorang diri disini. Di taman indah nan luas ini.
            Kumbang berkeliaran tak ketakutan, karena kehadiranku. Mereka menghampiri bunga-bunga yang tumbuh. Mulai mengerayaminya secara sembarangan, tidak bermoral, tapi mereka memang tak punya moral, mereka adalah binatang. Itulah kebiasaan yang mereka lakukan. Kumbang memang diciptakan tuk menggoda, menghisap madu, lalu pergi jauh dari bunga-bunga itu? Tak beradat istiadat, tak sopan, tak bersopan santun, dan jelas mereka bukan manusia, yang punyai akal serta aturan dalam bersikap.
            Sedari tadi aku hanya mematung. Rasa takjub melihat pemandangan sekitarku, membuatku hanya berdiam diri. Penasaran, aku sengaja tuk melangkahkan kaki. Belum jauh ku langkahkan kaki, keindahan Tuhan yang lainnya langsung ku lihat. Tepat dibawah kakiku, ada segerombolan semut yang seperti sedang asik mengawasi sarangnya. Kalau saja tak hati-hati aku melangkah, pasti sarang mereka sudah rusak karena ku injak.  
Sibuk melangkah, sembari melihat kesekitar. Aku benar-benar semakin dibuat takjub sekaligus takut secara bersamaan. Takjub karena pemandangan seperti ini, tak pernah lagi ku lihat. Itu semua karena di negeriku semua hutan sudah ditebang orang-orang, tuk dijadikan aksesories penghias kota. Dari mulai bangunan, mebel penghias rumah, semua berasal dari pohon-pohon yang ada di hutan. Atau hutan itu dibuka tuk dijamah orang asing, tanpa mau memikirkan nasib rakyat dinegeri sendiri.
Lama aku takjub, mulai kurasa takut. Takut karena aku hanya seorang diri disini. Sekarang bukan cuman melangkah yang kulakukan, aku mulai tuk berlari mengelilingi taman atau mungkin lebih tepatnya hutan. Walau hutan ini begitu luas, dan indahnya bukan kepalang. Di hutan sunyi ini, tak aku temui penampakan manusia selain aku. Cemas batinku jadinya.
Selain kesendirianku, yang lainnya masih terlihat normal, aku lihat pohon-pohon raksasa yang mungkin berumur ratusan tahun berselang seling dengan pohon yang lebih kecil, ada beberapa kawanan monyet, dan tupai sedang asik dengan kesibukannya masing-masing yaitu makan. Anehnya mereka seperti sudah biasa melihat manusia, tak lari, apalagi ketakutan sewaktu melihat aku berlari melintasi mereka. Mereka malah seperti tersenyum, saat aku lewat di dekat mereka.  

***

“Ndah… Indah.” Terdengar suara ibuku memanggil, tapi tak ku lihat sosoknya. Seiring dengan panggilan itu, tubuhku berguncang, semakin lama makin kencang. Dan akhirnya. Perlahan tapi pasti, dapat ku lihat juga sosok ibuku, yang saat ini tepat dihadapanku.
“Jadi kuliah nggak hari ini Ndah?”
“Eh, iya. Jam berapa sekarang mah?” tanyaku saat teringat aku ada kuliah jam 11.
“Jam 8.” Terlepas dari mimpi tadi, aku mulai bersiap menuju kekampus. Perjalanan menuju kekampus seperti biasanya, macet, selalu saja macet.
            Di dalam bis damri aku melihat kearah kanan, lalu kiri jalan. Ku lihat gedung-gedung pabrik yang tak terlalu tinggi, dengan luas yang sangat luar biasa. Tak lupa kutemui ada beberapa bangunan kecil seperti Ruko, Toko serba ada, Super market, Mini market, Toko 24 jam, beberapa Outlet makanan cepat saji juga ada di sekitar jalan, di sepanjang perjalananku menuju kampus. Begitu banyak gedung di kota ini, inilah bentuk kemajuan dari suatu daerah. Jumlah bangunan komersil yang ada itu berbanding lurus, dengan penguatan ekonomi yang ada didalam kota.
            Tapi pemandangan ini ironis sekali untukku, karena hanya beberapa saja ku lihat Pohon menghiasi perjalananku menuju kampus. Itu pun bukan pohon yang besar, hanya pohon kecil, paling tingginya cuman 1,5 meter saja. Sementara tinggi beberapa bangunan yang kulihat, mungkin sampai lebih dari puluhan meter.          
Tak seperti, apa yang kulihat di dalam mimpiku. Yang singkat, tapi terus melekat, di malam tadi. Kota ini seperti bermusuhan saja dengan alam, mereka bukan ingin bersahaja dengan alam. Tapi malah merusak alam, untuk kepentingan sendiri, seenaknya saja.
            Memang ada Taman Kota di kota ini. Tapi Taman Kota itu hanya sebagai simbol yang menunjukan bahwa pemerintah daerah telah memberikan ruang buat alam. Hanya sebatas simbol, dan tak lebih dari itu. Di mimpiku, pohon-pohon itu tumbuh dengan indahnya. Sementara di kota ini, pohon ada untuk memperindah cintra kota yang sebenarnya berpenyakit.

***
           
Bunga-bunga disana masih berkembang, semut, dan serangga-serangga lainnya masih asik dengan kesibukannya masing-masing. Anehnya, perasaanku tak sesenang pada saat ku pertama datang kesini. Kali ini, diantara buaian angin, aku dapat merasakan ada kesedihan yang mendalam. Entah berasal dari mana, lalu apa penyebab aku merasakannya.
Kakiku melangkah masih tak tau arah. Ia berontak kepada tuannya sendiri, dan berjalan secara mandiri. Tak dalam kontrol otak, atau pun keinginanku. Besitan tanya mulai datang, dan mendera pikiranku. Seakan ada yang menariknya, melawan keinginanku. Tapi kemana, tujuannnya?
Akhirnya setelah cukup lama ia melangkah, kakiku bisa berhenti juga. Ia berhenti tepat depan sebuah pohon yang lebih besar, lebih tua dibandingkan pohon-pohon lainnya yang ada di dalam hutan ini. Karna penasaran, akhirnya ku sentuh pohon itu, ku belai ia dengan lembut. Dan luar biasa, ternyata ia bisa berbicara. “Kenapa kalian bisa jadi begini?” Aku terkejut, dan ekspresiku pastinya sudah tidak jelas karenanya. Kakiku melangkah mundur, menjauh sebisa mungkin dari pohon yang bisa bicara, yang sekarang ada didepanku.
“Tak usah takut.” Suaranya besar, bergema.
“Kamu bisa ngomong?” Ucapku kaget, kurasa gigiku gemeletuk tak menentu.
“Alam berbicara padamu, tapi kau tidak pernah memperhatikannya. Mereka merupakan kumpulan ayat Tuhan juga. Dan aku salah satu dari bagian ayat itu.” Aku terperanjat tak percaya, terkejut dan jelas masih sangat takut. Dari mundur, kembali ku coba memberanikan diri, mendekat lagi kearah pohon itu.
“Apa maksudmu pohon?” aku penasaran.
“Alam juga adalah Ayat-ayat Tuhan, dan mereka nampak jelas bagi siapa pun yang mau membacanya. Alam telah terlampau lama di acuhkan oleh kaummu. Kami bisa marah, tapi manusia tak kunjung jera.”
“Maksudmu?”
“Kemurkaan alam, sangat kejam. Kami diacuhkan, dan direngut hak untuk ada dan hidup.”
“Aku masih belum mengerti?”
“Pohon-pohon sepertiku bisa menyerap udara kotor yang dihasilkan oleh teknologi kaummu, dan mengeluarkan kembali menjadi oksigen yang segar untuk kaummu juga. Alih-alih menanam pohon, untuk keseimbangan alam dan teknologi kaummu. Mereka malah semakin rajin untuk menambah gedung-gedung, dan mengurangi hak kami untuk berada di dekat mereka.” Aku mengangguk tanda setuju, “Di sisi pantai, harusnya ada Pohon Bakau yang juga berfungsi sebagai antisipasi dari abrasi air laut. Bukannya menanam Bakau di tepi pantai, kaummu lebih mengutamakan bisnis pariwisata disana. Melupakan hak kami, secara sembrono. Merampas keseimbangan alam, karena hanya berfikir soal uang yang bisa di hasilkan darinya. Alasan mereka guna menambah Devisa Negara. Tapi nantinya, nantinya uang itu akan dikorupsi oleh para politisi-politisi yang tidak amanah lagi. Apa itu manusia?”
“Jadi sekarang apa maumu pohon? Apa kau pikir semua manusia seperti itu?” tanyaku walau kurasa cukup tak adil menggangap semua manusia itu sama.
“Aku tidak meminta apa-apa. Hanya meminta perhatian kalian yang mau memperhatikan kami.”

***

“De… de… de…” suara seseorang memanggilku.
“Eh iya, ada apa Pak?” rupanya yang barusan memanggilku adalah kondektur bis damri yang kunaiki.
“Udah sampe Ledeng.” Ucapnya mengingatkan.
“Makasih pak.” Sahutku seraya beranjak dari tempat duduk.


Bandung, 2 April 2012 



Tanya Kenapa ?


Kadang angin topan, bisa jadi melelapkan
Kadang riuh ombak, bisa jadi menenangkan
Kadang terik mentari, bisa jadi menyegarkan
Tapi kenapa…
Tapi kenapa? Tanah subur, justru membuat kelaparan?
Tapi kenapa? Mata air nan jernih, justru membuat kehausan?
Dan mengapa…
Dan mengapa? Pahlawan, malah jadi terlupakan?
Dan mengapa? Kemerdekaan, malah jadi memenjarakan?
Lalu mengapa…
Lalu mengapa? Tirani justru merajai?
Lalu mengapa? Korupsi semakin menjadi-jadi?

Bandung, 2 Maret 2012

Tanda Tanya


Mengapa harus kabar duka?
Apabila kabar suka bisa membuat kita tertawa bahagia.
Mengapa harus kelam?
Apabila cahaya bisa terangi masa.
Mengapa harus atheis?
Sementara agamis membuat kita bertujuan dalam dunia.
Mengapa harus berdusta?
Apabila jujur membuat hidup lebih apa adanya.
Mengapa harus munafik?
Sementara amanah adalah cerah di antara hutan rimba dunia.

Bandung 6 April 2012

Sejumput Kenangan Tentang Masa Lalu




Waktu melaju bak putaran roda nan mengelinding dijalan curam, tak terhenti, tak tertunda. Itulah yang kurasakan saat ini. Waktu itu melaju, sebagian hasil dari waktu itu kuharap hanya mimpi, dan sebagian lainnya kuingin tak pernah berhenti tuk terjadi. Entah bagaimana harusnya aku memaknai tentang waktu, mendefinisikan siratan putaran yang tak berhenti ini.   
            Ingin rasanya kuulang semua waktu yang pernah membuatku terlena, dan akhirnya terjerembab dalam lumuran tanya akan makna dosa. Tapi andai bisa kulakukan itu, apakah mungkin aku berjumpa denganmu? Apakah mungkin kau menjadi suamiku? Dan jadi teman sejati kala menjalani hari-hari dihidup ini?
            Enam tahun lamanya kau menemaniku, mengembirakanku dengan semua tingkahmu. Bahkan akupun bisa tersenyum walau hanya melihatmu ada disampingku. Kau yang menyelamatkanku, dari usahaku menamatkan waktu hidupku.
Disaat ku tengah ditimpa radang kegalauan yang teramat akut, kau hadir disana bak terang mentari pagi penganti kelam malam tanpa rembulan. Sungguh aku bersyukur karena itu, dan aku akan selalu berterimakasih padamu. Pada cinta tulusmu, kehadiranmu, serta senyum sepet yang selalu kau berikan sewaktu melihatku merajuk. Sederhana, tapi begitu indah kurasa.

***

            Saat muda, ketika pikiranku belum terbuka. Sehingga mudah dirasuki setan yang menjalar, dan berbisik ditelinga hingga akhirnya Parman. Ya itu namanya, lelaki itu bernama Parman. Menggodaku hingga aku bisa dibuat serasa dibuai satu pengalaman yang menyakitkan tapi begitu indah. Pengalaman yang belum pernah kurasa, pergumulan dengan keringat, dan diakhiri senyum bahagia.
            Aku rasakan ia benar mencintaiku, benar tulus menyayangiku. Sehingga setiap ia mengajaku untuk menjalani pengalaman yang sama, aku tak kuasa menolaknya. Bukan menolak, aku malah makin tertarik untuk melakukannya lagi… dan lagi…
            Itu masih kurasa, masih bisa aku alami. Sampai disuatu hari aku mengatakan bahwa aku sedang mengandung anaknya, mengandung hasil perjalan kami, sedang menuai hasil pergumulan kami yang menyakitkan tapi begitu indah itu.
            “Aku akan bertanggung jawab, aku akan menikahimu.” Masih kuingat semua kata-kata yang dikeluarkannya untuk menenangkanku.
            Ketenanganku itu masih ada. Sampai sebulan lamanya ia tak pernah hadir lagi dihari-hariku, tak pernah singgah lagi kerumahku. Atau sekedar menghubungiku lewat handphone. Barulah aku tersadar kalau ia hanya berdusta, hanya ingin mengambil kesucian yang harusnya aku jaga sampai tiba hari yang sah aku tuk melakukannya.
Tak pernah habis usahaku untuk mencarinya, tak hilang semangatku meminta pertanggung jawabannya atas hasil yang telah kami. Tapi hasilnya selalu sama, nihil. Keluarga, teman-temannya, tak tau juga keadaannya. Aku tak tau mereka berdusta, atau berbicara kebenaran adanya. Entahlah.
            Karena yang kutau ia bagaikan menghilang dalam waktu, terselimut bayang hitam dari lontaran sinar bulan yang menyentuh dedaunan. Tak kutemui jejaknya, walaupun aku terus berusaha mencarinya. Disaat seperti ini, aku merasa sendiri. Aku merasakan seorang diri berada dalam putaran waktu yang tak mau menunggu. Seakan waktu sungkan memihakku walau sebentar. Ia tak sudi memberiku waktu tuk bernafas barang sejenak. Karena semakin waktu melaju, semakin besar pula perutku karenannya.
            “Pergi saja kau dari rumah ini? Anak harammu telah membuat keluarga kami malu.” Sentak ayah disuatu hari, selepas seorang tamu menanyakan padanya tentang perihal mengapa ia tak diundang dalam acara pernikahanku.
            “Pergi kau sekarang, tak ada tempat dirumah kami untuk orang hina seperti dirimu.” Kakaku satu-satunya, dan orang yang selalu melindungiku sewaktu kecil juga tak mau memihakku. Apakah seperti ini rasanya, dihinakan seorang pria?
            Dengan hati hancur, ku makin merasakan seorang diri menghadapi didunia ini. Terpaksa aku meninggalkan rumah. Ibu memeluku erat, seakan tak ada kali kedua baginya bertemu denganku. “Kau tidak harus pergi Nak.” Suara Ibu diselingi isak tangisnya. Sedangkan Ayah, juga kakak lelakiku satu-satunya masih tetap memasang muka acuh mereka, guna mengantarkan kepergianku.      
“Mawar cuman bisa bikin Ibu, Ayah, sama Kakak malu kalau tetep tinggal disini.” Kataku berdusta. Karena sebenarnya, tak ingin aku pergi jauh dari wanita yang masih memelukku itu. Sudah terlampau banyak corengan yang kubuat dimukanya, tapi tak pernah sanggup satupun aku hapuskan darinya. Apa aku tak punya kesempatan tuk menghampus semua coreng itu dengan usahaku, apa tak ada kesempatan itu?
            “Mawar…” lepas sudah pertahanan terkahir dalam dirinya. Wanita ini menangis tersedu, pelukannya kurasakan makin erat. Pundaku yang tadi kering, kini kurasakan mulai membasah. Basah oleh airmatanya.
            “Ibu yang sabar ya.” Hanya kalimat itu yang kuucapkan saat perpisahan kami menjelma jadi nyata.
            Masih kulihat tangis Ibu, diselingin lambaian tangan pengantar kepergian ku dari rumah megah kepunyaan ayah. Sedangkan ayah, dan kakaku tetap tak menunjukan mimik wajah yang lebih ramah. Jujur aku kecewa pada mereka. Walau begitu didalam hatiku, aku tetap tak ingin membenci mereka berdua, semua ini memang kesalahanku. Semua ini memang akibat nafsuku, yang tak tertahan oleh semua benteng yang pernah ditanamkan orang tuaku, darimulai aku masih kanak-kanak hingga ku dewasa. Benteng itu roboh, karena rayuan pria, karena bisikan yang tajam dari pihak ketiga.

***

            Waktu itu, setelah lepas meninggalkan rumah. Aku tak tentu arah, pikiranku sunyi, dengan hati yang merasa sendiri. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana hari-hari sisa bisa aku jalani. Sebelum aku pergi hari ini, tadi malam ibu memang membekaliku dengan semua uang cash yang dipunyainya. Karena tabunganku telah dibekukan bank, atas perintah ayah pastinya.
            Tiba disebuah jembatan tua, tadinya aku hanya memandang kearah bawah. Melihat deras air sungai yang mengalir bebas tanpa hambatan dibawahnya. Tanpa bisa kukendalikan, munculah perasaan lemah, pasrah, dan jelas tekat yang sirna didalam pikiranku. Biarpun hanya sekelebat pikiran hampa awalnya, tapi makin lama aku melihat deras air sungai itu, aku makin yakin dengan niatanku. Aku ingin mati, daripada hidup terus seperti ini.
            “Eh kamu mau ngapain?” suaramu mengagetkanku. Membuatku gamang dalam mengambil keputusan, hanya bisa berdiri ditepian jembatan. Tanganmu menarikku ketepian, untuk menghindarkanku melakukan bisikan setan yang sebelumnya menggelora dalam batinku yang hampa.
            “Kamu siapa.” Kujauhkan tanganmu yang menarik tanganku, dengan seluruh amukan yang terendap dalam hatiku. Semenjak aku ditinggal dalam keadaan bernoda oleh Parman, pria yang kucinta. Dan bagaimana aku dikecewakan, dan merasakan dibuang oleh Ayah dan kakaku. Aku menganggap semua lelaki adalah bajingan, dan bajingan hanya akan melakukan perbuatan yang bajingan lainnya lakukan.
            Matamu menatapku iba, jauh didasar hatiku trenyuhku dibuatnya. “Jangan pernah mendahului Tuhan. Masalah kematian, bukan kita yang menentukan!” Ucapmu halus, walau kutau tanganmu kesakitan karena sempat tergores kukuku yang lumayan panjang.
            “Apa pedulimu? Apa kau mau jadi sok pahlawan?” sergahku marah. “Kau tak tau apa yang sedang ku alami? Apa yang sekarang aku rasakan? Jadi mengapa kau harus sok tau didepanku?”
            “Aku memang tak tau apa yang baru kau alami? Apa yang pernah terjadi padamu. Tapi ketahuilah, semua persoalan pasti ada penyelesaian. Tak bisa kau berfikir pendek dengan cara mengakhiri hidup.” Aku terdiam mendengar semua perkataanmu. Jelas itu yang sebenarnya aku harapkan, bisa dikatakan oleh Ayah, dan kakaku. Oleh orang yang selama ini aku hormati, dan kuharap bisa selalu melindungiku.

***
           
Seperti kataku, waktu melaju tak terhenti. Dan begitulah yang kualami. Kau selalu memperhatikanku. Selalu mengatakan hal yang menenangkanku. Kau merawatku, mencarikan tempat tinggal untuku. Dan yang sebenarnya tak pernah kuduga kau memintaku untuk menjadi istrimu, setelah anakku lahir. “Mengandung adalah anugrah yang diberikanNya, kau tak boleh menutupi anugrah itu! Kau mengerti? Aku ingin menikahimu, tapi bukan untuk membantumu menutupi segala hal haram yang pernah kau lakukan. Tapi karena aku memang benar mencintaimu Mawar.”
            “Mengapa tak sekarang saja kau nikahi aku untuk menutup anak haram yang aku kandung ini?”
            Kepalamu menggeleng, helaan nafasmu seakan tanda kalau kau tak setuju dengan perkataanku. “Kelakuanmu, dan kekasihmulah yang haram. Bukan anak ini.” Ucapmu menunjuk perutku yang sekarang buncit, tanpa menyentuhnya sedikitpun. “Setiap anak lahir dalam keadaan suci, tak ada setitik keharaman atau dosapun yang menempel didalam dirinya.”
            Tadinya kupikir kau mengatakan itu semua, hanya untuk mencegahku agar tak melakukan kenekatan seperti kali pertama kita bertemu. Atau kalau mau aku berfikir negatif, bisa saja kau mengatakan itu agar emosiku terpengaruh lagi sehingga kau bisa menjajakiku seperti yang pernah dilakukan Parman padaku.
            Tapi semua itu rupanya hanya salah kiraku tentang dirimu. Kalau boleh aku jujur, sepertinya aku benar-benar belum mengenalmu. Walaupun cukup lama waktu kita sering bersama. Kau tak pernah berbicara lama denganku, bahkan walaupun kau sudah memintaku tuk menjadi istrimu. Kau tetap tak pernah berbuat tak sopan padaku. Sungguh benarkah tulus cintamu itu, Imam?
Saat anakku berumur tujuh bulan, kau benar-benar menikahiku. Kau juga yang menyatukan kembali semua kerengangan yang terjadi antara aku dan keluargaku. Imam kekasihku, andai kau tau aku tak mengerti bagaimana aku harus menunjukan pengabdianku padamu, pengabdianku agar bisa ku membalas semua kasih tulus yang kau berikan padaku.  

***

            “Tok… tok…” suara ketukan membuatku menjalani waktu yang melaju itu kembali, tersadar dari kenangan lama yang perih sisakan luka. “Ma… mama… sahur ma…” lanjut suara dari balik pintu berteriak dengan gaya anak-anaknya.
            “Hoah…” kau tersadar kekasihku, matamu terbuka perlahan. Dan dengan gerakan cepat kau terduduk. “Mama kenapa? Kok nangis?” cemasmu membuatku malu jadinya.
            “Siapa yang nangis?” sahutku lewat gelengan kepala. “Orang kelilipan doang kok pa.”
            “Tok… tok… tok… ma… bangun ma… udah bangun belum?” kembali terdengar suara teriakan anak-anak dari balik pintu.
            “Masuk nak.” Ucapmu halus.
Membuat seorang bocah berusia enam tahun, mulai membuka pintu kamar kita. Ia masuk dengan gaya riangnya. Setelah masuk, ia langsung mengambil posisi duduk diantara kita berdua. “Kok lama sih ngejawabnya pa?” cetusnya merajuk.
            “Ehm… kalo papa sih baru bangun Parman. Nggak tau mama kenapa lagi? Kayaknya sih mama nggak kuat ngebayangin muka papa yang unyu-unyu ini kali ya?”
            “Dasar kepedean.” Ucapku malu, karena kau menggodaku oh kekasihku.
            “Mama kenapa nangis?” tanya Parman anakku.
            Aku kembali menggeleng, sembari menghapus sisa-sisa tangis yang keluar karena bayangan masa lalu yang sempat menghampiriku tadi. “Udah sini. Anak papa, sama mamanya biar papa peluk dah agh…” kau memeluk kami. Kau memeluk aku, istrimu, dan memeluk Parman yang walaupun bukan anak kandungmu. Tapi lebih kau sayangi, lebih dari sayangnya kau pada dirimu sendiri. Terimakasih Imam kekasihku.

Bandung, 2 Juli 2012





Sejenak Dalam Masa Lalu




Mata sembabnya memandang kearah luar, dari jendela kamar yang sengaja dibuka. Pandangannya jauh, melewati batas masa, tanpa ada waktu yang jadi komposisi ingatannya. Tak siang tak malam, pikirannya selalu menembus waktu. Mengores masa yang berjalan melaju kedepan, atau kadang dipaksa tuk mengingat mundur kebelakang. Ingatan akan sosok yang paling dicintainya, selalu membayang. Mewarnai pikiran dengan semua bias warna pengalamannya.
            “Nda…” suara pelan, berat, keluar dari mulut seorang tua yang letih.
            “Iya Bu.”
            “Mau sampai kapan kau begini Nak?”
            “Begini apanya bu?” tanyanya, tanpa lepas dari memandang keluar jendela.
            “Sampai kapan kau mau menunggunya?”
            “Entahlah bu.”
            “Apa kau tak letih menunggu?” sekarang bukan hanya suara yang bisa didengar telingannya, ada sentuhan halus dipundaknya yang bisa dia rasa.
            Kepalanya menoleh tuk melihat sosok yang begitu perhatian yang ada disebelahnya, “Apa ada menunggu, tanpa adanya letih bu?”

***

            Gadis yang baru beranjak remaja itu bernama Ninda. Seperti gadis-gadis lain seusianya, saat itu perasaanya tengah bergejolak karna rasa cinta. Dan cintanya itu jatuh kepada seorang pemuda, tampan rupanya. Pemuda itu pemilik mata sebening telaga, senyum bercahaya bagai matahari dipagi hari. Dan pemuda itulah yang telah berhasil menundukan hatinya, memutar balikan segala logika jadi kegilaan berlandaskan cinta.
Berkisah kasih mereka menjalani hari-harinya, lewat komposisi rayuan, serta tawa renyah saat merasa terhibur. Jendela kamarnya jadi saksi kisah cinta mereka berdua. Tiap malam, selepas adzan Isya berkumandang, selalu saja ada suara ketetukan dari luar sana. Bila sudah mendengar ini, langkah cepat yang akan jadi jawabannya. Tak lupa dihiasi senyum yang terus menyembul dari bibir pembuka jendela, merasa orang yang ditunggunya telah tiba.
Ketika jendela itu telah buka, dari sana akan memperlihatkan sosok nan dirindukannya. Terang bulanlah yang akan menampakkan wajahnya, walaupun keadaan diluar jendela itu gelap gulita. “Kenapa kau terlambat?” lewat wajah dibuat ketus, Ninda merajuk pada Rama kekasihnya.
            “Ah… baru lima menit.”
            “Kau ini.”
            Rama akan masuk kedalam kamar itu, bukan seperti tamu lainnya yang melewati pintu depan rumah. Ia memilih jalur bebas hambatan, ala maling yang punya rencana mengasak kediaman targetnya. Melewati jendela kamar salah seorang anggota keluarga, dan selalu jendela kamar Nindalah yang jadi tempat masuknya kedalam kamar.
            Logika yang telah berputar balik itu begitu mudah dirasuki nafsu yang berkoar ditelinga mereka. Bujuk rayu Rama padanya, begitu berat tuk ditolaknya. Maka jendela yang tadi terbuka, akan tertutup rapat setelah Rama memasukinya. Pintu kamar Ninda yang biasa terbuka, akan ia kunci rapat-rapat. Menghindari ada yang masuk kesana, dan memergoki mereka.
            Saat Adzan Subuh berkumandang, itu adalah pertanda bahwa perkelanaan mereka harus terhenti. Satu gerakan yang sama ketika membuka jendela tuk memasukan Rama kekamarnya, dilakukan Ninda kembali. Tapi kali ini untuk mengeluarkan kekasih hatinya. Begitulah yang terjadi, dari hari ke hari, yang berganti minggu ke minggu.

   ***

            “Mengapa kau harus pergi?” suara Ninda meledak saat Rama mengungkapkan sesuatu yang mengejutkannya.
            “Aku tidak ingin membuat malu keluargaku sayang, hanya sebentar dan aku akan kembali. Jika aku tetap disini, aku hanya penganguran tak punya pekerjaan.”
            “Mengapa keluargamu harus malu dengan itu?”
            “Aku tidak bisa begini terus sayang. Hanya menumpang dirumah, tanpa kerja, tanpa penghasilan.”
            “Mengapa harus pergi ke kota? Apa tidak bisa disini saja mencari kerja?” rintik air mata membasahi pipi Ninda. Diluar sana, bulan bercahaya terang benderang. Tapi pandangannnya saat ini entah mengapa begitu kelam.
            “Daerah ini tertinggal, dan tak ada lagi kerja yang menjanjikan disini.”
            “Apakau rela meninggalkanku disini sendiri?”
            “Mengapa kau pikir aku sanggup melakukan itu?” tak ada suara lagi diantara mereka. Hening menelan semua kata-kata, menampungnya hanya dalam hati dengan semua tanya yang bersemi dipikiran, tak bisa dikatakan. Hanya gerakan yang sudah terbiasa mereka lakukan dikala malam, membuat mereka bersuara. Beberapa tawa yang kemudian berubah jadi ringkikan, atau malah suara seperti orang sedang menginjak tanah becek yang muncul diantara mereka.
            Seperti biasanya, Adzan Subuh adalah pertanda. Pertanda perjalanan meletihkan mereka harus berhenti, dengan terpaksa mereka menghentikannya. Rama pergi, sesudah kecupan dikening Ninda membuat matanya terpejam sementara.
            “Kau harus kembali!” ucap Ninda bernada mengancam.
            Sebersit senyum yang bermakna dalam, begitu tenang Rama keluarkan penanda perpisahan. “Aku berjanji sayang.”

   ***

            Lima tahun berlalu dari waktu perpisahan itu, jendela kamarnya masih tak berubah. Masih jadi saksi hari-harinya Ninda. Jadi saksi lamunannya tentang kekasihnya, lamunannya tentang Rama. Sering ia tanyakan apakah ada yang tau tentang kabar Rama sekarang, tapi semuanya mengeleng kepala sebagai jawaban. Sekitar tiga tahun dari kepergian Rama, keluarga Rama juga terpaksa meninggalkan kampung mereka karena rumah satu-satunya, terpaksa disita oleh rentenir penagih hutang. Entah dimana mereka sekarang tinggal. Tak jelas juga kabarnya.
Ninda masih menunggu kekasihnya kembali, hanya berharap. Dilumuri sesal, dan sedih didalam hati. Ia merasa malu membaur dengan para teman-teman sebayanya, karena tak tau siapa orangnya telah menyebarkan kebiasaannya yang sering bercengkrama dengan Rama dari malam sampai menjelang pagi.
            Harga dirinya terinjak, keluarganya dikucilkan dari pergaulan di kampung mereka. Dianggap sebelah mata, dengan hinaan yang tak terukur perihnya. Rasa cintanya yang sudah memutar logika, membuatnya bisa melakukan hal yang tak seharusnya ia lakukan. Dan kini, semua itu hanya menghadirkan penyesalan, dan ritihan tangis disetiap waktunya.
            Kecewa yang mendalam, karena kekasihnya yang dicinta telah menghianatinya, karena  telah membohonginya. Mengambar gores dalam batinnya. Setiap bait kecewa yang menghampiri pikirannya, akan mengarahkannya kedalam kenangan-kenangan saat Rama memasuki kamarnya, setelah menaiki jendela kamarnya, lalu menaiki kasur untuk kemudian mengajaknya berpetualang. Bagai desir angin yang tenang, dan membuat rasa sejuk, bukan kedinginan.
            Wajahnya yang bening, mata yang tenang bak telaga, senyum terang bagai mentari pagi yang bersinar. Menghiasi pikiran, juga kenangannya. Mengisi hari-harinya. Biar tubuhnya ada dimasa depan, pikirannya telah terpenjara masa lalu. Terbenam dalam ingatan, tak sadar masa depan. Terkubur dalam penyesalan.

   ***

            “Ibu. Nenek.” Suara seorang anak yang menggalihkan lamunannya. Ninda tersenyum, ibunya yang dari tadi terus duduk disebelahnya juga tersenyum. “Ada apa Rama?”
“Nenek sama Ibu lagi ngapain sih? Kok pada diem ngeliatin apaan sih disana?” tanyanya polos, yang kini tak hanya dibalas oleh senyuman sepasang wanita ini. Tanya itu dijawab lewat senyum juga rintikan tangis yang keluar dari kelopak mata mereka masing-masing. “Nenek sama Ibu kenapa nangis?”
“Nggak kenapa-napa sayang.” Tubuh mungil itu kini tak dibiarkannya berdiri, tubuh itu Ninda dudukan dipangkuannya. Elusan pelan, diatas kepala bocah itu mengalir rasa sayang yang hanya akan dimengerti oleh para kaum ibu sepertinya.
“Bu…”
            “Apa Rama?”
            “Kapan ayah pulang ya bu? Kok lama banget sih perginya?”
           
             
Bandung, 6 Juni 2012


Raga Dan Raja




Raga dipanggil raja. Dipikirannnya sekarang jelas penuh tanda tanya, mengapa raja memanggilnya ke istana? Apa ia punya kesalahan yang dilakukannya tanpa sengaja? Atau malah ada yang memfitnahnya? Entahlah, tak ada jawaban untuk semua pertanyaan-pertanyaan didalam benaknya. Yang ia tau hanya dua orang utusan raja, pagi tadi mendatangi rumahnya, dan memintanya tuk bersiap menuju istana. Karena raja ingin bertemu dengannya.
            Seminggu kemarin ibunya baru saja pergi dari dunia ini, dan hari ini rencananya ia akan melakukan ziarah ke makam ibunya. Tapi rencana itu rupanya tak bisa diwujudkannya saat ini, dikarenakan raja memanggilnya. Dan sebagai seorang rakyat biasa, tak ada satupun alasan untuknya tak memenuhi panggilan raja padanya.
            Maka disinilah ia sekarang, diruang utama dari istana raja. Diruangan yang begitu megah, dengan dinding-dinding yang ditutupi permadani-permadani berharga mahal. Diterangi oleh lampu kristal yang ukurannya sangat besar, serta beberapa gadis cantik yang sedari tadi menyuguhkan minuman padanya. “Apa kau yang bernama Raga?” suara seseorang yang sangat berwibawa, berat, dan tegas terdengar didalam ruangan itu.
            Dari yang tadinya masih duduk, Raga berdiri cepat. “Benar baginda.” Ucapnya sambil membungkukan badan.
            “Silahkan duduk!” raja mempersilahkan Raga duduk kembali, setelah beliau menempati singgasananya. Keheningan menyeruak, setelah mereka berdua sama-sama duduk ditempatnya masing-masing. “Pastinya kau bertanya-tanya apa gerangan yang membuatku memanggilmu kemari, bukan begitu Raga?” raja memulai pembicaraannya. Sedangkan Raga hanya bisa menganggukan kepalanya. “Berita tentangmu telah kudengar mengaung diluar ataupun didalam istana ini.”
            “Maaf… berita tentang apa itu baginda?”
“Tentang  kebaikan hatimu, kesopananmu, keramahanmu, kelakuanmu, atau apapun yang kau miliki. Semua yang langka baik didalam ataupun diluar istana ini.” Raga tertegun, kata-kata dari raja barusan, bukan merupakan pujian yang biasa. Mengingat asal kata-kata itu keluar dari mulut seorang raja. “Maukah kau menjadi anakku Raga? Aku tau ayahmu adalah prajurit kerajaan yang meninggal dimedan tempur, dan baru seminggu kemarin ibumu juga menyusul ayahmu. Apakah kau mau menjadi anakku Raga?”
“Apa alasan baginda mengangkat hamba menjadi anak baginda?” tanyanya cepat dengan suara yang halus dan pelan, tapi tetap tegas.
“Karena sikapmu, itu yang pertama dan utama.” Masih mendengarkan omongan raja, kepala Raga hanya tertunduk melihat lantai. “Dan karena aku tidak memiliki seorang anak lelaki yang bisa mewarisi kekuasaan, serta kerajaan ini.” Sejenak raja menarik nafasnya dalam-dalam. “Kau tau aku butuh penerus, pewaris kerajaan ini. Aku ingin ia adalah seorang lelaki yang punya laku berbudi, serta hati nurani.”
“Tapi hamba harus menjalankan amanat ibunda hamba baginda.”
***
            Dari kunjungannya keistana Raja, Raga makin sering jadi buah bibir setiap orang yang ada dinegeri itu. Tak sedikit orang yang mencibir sikapnya atas penolakan raja, walaupun dukungan yang besar masih selalu mengintarinya.
            Saat ada yang menanyakan mengapa ia menolak permintaan raja padanya. Raga menjawab, “Aku kasihan pada kambing-kambing yang jadi amanat ibuku sebelum ia pergi dari dunia ini.”
            “Bukannya kalau diistana kau juga bisa memelihara mereka?” tanya satu orang pada Raga.
            “Aku sering dengar, daerah istana adalah daerah yang bersih. Mereka pastinya tidak akan sudi aku membawa kambing-kambingku masuk kedalamnya. Lagi pula, kambing-kambing itu lebih senang hidup bebas diluar seperti ini. Bukan dikurung didalam sebuah bangunan yang luas tapi tetap berbatas itu.”
            “Kau akan menjadi putra mahkota, mengapa kau harus juga memikirkan kambing-kambing itu? Dengan kekuasaan serta uang yang ada kau bahkan bisa membeli kambing sebanyak kau mau? Atau memerintahkan orang tuk mengurusi kambing-kambingmu itu.” Sela orang yang lainnya.
            “Ibuku meminta agar aku merawat mereka, merawat kambing-kambingku. Bukan orang lain.”
Itulah Raga, sikapnya dan pemikirannya yang keliatan berbeda jadi santapan nikmat para biang gosip yang ada dinegeri itu. Tak butuh waktu lama, gosip itu untuk sampai keistana hingga akhirnya sampai ketelinga sang raja. “Apa ia bilang begitu? Ia menolak tawaranku untuk menjadikannya putra mahkota hanya karena kambing-kambing peliharaannya?”
Lewat suatu rencana yang sangat terperinci, dan rahasia. Raja mengutus dua orang bawahannya untuk menghabisi para kambing kepemilikan Raga, tanpa sepengetahuan Raga, atau siapapun selain mereka bertiga. Raja tak ingin Raga sampai tau rencana ini, karena beliau masih sangat ingin Raga mau menerima tawarannya untuk menjadikan Raga menjadi anaknya. Raja tak tau siapa lagi orang di negerinya yang pantas untuk menerima kehormatan ini selain Raga.

***

            Berdasar pada titah raja, pesuruh-pesuruhnya mulai menjalankan tugas mereka malam ini. Mereka sengaja masuk kedalam hutan, lewat cara mengendap-ngendap sepanjang perjalan menuju tempat tinggal Raga yang letaknya cukup terpencil.
            Sampai disebuah bangunan, yang reot terbuat dari rajutan bambu beratap jerami. Rumah itu lebih cocok dikatakan gubuk, kalau tak mau dikatakan kandang. “Apa tidak salah ia menolak untuk tinggal di istana dan jadi putra mahkota hanya karena ingin merawat kambing-kambingnya digubuk seperti ini?” suara seorang pesuruh raja seperti tak percaya.
            “Itulah mengapa ia begitu istimewa. Kalau tak penjahat, hanya orang gila saja yang terkenal dinegeri ini.” Sahut rekannya, masih mengendap-ngendap semakin dekat ke gubuk itu, kerumah Raga.
            Mereka masih berjalan sangat tenang, menuju kesebuah bangunan di sebelah rumah yang ukurannya lebih besar dari pada rumah Raga. “Itu pasti kandanganya?”
            “Apa aku tidak salah liat? Rumah kambing jauh lebih besar, daripada rumah pemilik kambing?” kembali pesuruh istana itu terkejut.
            “Entahlah.” Balas rekannya nyaris seperti berbisik.
            Langkah mereka berhenti didepan gubuk itu, perlahan mereka membuka pintu bangunan itu. Dan, “Mbeeeee… mmmmbbbeeee…” kambing-kambing yang ada didalam sana ribut bukan main. Diluar dugaan mereka, ternyata didalam sana ada lebih dari beberapa ekor kambing yang menempatinya. Mungkin puluhan kambing sedang berada didalam sana. Takut ketauan, langkah seribu sengaja diambil dua orang pesuruh raja ini.

***

            “Apa kalian bilang?” raja terlihat marah, mendengar laporan dari dua orang pesuruhnya.
            “Benar baginda, kami tidak salah lihat. Mungkin ada tiga puluh ekor kambing didalam sana.” Ucap salah satu pesuruh ketakutan.
            “Iya benar baginda, kami bingung bagaimana bisa membawa sebegitu banyak kambing dalam semalam. Lagi pula mereka sangat berisik bila didekati.” Sambung pesuruh yang lainnya mendukung temannya.
            “Baiklah kalau begitu akan aku kerahkan lebih banyak orang.”
            Sekarang bukan cuman dua orang yang masuk malam-malam kedalam hutan. Ada puluhan orang yang bergerak kearah rumah Raga pada malam ini. Mereka semua akan menjalankan tugas dari raja, yaitu mengangkut kambing-kambing milik Raga, lalu memunaskannya. Entah dibikin kambing guling atau disate, pokonya kambing-kambing itu harus musnah secepatnya. Begitulah titah raja kepada mereka.
Pagi harinya, sang raja memanggil dua orang patihnya guna menjemput Raga ke rumahnya. “Sekarang kalian berdua panggil Raga kemari!” titahnya kepada dua patihnya. Mereka menundukkan kepala, kemudian membalikan badan untuk pergi keluar dari istana, dalam tugas memanggil Raga.

***

“Baik Raga… saya akan tanyakan tentang tawaranku padamu yang lalu?”
“Maaf sebelumnya baginda. Saya tidak bisa menerima titah baginda?”
Muka Raja dirasanya mulai panas, pipinya terasa lebih panas lagi mendengar perkataan Raga. “Apa alasanmu menolak permintaanku padamu? Belum pernah ada orang menolak permintaanku sekalipun, kau malah menolak permintaanku sampai dua kali?”
“Maaf baginda, tapi sebelum meninggal ibunda memberi amanat kepada saya untuk memelihara dengan baik kambing-kambing miliknya.”
“Apa masih ada kambingmu?” tanya raja yakin.
“Masih baginda, kalau tidak percaya baginda bisa tanyakan kepada kedua patih baginda yang tadi menjemput hamba. Karena tadi saat dua patih baginda menjemput hamba, hamba sedang memberi makan kambing-kambing hamba.” Kepala Raga menunduk, melihat lantai istana.
“Benar yang dikatakannya patih?” kedua patih mengangukan kepalanya sebagai jawaban pertanyaan raja. Sontak raja melihat dua orang pesuruhnya, yang tadi malam ia minta untuk memusnahkan kambing-kambing milik Raga. Mereka menggelengkan kepalanya, melihat raja yang sedang naik pitam kearah mereka. 


Bandung, 2 Juli 2012